Sikap FPI Terhadap RUU Pelarangan Minuman Beralkohol

DIBACA DAN SEBARKAN! !!

Sikap FPI Terhadap RUU Pelarangan Minuman Beralkohol

FRONT PEMBELA ISLAM

TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG DAN SELURUH PERATURAN PERUNDANGAN YANG MENGATUR LARANGAN MINUMAN BER-ALKOHOL
DI WILAYAH HUKUM INDONESIA

Disampaikan pada :
Rapat dengar pendapat dengan Pansus B DPR RI
Kamis, 04 Februari 2016

MENGAPA PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL HARUS DITOLAK TOTAL?

BERDASARKAN PANDANGAN ISLAM

Menurut Ajaran Islam

Bahwa didalam Islam terdapat ketentuan hukum yang melarang mengkonsumsi minuman keras atau minuman beralkohol yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits, yang memiliki arti jika seorang muslim dan mukmin saja dilarang meminum miras palagi memproduksi dan menjualnya, yaitu :

QS. Al-Baqarah : 219 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”

QS. An-Nisa' : 43 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”

QS. Al-Maidah: 90 “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”

HR. Muslim “Setiap minuman yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram. Barang siapa minum khamar di dunia lalu ia mati dalam keadaan masih tetap meminumnya (kecanduan) dan tidak bertobat, maka ia tidak akan dapat meminumnya di akhirat (di surga)”

HR At-Thabrani, Ad-Daraquthni dan lainnya, dihasankan oleh Al-Albani “Khamr itu adalah induk keburukan (ummul khobaits) dan barangsiapa meminumnya maka Allah tidak menerima sholatnya 40 hari. Maka apabila ia mati sedang khamr itu ada di dalam perutnya maka ia mati dalam keadaan bangkai jahiliyah”

Oleh karena itu, seluruh peraturan perundang-undangan, baik berupa UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, maupun Peraturan Daerah yang harus mengatur pelarangan total terhadap MINUMAN BERALKOHOL.

BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Bahwa didalam praktek peraturan perundangan telah membuat klasifikasi minuman beralkohol dalam 3 (tiga) jenis yaitu :

“Produksi minuman beralkohol hasil industri di dalam negeri dan berasal dari impor, dikelompokkan dalam golongan-golongan sebagai berikut :

Minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 1% (satu persen) sampai dengan 5% (lima persen);

Minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5 % (lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen);

Minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 20% (dua puluh persen) sampai dengan 55% (lima puluh persen).”

Bahwa produksi dan klasifikasi minuman beralkohol tersebut diatas bertentangan Pancasila sebagai Dasar Negara RI dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini terlihat dari Isi Alinea ke-4 (empat) Pembukaan (Preambule) dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sebagai berikut ini :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Pe rwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Bahwa kemudian hal tersebut ditegaskan pada Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Ketentuan Pasal 29 Ayat (1) Amandemen Ke-4 (empat) menyatakan : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”

Bahwa sebagai Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa maka substansi atau muatan peraturan Perundang-unddangan yang mengatur produksi dan klasifikasi jenis minuman beralkohol sangat bertentangan dengan nilai-nilai Religi yang hidup dan terkandung didalam Pancasila dan UUD Tahun 1945 karena tidak satupun dari Agama yang ada di Indonesia membolehkan atau menghalalkan Minuman Beralkohol jenis apapun.

Bahwa oleh karena itu, seluruh peraturan perundang-undangan, baik berupa UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, maupun Peraturan Daerah harus mengatur pelarangan total terhadap MINUMAN BERALKOHOL kerena sesuai dengan Pancasila dan UUD Tahun 1945,

MENURUT PANDANGAN AGAMA SELAIN ISLAM DI REPUBLIK INDONESIA

Menurut Ajaran Kristen

Efesus 5:18
“Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu (kata bahasa Yunani untuk “hawa nafsu” berarti “hidup yang disia-siakan, tidak bermoral; tidak bersusila, berfoya-foya”)”

Amsal 23:21a
“Karena si peminum dan si pelahap menjadi miskin”

Korintus 5:11
“Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, lapar uang, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama”

Menurut Ajaran Buddha

Bahwa menurut Ajaran Budha terdapat 5 aturan (larangan) atau five moral principtes Pancasila berisi 5 larangan/ pantangan yang salah satunya adalah larangan mengenai minuman beralkohol atau miras yaitu :

“Sura Meraya Masjja Pamada Tikana Veramani, artinya jangan meminum minuman yang menghilangkan pikiran, yang maksud dilarang meminum minuman keras”

Menurut Ajaran Hindu

Di dalam Bhagavata Purana (I. 17. 38. - 39) terdapat keterangan mengenai mata rantai kejahatan mabuk-mabukan yaitu : " Sura “ Artinya minuman keras, minuman keras ini kalau diminum melebihi dari keperluan tubuh dapat menyebabkan mabuk, sehingga dapat merusak syaraf dan pikiranpun menjadi tidak waras sehingga dapat menimbulkan keonaran, perkelahian dan sebagainya, karena itu waspadalah terhadap minuman keras”

Oleh karena itu, seluruh peraturan perundang-undangan, baik berupa UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Menteri, maupun Peraturan Daerah yang mengatur pelarangan total terhadap peredaran MINUMAN BERALKOHOL sudah sesuai dengan Pancasila dan UUD Tahun 1945 dan ajaran agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia.

DARI PERSPEKTIF KESEHATAN

Bahwa efek samping bagi orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol atau miras terbagi menjadi 2 (dua) yaitu berdasarkan jangka waktu dan kuantitas (jumlah) pemakaian.

Bahwa berdasarkan jangka waktu pemakaian terdapat juga terbagi menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut ini :

A.1. Dalam Jangka Pendek :
Mulut akan terasa kering;
Pupil mata membesar;
Jantung berdegup lebih kencang;
Timbul rasa mual;
Pada awalnya timbul kesulitan bernafas (untuk itu diperlukan sedikit udara segar);
Selebihnya akan timbul perasaan seolah-olah kita menjadi hebat dalam segala hal;
Segala perasaan malu menjadi hilang;
Kepala terasa kosong, rileks dan "asyik/fly";
Dalam waktu 4 sampai 6 jam setelah itu kita akan merasa sangat lelah dan tertekan;

A.2. Jangka Panjang :
Pemabuk atau pengguna alkohol dalam jangka panjang dapat terancam masalah kesehatan yang serius seperti radang usus, penyakit liver, dan kerusakan otak.

Berdasarkan berdasarkan kuantitas pemakaian terdapat juga terbagi menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut ini :

B.1. Dalam jumlah yang kecil :
Menimbulkan perasaan relax
Cepat timbul rasa senang, rasa sedih dan kemarahan.

B.2. Bahwa jik a dikonsumsi lebih banyak lagi, akan muncul efek merasa lebih bebas lagi mengekspresikan diri, tanpa ada perasaan terhambat menjadi lebih emosional (sedih, senang, marah secara berlebihan ) muncul akibat ke fungsi fisik motorik yaitu :
Cara berbicara menjadi cadel;
Pandangan menjadi kabur;
Sempoyongan;
Inkoordinasi motorik;
Tidak sadarkan diri;
Kemampuan mental mengalami hambatan;
Gangguan untuk memusatkan perhatian;
Daya ingat terganggu;

Bahwa menurut data World Health Organization (WHO) dan Kepolisian mengenai angka korban minuman beralkohol atau miras dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut :
Tahun 1998 di Indonesia tercatat lebih dari 350.000 orang meninggal karena penyakit khronis akibat konsumsi alkohol.
Tahun 1999 - 2000, 58% angka kriminalitas terjadi ditenggarai akibat pengaruh minuman keras.
Pada tahun 2000 diinformasikan di Indonesia terdapat lebih dari 13.000 pasien penderita penyakit terkait alkohol.
Tahun 2001 tercatat 39 kasus kematian pada remaja karena Hepatitis B yang terkait erat dengan dampak pengkonsumsian alkohol (alcoholic cirrhosis, alcoholic cancer, chronic pancreas inflamation, and heart diseases) terjadi di Bali.
Tahun 2001 terdapat 50% dari total 65 kasus keracunan alkohol meninggal di Manado dan Minahasa.
Tahun 2008 tercatat lebih dari 40 kematian akibat keracunan alkohol (intoxicaty), ini merupakan dampak langsung dari penyalahgunaan alkohol. Di Surabaya 9 orang tewas di tiga lokasi berbeda setelah mengkonsumsi miras, 11 orang meninggal di Indramayu Jawa Barat, 14 orang meninggal di Merauke karena mengkonsumsi minuman keras jenis sopi yang dicampur infus dan minyak babi, sementara belasan korban tewas akibat miras lainnya tersebar di beberapa daerah seperti Pasuruan Jawa Timur, Deli Serdang, dan Jaya Pura.
Tahun 2010
20 korban tewas di Cianjur akibat menenggak minuman keras (miras). Sera (27), satu dari 5 orang korban pesta miras akhirnya meninggal di RSUD Cianjur.
Mei tahun 2010, 17 nyawa pemuda Cirebon melayang setelah meminum jenis miras yang mengandung alkohol murni. Korban tewas akibat keracunan miras jenis arak yang dicampur metanol bertambah menjadi 13 orang.
Agustus 2010, 13 orang meninggal dunia setelah menenggak minuman keras. di toko jamu selang beberapa jam setelah mereka minum, korban mulai berjatuhan. Dari hasil uji laboratorium bahwa minuman ginseng tersebut mengandung, pasta whisky, asem jawa, intisari, dan alkohol 70 persen.
Juni 2010 9 warga Semarang, Jawa Tengah, tewas akibat menenggak minuman keras dandDi beberapa bagian tubuhnya ditemukan lebam dan membiru.
11 orang warga di jagaraksa, Jakarta selatan tewas setelah menenggak minuman miras oplosan.
Di Bandung 2 orang meregang nyawa akibat kasus yang sama
Di Malang 3 orang tewas, 10 orang kritis.
Kemudian kematian 3 orang teknisi shukoi di Makasar.
63 warga Jawa Tengah tewas akibat meminum minuman keras.
Di Bekasi, jumlah korban minuman keras di Jatisampurna, Kota Bekasi 8 orang meninggal dunia karena keracunan minuman keras.
5 orang tewas dan tiga lainnya kritis setelah pesta minuman keras di sebuah acara pernikahan warga di Dusun Sumberasri, Desa Tumpak Oyot, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar.
5 orang warga RT 08, Kelurahan Grogol, Kecamatan Grogol Jakarta Barat dilaporkan tewas setelah menenggak minuman keras (miras) di bawah kolong jembatan Grogol.
Kasus lain sampai dengan 2015 yang disebabkan oleh minuman beralkohom sangat teramat banyak ( lihat catatan kepolisian Indonesia )

Bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya.

Bahwa tujuan tersebut diatas ternyata didalam Ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yaitu : “Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat”

Bahwa melanjutkan aturan yang ada pada ketentuan Pasal 46 UU Kesehatan maka kegiatan dalam penyelenggaran upaya kesehatan tersebut diatur dalam Pasal 47 yang berbunyi sebagai berikut : “Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan”

Bahwa dari kegiatan yang terkandung dalam Ketentuan Pasal 47 yang paling EFEKTIF untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah sebuah tindakan preventif (pencegahan).

Bahwa seluruh peraturan perundang-undangan, baik berupa UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Menteri, maupun Peraturan Daerah yang mengatur pengendalian bukan merupakan suatu tindakan preventif karena dengan adanya klasifikasi golongan dan tempat peredarannya justru menyebarluaskan penjualan Minuman Beralkohol, yang pada akhirnya tujuan dari Undang-undang Kesehatan mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tinginya menjadi tidak tercapai.

Bahwa berdasarkan uraian diatas maka seluruh peraturan perundang-undangan, baik berupa UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Menteri, maupun Peraturan Daerah yang mengatur pengendalian bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga sudah seharusnya DICABUT DAN DINYATAKAN TIDAK BERLAKU LAGI.

DARI PERSPEKTIF EKONOMI

Bahwa Susiwijono menyatakan Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai, menyatakan berulang kali tarif cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) mengalami kenaikan, namun tak jua mendorong kontribusinya terhadap penerimaan negara : "Dalam sejarah penerimaan bea cukai, MMEA hanya berkontribusi 4%-5% dari total penerimaan atau tidak sebesar pendapatan cukai rokok. Hal ini tercermin dari komposisi MMEA di penerimaan bea cukai yang tetap di kisaran angka itu meski tahun 2010 cukai MMEA sudah dinaikkan sekian kalinya"

Berdasarkan data, tarif jenis Etil Alkohol (EA) per liter untuk semua jenis golongan dalam negeri dan luar negeri Rp 20 ribu. Konsentrat mengandung EA Tarif per liter semua golongan, dalam negeri maupun impor Rp 100 ribu.

Tarif cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol dengan kadar alkohol 0%-5% atau golongan A untuk dalam dan luar negeri Rp 11 ribu. Tarif golongan B per liter kadar alkohol 5%-20%, untuk dalam negeri Rp 30 ribu, sedangkan impor Rp 40 ribu. Sementara tarif golongan C per liter kadar alkohol lebih dari 20%, dalam negeri Rp 75 ribu dan impor Rp 130 ribu.

Pendapatan cukai dalam RAPBN tahun 2016 ditargetkan sebesar Rp155.519,6 miliar, terdiri atas cukai hasil tembakau sebesar Rp148.855,9 miliar, cukai etil alkohol (EA) sebesar Rp171,2 miliar, dan cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 6.492,4 miliar (Rp. 6,4 T). Bila dibandingkan dengan Pendapatan Negara tahun 2016 sebesar Rp. 1.822 T, maka pendapatan yang di dapat dari cukai minuman beralkohol ini hanya sekitar 0,4% saja dari total pendapatan Negara, ini artinnya secara ekonomi, nilai cukai yg diperoleh TIDAK signifikan bagi Pendapatan Negara, namun signifikan menambah kerusakan.

Oleh karena itu, dilihat dari segi pendapatan yang dihasilkan dari cukai minuman beralkohol sama sekali tidak signifikan bagi pendapatan ekonomi.

DAMPAK SOSIAL YAN DITIMBULKAN

Dampak pasca konsumsi minuman beralkohol atau minuman keras (external effect) dari peredaran miras menimbulkan banyak ekses negatif, hal yang ditimbulkan adalah berikut ini :
Meningkatkan jumlah kriminalitas dan kewarganegaraan sosial.
Meningkatkan jumlah kecelakaan lalu lintas.
Mempercepat penyebaran virus HIV/AIDS
Menurunkan pendapatan pemerintah dari pajak dan retribusi.

Bahwa berdasarkan data kepolisian pada tahun 2011 tercatat beberapa kasus akibat meminum minuman keras yaitu Korban Pemerkosaan Sebagian Besar Kare na Miras, menurut Kepala Biro Operasi Polda Metro Jaya, Kombes Sujarno, mengatakan modus perkosaan yang banyak terjadi di Jakarta yakni pelaku membujuk korban untuk jalan-jalan terlebih dahulu, kemudian diajak menenggak miras, dan setelah perempuannya mabuk baru diperkosa, kemudian dari data yang ada jumlah kasus perkosaan di Jakarta selama Januari hingga September 2011 mencapai 40 kasus. Sebagian besar korbannya dicekoki miras kemudian diperkosa dalam rumah dan 2 kasus didalam angkot.

ASPEK PARIWISATA

Arief Yahya menambahkan, pertumbuhan positif itu terus berlanjut pada dua bulan berikutnya, yakni Juni dan Juli 2015, sehingga secara kumulatif pada Januari hingga Juli 2015 pertumbuhan kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 2,69 persen. Peningkatan jumlah kunjungan wisman tersebut terutama merupakan dampak dari diberlakukannya kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK) bagi 30 negara serta gencarnya promosi Wonderful Indonesia di 18 negara. "Kebijakan BVK menjadi pendorong kunjungan wisman ke Indonesia," ungkapnya. (Baca juga: Kunjungan Wisman Pada Juli 2015 Meningkat).

Data Tahun 2013, jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia hanya sekitar 8,8 juta. Pada saat yang sama, Malaysia mencatatkan kunjungan wisatawan lebih dari 25 juta jiwa atau hampir tiga kali lipat dari jumlah turis asing yang berkunjung ke Indonesia.

Daya saing kinerja pariwisata Indonesia masih berada di bawah Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Pariwisata Indonesia hanya lebih tinggi dari Vietnam, Filipina, dan Kamboja. Untuk tingkat dunia pada 2010, dari 139 negara, posisi Indonesia berada di urutan 74. Sedangkan Brunei Darussalam ada di posisi 67, Singapura 10, dan Malaysia 35. Untuk tingkat Asia Pasifik, dari 26 negara posisi Indonesia berada di urutan 13, Malaysia 7, dan Singapura di urutan teratas

Dengan demikian, untuk menarik wisatawan asing datang ke Indonesia, bukanlah dengan insentif minuman beralkohol, yaitu dengan menyediakan fasilitas maksiat bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Pola piker ini harus diubah dan direvolusi secara mental. Factor yang menarik minat wisatawan dan meningkatkan angka wisatawan ke Indonesia harus diletakkan pada aspek managemen (pengelolan) kawasan tujuan wisata dan promosi tentang keunikan wisata Indonesia, bukan dengan membebaskan wisatawan mengonsumsi minuman beralkohol yang memabukan.

Selain itu juga, sebagai tamu, sudah sewajarnya wisatawan asing menghormati nilai nilai religius masyarakat Indonesia dan kedaulatan Negara Indonesia yang melalui proses legislasi melarang minuman beralkohol, sekali lagi, bukan kedaulatan yang harus digadaikan demi wisatawan, namun wisatwan asing wajib menghormati nilai nilai religious dan kedaulatan Negara tempat mereka berkunjung.

KRITIK TERHADAP RUU PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL
Dalam konsideran menimbang maupun mengingat, RUU Larangan Minuman Beralkohol sama sekali tidak mendasarkan Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, padahal, sila pertama dari Pancasila ini adalah dasar dari nilai moralitas dan norma yang sangat kuat untuk melakukan LARANGAN Minuman Beralkohol untuk di produksi, diedarkan, diperjualbelikan maupun di konsumsi. Seharusnya pasal 29 UUD dijadikan konsideran “mengingat” dalam RUU tersebut.
Terkait pasal 8 ayat (1), (2) dan (3) RUU tersebut, FPI melihat klausul dalam pasal 8 tersebut merupakan cek kosong yang sangat sangat rawan disalahgunakan. Pasal 8 RUU tersebut sama saja dengan membuka lebar lebar pintu untuk memproduksi, mengedarkan, memperjualbelikan maupun mengonsumsi dengan alasan yang dibuat buat.
Terkait alasan adat, maka perlu dipertanyakan, berapa banyak volume minuman beralkohol yang digunakan dalam acara acara adat..? apakah penggunaan minuman beralkohol tersebut hanya sebagai symbol ritual adat, atau memang digunakan untuk pesta miras dalam upacara adat..? bila digunakan untuk tujuan pesta miras, maka budaya yang merusak tersebut justru harus dicegah melalui hukum, karena hukum salah satu fungsinya adalah sebagai instrument re kayasa social (law as tool as social engeneering), yaitu merekayasa nilai dan norma social yang penuh dengan mabuk mabukan, menjadi nilai dan norma social yang positif. Oleh karenanya RUU tersebut harus menjadi tonggak untuk membersihkan budaya budaya maksiat.
Terkait dengan upacara keagamaan, maka patut dipertanyakan, agama apa dan ritual agama apa yang menggunakan minuman beralkohol sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT..? agama dan ritual agama apa yang menjadikan minuman beralkohol sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT..? hal ini harus dijelaskan secara kongkrit dan bertanggungjawab, agar TIDAK ADA agama yang dicemarkan oleh Negara melalui produk legislasi ini. Dengan mencantumkan minuman beralkohol untuk ritual keagamaan, hal ini sama saja dengan menuduh agama yang ada di Indonesia ini adalah agama pemabuk dan pecandu minuman beralkohol.
Terkait dengan kepentingan wisata, sudah dipaparkan argument sebagaimana pembahasan sebelumnya, sehingga perlu diperhatikan oleh pembuat UU bahwa Faktor utama dalam menarik wisatawan dan meningkatkan angka kunjungan wisatawan, bukanlah dengan menjadi fasilitator untuk berpesta pora dengan minuman beralkohol.
Untuk kepentingan Farmasi, maka argument eksepsional ini justru bertentangan dengan naskah akademik dan tujuan perlindungan kesehatan masyarakat sebagaimana naskah yang ada. Patut menjadi pertanyaan, kepentingan farmasi seperti apa yang membutuhkan minuman beralkohol..? berapa volume minuman beralkohol yang dibutuhkan untuk kepentingan farmasi ini…? Apakah memang ada dokter yang didalam resep untuk pengobatannya merekomendasi minuman beralkohol untuk di konsumsi orang yang sedang sakit…? Belum pernah kami melihat ada resep dokter yang merekomendasi bir sebagai obat untuk orang sakit. Dan tidak pernah ada, apotik di seluruh dunia yang menjual minuman beralkohol di dalam daftar obat mereka.
Terkait tempat tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang – undangan, maka ini sama saja dengan memberikan izin peredaran minuman beralkohol untuk beredar diseluruh wilayah Indonesia dengan perlindungan perizinan. Ini sama saja membuat Undang Undang yang akan dibuat ini menjadi macan ompong dan tak ada manfaat sama sekali.
Memberikan bagian terpenting terkait kewenangan Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut, adalah sama status hukumnya menjadikan Perpres 74/2013 sebagai Undang Undang. Memberikan kewenangan regulasi melalui Peraturan Pemerintah untuk secara leluasa memperdagangkan minuman beralkohol sama saja dengan mengamputasi undang undang.
Terkait pasal 8 secara keseluruhan, maka harus dibuat secara rinci dan jelas mengenai eksepsional tersebut, baik mengenai volume minuman beralkohol yang digunakan dalam acara adat atau keagamaan, maupun batasan lain secara ketat, tanpa didelegasikan lagi kepada Peraturan Pemerintah. Jangan sampai pembuat Undang Undang malas pikir dan malas kerja dalam melindungi rakyat.
Mengenai ketentuan Pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 18, 19, 20 dan 21 RUU tersebut, maka FPI secara tegas meminta kepada pembuat UU untuk menjadikan hukuman cambuk sebagai sarana dalam mendisplinkan masyarakat (law as tool as social engineering), agar tidak terjadi ketergantungan terhadap minuman beralkohol. Kalaupun harus ada hukuman penjara badan, maka ancaman hukuman minimal haruslah 5 Tahun, bukan 2 tahun sebagaimana yang ada dalam RUU.

SIKAP DAN USULAN FPI

FPI MENOLAK KERAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MELEGALISASI MINUMAN KERAS DALAM BENTUK APAPUN BAIK UNDANG-UNDANG, PERATURAN PEMERINTAH, PERATURAN PRESIDEN, KEPRES, PERMEN, MAUPUN PERDA.

FPI MEMINTA DPR BERSAMA PEMERINTAH MELARANG SECARA TOTAL PRODUKSI, DISTRIBUSI, PENJUALAN, MAUPUN KONSUMSI MINUMAN BERALKOHOL DI SELURUH WILAYAH HUKUM INDONESIA MELALUI BERBAGAI PERUNDANGAN BAIK UNDANG-UNDANG, PERATURAN PEMERINTAH, PERATURAN PRESIDEN, KEPRES, PERMEN, MAUPUN PERDA.

FPI MEMINTA PEMERINTAH MEMBERLAKUKAN HUKUM CAMBUK BAGI PELANGGAR UU LARANGAN BERALKOHOL AGAR MEMBERIKAN EFEK JERA KEPADA PEMAKAINYA.
Jakarta, 04 Februari 2016
Pengurus Dewan Pimpinan Pusat
Front Pembela Islam ( FPI )

KH. Ahmad Shabri Lubis, SPd.I H. Munarman, SH
KETUA UMUM SEKRETARIS UMUM

Tembusan :
Imam Besar DPP FPI
Ketua Majlis Syuro DPP FPI