Diaspora Rohingya

DIASPORA ROHINGYA

Pada abad ke-8 Masehi, khususnya di era kekuasaan Raja Arakan Mahatying Chandayat dari Dinasti Radz Wang, tercatat beberapa kapal milik pelaut dan pedagang Arab kandas di Pulau Rarnree, di antara kapal itu bernama Thambu Kyas. Kapal tersebut hancur berantakan dihempas gelombang laut, para penumpangnya terpaksa berlabuh dan meminta pertolongan dengan menggunakan bahasa Arab. “Raham, raham, raham!” yang berarti sebuah permohonan belas kasih. Penduduk setempat lantas mengenal para pelaut dan pedagang nahas itu dengan sebutan “rohang” dan selanjutnya berevolusi menjadi “Rohingya”, demikian asal-usul Rohingya versi Khalilurrahman dalam, “Tarik-l- Islam Arakan & Burma”.
  
Para sejarawan juga sepakat jika komunitas muslim keturunan Arab Rohingya telah terbentuk sejak abad ke-8, berdiam serta membuat koloni di Arakan. Namun saat ini diperkirakan sebagian besar koloni Arab tersebut telah berpindah tempat tinggal ke Chittagong, Bangladesh. Rohingya, selain menunjuk jenis etnis juga dimaksud salah satu tempat berkembang-biak para kaum muslim di Arakan.

Namun diperkirakan bahwa penduduk muslim Rohingya menjadi ramai dan mendominasi Arakan pada abad ke-15. Saat itu Raja Narameikhla (1404-1434 M) terusir oleh invasi kerajaan Burma sehingga melarikan diri ke Gaur, di bawah pemerintahan Islam, atau ibu kota Kesultanan Bengal. Raja Buddha itu diterima dengan baik oleh penguasa muslim Bengal, bahkan ia diberi jabatan sebagai perwira tinggi tentara selama 24 tahun oleh Sultan Ahmed Syah. Akhirnya pada tahun 1430 sang raja Buddha itu kembali bertahta di Arakan setelah memenangkan pertarungan sengit melawan kerajaan Burma dengan bantuan bala tentara Bengal yang dikirim khusus oleh Sultan Muhammad Shah Jalaluddin.

Sebagai bentuk konpensasi, sejak kembali menduduki tahta kerajaannya, Narameikhla memberikan upeti kepada Kesultanan Bengal. Lebih jauh lagi, sang raja tidak sungkan-sungkan menggunakan simbol-simbol Islam dalam pemerintahaannya, termasuk koin mata uang kerajaan yang bertuliskan dua kalimat syahadat. Praktik mencontoh kerajaan Mughan dan Bengal ini terus berlangsung hingga paruh pertama abad ke-17. Hal ini mereka lakukan karena tak hanya ingin dianggap sebagai Raja Buddha namun juga milik para kaum muslimin yang telah berjasa mengembalikan sang raja bertahta, pada saat yang sama kaum muslimin kian bertambah dan direkrut masuk ke arena pemerintahan sebagai tenaga ahli administrasi kerajaan, selain sebagai prajurit tentunya. Priode ini adalah masa pertumbuhan muslim Rohingya secara subur.

Puncaknya ketika Raja Narameikhla memindahkan pusat pemerintatahnnya dari Longyyet ke Mrohaung dakat perbatasan Bengal, ibu kota ini terbentang di sepanjang Sungai Lemro dan menjadi pusat utama kegiatan perdagangan. Pertumbuhan penduduk muslim juga kian pesat dan menjadi penggerak utama roda perekonomian terutama yang berdiam di sepanjang Sungai Lemro, Mingen, Kaladan, Mayu dan Naf. Chittagon yang menjadi pelabuhan laut terbesar di Teluk Bengala berada di bawa dominasi Kerajaan Arakan yang toleran. Pada abad ke-18, kekuasaan politik Arakan di bawah dominasi kaum muslim etnis Rohingya seiring jumlah mereka yang terus meningkat. Kelompok muslim bahu membahu dengan penganut Buddha dalam mempertahankan daerah kekuasaan mereka yang terus-menerus diintai oleh Kerajaan Burma. Mereka telah bersahabat dan hidup bersama dengan damai berabad-abad lamanya. 

Petaka Datang

Teori Bapak Sosiologi, Ibnu Khaldun (1332-1395 M) benar-benar berlaku di sini. Saat satu komunitas hidup damai dan sentosa, mereka selalu merasa tenang dan menikmati hidup dengan penuh kenyamanan hingga pada titik tertentu mereka terlena. Komunitas yang bernama negara itu, terlena dengan hasil pertanian yang melimpah, tangkapan laut yang memadai, dan perdagangan yang menguntungkan. Mereka tidak sadar jika ada bangsa lain di sana yang sedang menyusun kekuatan untuk menaklukkan mereka, lalu memiliki apa yang mereka peroleh selama ini. 

Begitulah nasib muslim etnis Rohingya, saat berada pada puncak kegemilangannya, kerajaan Burma menyusun kekuatan lalu menyerang mereka, invasi besar-besaran ini terjadi pada tahun 1785. Sekitar 35 ribu warga Arakan dan etnis Rohingya mengungsi ke Chittagong yang telah dikuasai Inggris, ribuan lainnya dieksekusi oleh penguasa Burma, dan sebagian lainnya dideportasi ke Miyanmar sehingga Arakan menjadi kota mati ketika Inggris masuk ke wilayah itu pada abad ke-19.

Untuk menghidupkan pertanian, Inggris membawa orang-orang muslim Bengal (Bangladesh) secara massal ke  Arakan demi menghidupkan kembali pertanian yang sangat subur di wilayah itu. Migrasi warga India-Bangladesh ini ke Miyanmar terus berlanjut hingga akhirnya mereka menjadi mayoritas di Arakan. Pada saat yang sama, Inggris sebagai kolonial menganak-tirikan etnis Burma hingga pecah Perang Dunia II yang memaksa Inggris keluar dari Miyanmar.

Setelah Inggris angkat kaki dari Miyanmar yang didominasi etnis Burma yang pernah disisihkan oleh Inggris, akhirnya mereka bangkit dan melakukan penghapusan etnis (genosida) di wilayah Arakan. 

Tidak stabilnya roda kekuasaan di Miyanmar juga turut berpengaruh terhadap nasib muslim Rohingya, lain pemimpin lain pula kebijakan. U Soe Shwe Thaike yang menjadi presiden pertama, mengakui jika etnis muslim Rohingya adalah penduduk asli Miyanmar. U Soe turun dan diganti oleh Jenderal Ne Win, sang jenderal memerintahkan bawahannya untuk mengusir, menyerang dan mengeksekusi etnis Rohingya. Adapun yang tetap ngotot bertahan, mereka terus-menerus diteror, tak diberi hak bersekolah, berobat, dan beribadah. Dari sinilah bermula diaspora Rohingya, sebuah bangsa yang hidup bercerai-berai tanpa negara. Tragedi operasi Raja Naga adalah paling bengis dalam sejarah. Ini berlangsung pada 1978-1979. 

Aksi kekerasan teranyar adalah yang mencuat pada bulan Juni-Juli 2012. Puluhan kampung dibumi-hanguskan, para penduduknya dipaksa mengungsi. Bahkan banyak masjid yang sedang dipakai beribadah dibakar bersama dengan jamaahnya. Human Right Wach (HRW) menyimpulkan jika Junta Militer Miyanmar berlaku bengis terhadap muslim Rohingya, laporan senada juga dilontarkan oleh Lembaga Pengungsi PBB (UNHCR).

Banyak faktor disinyalir menjadi pemicu terjadinya kekerasan terhadap muslim Rohingya, mulai dari alasan suku dan agama hingga banyaknya kekayaan sumber daya alam yang ditempati kaum muslim Rohingya, seperti gas bumi, minyak, dan kayu.

Kini, muslim Rohingya selalu mendambakan masa-masa pemerintahan Raja Narameikhla yang toleran. Mengembalikan mereka ke suasana itu jelas mustahil, namun setidaknya harus ada upaya-upaya kongkrit dari para pemimpin-pemimpin dunia, khususnya negara-negara Islam untuk tampil membela siapa pun yang tertindas, muslim atau bukan. Tidak dipungkiri jika kejahatan di atas memiliki aroma SARA yang kental, namun  yang pasti kita semua dituntut untuk melawan segala bentuk penindasan yang belaku di muka bumi ini. Wallahu A'lam.

Dr. Ilham Kadir, MA.
(kolumnis berbagai media; Wakil Ketua Ikatan Alumni Beasiswa Baznas RI)

Enrekang, 2 September 2017.

#saverohingya
#LNHalexa

Posting Komentar untuk "Diaspora Rohingya"