Kenapa Habib Rizieq Shihab Difitnah Dengan Chat Seks?
KENAPA HABIB RIZIEQ DIFITNAH DENGAN CHAT SEKS?
Pasca kekalahan pasangan petahana pada putaran kedua Pilgub DKI, banyak pihak terhenyak, tetap tak bisa percaya.
Bagaimana mungkin petahana yang didukung habis-habisan, diusung 2 parpol peraih suara terbanyak dan runner up di Senayan, didukung dana tak terbatas, di back up keberpihakan penguasa dan aparatnya, bisa kalah telak sampai hampir 16%?! Sebuah kekalahan yang nyaris tak bisa diprediksi lembaga survei manapun.
Berangkat dari keterhenyakan itu, mulailah dicari siapa “biang kerok” yang dianggap paling berperan meng-goal-kan kemenangan bagi paslon Gubernur Muslim.
Alhasil, Habib Rizieq Shihab lah orang yang dianggap punya andil terbesar atas kekalahan ahok. Logikanya sederhana: kekalahan Ahok dianggap tak lepas dari maraknya Aksi Bela Islam yang tujuannya menuntut tindakan hukum atas Ahok yang telah menistakan Al Qur’an terkait pidatonya di Pulau Pramuka yang meminta agar masyarakat jangan mau dibohongi pakai surat Al Maidah ayat 51.
Dan Habib Rizieq lah tokoh sentral yang dianggap menggerakkan serangkaian Aksi Bela Islam, terutama yang paling fenomenal Aksi Damai 411 dan Aksi Super Damai 212.
Padahal, menuding Habib Rizieq sebagai biang keladi kekalahan ahok sebenarnya sama dengan MENGAKUI KEHEBATAN Habib Rizieq Shihab.
Mana mungkin seorang HRS bisa mempengaruhi jutaan warga DKI yang berhak pilih, untuk tidak memilih ahok di bilik suara?! Sedangkan money politics dalam berbagai bentuknya, pembagian sembako “ugal-ugalan” sampai menerobos masa tenang, semua operasi itu telah dijalankan. Seharusnya, hitung-hitungan di atas kertas, petahana pasti menang dong! Lalu bagaimana caranya HRS jadi penyebab kekalahan paslon petahana?! Sedangkan dia tak melakukan gerakan kontra kampanye?!
* * *
Yang dilakukan Habib Rizieq Shihab, bagi penguasa saat ini, justru jauh lebih dari itu, bukan sekedar berperan mengalahkan Ahok, tapi bisa lebih berbahaya lagi jika dibiarkan. Sebab yang dilakukan HRS adalah MEMBUKA PINTU KESADARAN UMMAT ISLAM, MENGUSIK GHIRAH KAUM MUSLIMIN.
Mereka yang semula beragama hanya sekedar sebatas kesalehan ritual (banyak sedekah, sumbang masjid sana sini, bantu panti asuhan dimana-mana, umroh berkali-kali) namun kering dari ‘sense of belonging’ terhadap ISLAM itu sendiri, dengan adanya Aksi Bela Islam, mereka seakan disentakkan kesadarannya bahwa beragama itu bukan sekedar melakukan ibadah ritual semata.
Tapi bagaimana membumikan perintah dan larangan Allah, merasa memiliki terhadap apa yang Allah turunkan, sehingga timbul rasa tidak rela jika agamanya dinistakan, Al Quran nya dianggap alat kebohongan.
Orang yang tadinya tidak peduli pada perintah surat Al Maidah ayat 51, justru dengan dikatakan “jangan mau dibohongi pakai…” terusik untuk mengkaji lebih dalam surat Al Maidah ayat 51 dan ayat-ayat selanjutnya.
Disinilah peran Habib Rizieq dan beberapa ulama yang tergabung dalam GNPF MUI.
Kesadaran itu tidak hanya berhenti sampai sebatas memilih siapa di Pilgub DKI. Sebab Aksi 212 kemudian bergulir ke segala arah, termasuk ke ranah ekonomi.
Munculnya kesadaran ummat Islam untuk bergotongroyong, dengan semangat ukhuwah Islamiyah, membangun bisnis berbasis syariah, bisnis dari ummat, oleh ummat, untuk ummat. Sekarang mungkin masih kecil skalanya. Tapi bukan tidak mungkin jika kelak akan terus menbesar dan mengancam hegemoni dagang para taipan.
Ghirah ummat Islam untuk memilih pemimpin yang berpihak pada Islam dan tidak meminggirkan Islam, akan terus bergulir, tidak berhenti hanya pada Pilgub DKI.
Justru kemenangan paslon Gubernur Muslim yang semula tak diperhitungkan, kini mendongkrak rasa percaya diri ummat Islam, bahwa jika mereka bersatu, maka mereka akan bisa mengalahkan kekuatan besar yang ditopang kekuasaan sekalipun.
Semangat seperti inilah yang akan terbawa dan menular ke berbagai daerah dalam menghadapi Pilkada serentak 2018.
Lebih “celaka” lagi jika semangat ini berlanjut sampai 2019, saat moment Pemilu Legislatif dan Pilpres akan digelar bersamaan.
Apalagi pasca Aksi Bela Islam muncul semangat dan KEPEDULIAN ummat untuk mengawal proses pemungutan suara. Mereka yang dulu hanya pasif menanti hasil perhitungan suara dari KPUD/KPU atau mantengin quick count dari lembaga survei yang bekerjasama dengan media tivi, kini sadar bahwa “KEJUJURAN hasil pemungutan suara dimulai dari TPS”.
Maka bergeraklah ummat Islam, kaum ibu, anak muda, jawara, untuk mengawal TPS, menjaga agar prosesnya steril dari aksi intimidasi ala Iwan Bopeng, tidak bisa disusupi pemilih siluman yang datang gerudukan menjelang TPS tutup hanya berbekal KTP padahal tak dikenali sebagai penduduk setempat, dan yang terpenting hasilnya tak bisa direkayasa secara sistem hitungan di KPU/KPUD.
Bayangkan jika hal ini terjadi di semua Pilkada serentak 2018 dan Pemilu/Pilpres 2019! Maka, memenangkan pilkada dan pemilu bukanlah hal mudah lagi. Tak cukup hanya punya modal uang tak berseri atau intervensi kekuasaan.
Itu sebabnya Habib Rizieq Shihab HARUS DIHABISI. Dihabisi bukan berarti harus dibunuh. Tidak perlu membunuh beliau secara fisik. Tapi bunuhlah karakternya.
Buat citra HRS sedemikian buruk, kotor dan hina sehingga ummat tak mau lagi mendengar nasihatnya, ogah ikut komandonya bahkan ummat menyingkir, meninggalkan HRS.
Apa yang harus dilakukan?
Memenjarakan HRS dengan kasus kriminal biasa, sulit. HRS tidak korupsi karena dia bukan aparatur negara yang punya peluang untuk korupsi.
Maka dibidiklah HRS dengan beragam kasus. Penghinaan terhadap lambang negara, ternyata tak cukup ampuh. Sebab yang dimaksud penghinaan lambang negara adalah menghina burung Garuda Pancasila.
Sedangkan thesis HRS hanya mengupas sejarah “lahirnya” Pancasila sehingga menjadi 5 sila yang urutannya persis seperti apa yang kita kenal sekarang. Mentahlah tuduhan itu, terlalu sumir jika dipaksakan, Kejaksaan saja mengembalikan berkasnya.
Lalu kenapa akhirnya yang diangkat kasus chat sex? Karena untuk membunuh karakter
seorang ulama agar kehilangan kepercayaan ummatnya adalah jika dia terlibat skandal sex!
Maka dibuatlah issu chat sex antara HRS dengan seorang wanita, FH
Meski terlalu banyak kejanggalan dalam kasus chat sex, tapi gaungnya cukup luas. Itulah yang diharapkan, semua orang jadi sibuk membincangkan “bener enggak sih Habib Rizieq melakukan chat sex dengan FH?”.
Tak peduli logis atau tidak (karena HP milik FH sudah berada di tangan kepolisian sejak hampir 2 bulan sebelum chat sex itu diunggah ke internet), yang penting efeknya meluas.
Ini sangat ironis sebenarnya. Sebab sejak awal yang digoreng adalah isu radikalisme.
Setiap Aksi Bela Islam selalu dikaitkan dengan isu bakal adanya kerusuhan massa, bergeser menjadi gerakan makar, melawan dan menumbangkan pemerintahan yang sah.
Namun sayang issu RADIKALISME yang digoreng itu GAGAL TOTAL! bahkan puncak dari Aksi Bela Islam, dimana 7 jutaan ummat Islam dari berbagai penjuru negeri berkumpul sejak dini hari di pusat Jakarta, di sekitar pusat-pusat kekuasaan, namun tak satupun ada kerusakan.
Jangankan merusak, sampah yang dihasilkan pun secara swadaya dibersihkan dan dikumpulkan dalam kantong-kantong plastik besar, sehingga petugas kebersihan tinggal mengambil saja. Jangankan bergerak rusuh ke pusat-pusat kekuasaan, berebut makanan dan minuman saja tidak ada.
Sulit, sulit sekali menggiring opini bahwa ini gerakan ISLAM RADIKAL. Apalagi Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, Menag, Menko Polhukam, juga ikut hadir di acara itu. Kapolri dan Panglima TNI pun ikut jadi saksi jalannya Aksi Super Damai.
Apalagi belakangan Jokowi pun tanpa disadari ikut “MEMPROMOSIKAN” ke masyarakat internasional bahwa aksi 212 adalah aksi damai, nothing to worry about untuk berinvestasi di Indonesia. Disini ummat Islam berkumpul sampai 7 juta orang, meski niatnya berdemo, tapi tetap bisa menjaga situasi tetap aman dan damai.
Nah lho, ambigu bukan jika tetap memaksakan tuduhan PENYULUT RADIKALISME pada Habib Rizieq Shihab?!
* * *
Gagal di isu radikalisme, maka harapannya kini bertumpu pada kasus chat sex. Meski sudah banyak pakar dan pengamat dari berbagai disiplin ilmu menelanjangi kejanggalan issu ini, polisi tak menyerah.
Setelah “digugat” kenapa tidak menangkap pihak yang mengunggah dan menyebarkan pertama kali, kini polisi menuduh hacker asal Amerika lah yang pertama kali meretas chat sex itu. Anonymous Amerika pelakunya.
Ini makin konyol sebenarnya. Sebab di Amerika yang namanya free sex sudah “santapan” sehari-hari.
Jangankan cuma chat sex yang sudah marak sejak belasan tahun lalu ketika orang masih gandrung pakai Yahoo Messenger, aksi tukar menukar video sex disana sudah bukan issu baru.
Dan sebagai masyarakat yang berpaham liberal, di sana orang mau melakukan free sex sepanjang tidak menganggu orang lain, ya tidak masalah, itu urusan pribadi pelakunya.
Jadi bagaimana Anonymous Amerika bisa sedemikian tertarik meretas urusan chat sex pribadi? Apalagi kemudian diunggah ke internet lewat website bernama “Balada Cinta Rizieq”, ini nama web nya “Indonesia bingitz”.
Tapi sudahlah. Tak penting masuk akal atau tidak, konyol atau logis, yang penting nama HRS dicemarkan. Harapannya, ummat Islam “pinggiran” yang relatif tidak terdidik, tidak well informed, akan menelan mentah-mentah tuduhan bahwa HRS melakukan chat sex.
Bukti bahwa aparat bernafsu membusukkan citra HRS, ketika kepolisian menyebar foto HRS ke berbagai daerah, seolah dia buronan yang bersembunyi di pelosok tanah air, di hutan belantara, menyamar di desa-desa terpencil.
Padahal, seluruh aparat kepolisian tahu HRS sedang berada di Arab Saudi. Tinggal layangkan saja surat resmi kepada Dirjen Imigrasi untuk mencabut paspor HRS, lalu tinggal kirim surat ke Pemerintah Saudi agar mendeportasi HRS karena dia sudah berstatus illegal tanpa paspor.
Anehnya, seperti kata Ronnie F. Sompie, Dirjen Imigrasi yang mantan Kapolda Bali, pihaknya belum akan mencabut paspor HRS karena sampai saat ini tidak ada permintaan dari Polri.
Nah, ini bukti bahwa sebenarnya kepolisian tak serius-serius amat ingin memaksa HRS kembali ke Indonesia. Padahal mudah, cukup cabut parpornya, cekal dia, agar ada alasan kuat untuk meminta pihak berwenang Saudi Arabia mendeportasi HRS.
Bukan dengan menyebar foto HRS ke berbagai pelosok daerah. Untuk apa?! Jelas masyarakat sudah kenal baik wajah dan penampilan HRS, lagi pula toh HRS tak ada di Indonesia.
Disini jelas sekali tujuannya memang hanya merusak nama HRS agar ummat berkurang kepercayaannya pada HRS.
Namun sayang, kepolisian dan penguasa tidak belajar banyak dari berbagai kejadian sebelumnya. Aksi 212 misalnya, makin dihadang, makin dihalangi, justru melahirkan Aksi Simpatik longmarch, jalan kaki para santri muda dari Ciamis ke Jakarta.
Aksi ini menimbulkan rasa simpati ummat Islam dan efeknya bak bola salju menstimulasi mereka yang tadinya tidak berencana ikut Aksi 212 jadi ikut. Atau belajar dari yang lebih belakangan terjadi: tebar sembako dan baju kotak-kotak habis-habisan di penghujung masa kampanye hingga masuk masa tenang, dengan harapan pemilih akan mengidentifikasikan dirinya dengan gambar paslon berbaju kotak-kotak ketika berada di TPS.
Tapi apa yang didapat? Pemilih kelas menegah atas, kaum terdidik, mereka yang semula masih tergolong undecided voters, justru muak melihat aksi money politics ugal-ugalan macam itu, akhirnya… Jadilah kemenangan Anies Sandi lebih fenomenal dan lebih besar selisih suaranya.
Jadi, aparat kepolisian, penguasa, jika ingin menghabisi Habib Rizieq Shihab, mbok ya tolong cari kasus yang benar-benar berkelas.
Jadi tidak malu-maluin kalau harus mengeluarkan red notice ke interpol, punya alasan kuat kalau mau mencabut paspornya, dan dampaknya ummat bisa benar-benar berpaling dari HRS.
Nah, masalahnya, dari belasan kasus yang dipakai untuk membidik HRS, adakah yang benar-benar kuat bisa menghabisi HRS?! Sementara 2018 dan 2019 makin dekat…
HasbunaLlaahu wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashiir…
Laa haula wa laa quwwata illaa billaah… HRS bukan nabi apalagi Rasul. Beliau hanyalah ulama yang memilih nahi munkar sebagai jalan dakwahnya ketika banyak ulama lain lebih memilih fokus pada amar ma’ruf semata.
HRS tentu tak luput dari kesalahan, tapi di tengah gersangnya figur panutan, ummat Islam Indonesia sudah menunjukkan kepercayaan mereka pada Habib Rizieq Shihab.
Siapapun yang mau mendelegitimasi HRS, dia haruslah figur yang lebih layak dipercaya.
Penulis: Iramawati Oemar
Pasca kekalahan pasangan petahana pada putaran kedua Pilgub DKI, banyak pihak terhenyak, tetap tak bisa percaya.
Bagaimana mungkin petahana yang didukung habis-habisan, diusung 2 parpol peraih suara terbanyak dan runner up di Senayan, didukung dana tak terbatas, di back up keberpihakan penguasa dan aparatnya, bisa kalah telak sampai hampir 16%?! Sebuah kekalahan yang nyaris tak bisa diprediksi lembaga survei manapun.
Berangkat dari keterhenyakan itu, mulailah dicari siapa “biang kerok” yang dianggap paling berperan meng-goal-kan kemenangan bagi paslon Gubernur Muslim.
Alhasil, Habib Rizieq Shihab lah orang yang dianggap punya andil terbesar atas kekalahan ahok. Logikanya sederhana: kekalahan Ahok dianggap tak lepas dari maraknya Aksi Bela Islam yang tujuannya menuntut tindakan hukum atas Ahok yang telah menistakan Al Qur’an terkait pidatonya di Pulau Pramuka yang meminta agar masyarakat jangan mau dibohongi pakai surat Al Maidah ayat 51.
Dan Habib Rizieq lah tokoh sentral yang dianggap menggerakkan serangkaian Aksi Bela Islam, terutama yang paling fenomenal Aksi Damai 411 dan Aksi Super Damai 212.
Padahal, menuding Habib Rizieq sebagai biang keladi kekalahan ahok sebenarnya sama dengan MENGAKUI KEHEBATAN Habib Rizieq Shihab.
Mana mungkin seorang HRS bisa mempengaruhi jutaan warga DKI yang berhak pilih, untuk tidak memilih ahok di bilik suara?! Sedangkan money politics dalam berbagai bentuknya, pembagian sembako “ugal-ugalan” sampai menerobos masa tenang, semua operasi itu telah dijalankan. Seharusnya, hitung-hitungan di atas kertas, petahana pasti menang dong! Lalu bagaimana caranya HRS jadi penyebab kekalahan paslon petahana?! Sedangkan dia tak melakukan gerakan kontra kampanye?!
* * *
Yang dilakukan Habib Rizieq Shihab, bagi penguasa saat ini, justru jauh lebih dari itu, bukan sekedar berperan mengalahkan Ahok, tapi bisa lebih berbahaya lagi jika dibiarkan. Sebab yang dilakukan HRS adalah MEMBUKA PINTU KESADARAN UMMAT ISLAM, MENGUSIK GHIRAH KAUM MUSLIMIN.
Mereka yang semula beragama hanya sekedar sebatas kesalehan ritual (banyak sedekah, sumbang masjid sana sini, bantu panti asuhan dimana-mana, umroh berkali-kali) namun kering dari ‘sense of belonging’ terhadap ISLAM itu sendiri, dengan adanya Aksi Bela Islam, mereka seakan disentakkan kesadarannya bahwa beragama itu bukan sekedar melakukan ibadah ritual semata.
Tapi bagaimana membumikan perintah dan larangan Allah, merasa memiliki terhadap apa yang Allah turunkan, sehingga timbul rasa tidak rela jika agamanya dinistakan, Al Quran nya dianggap alat kebohongan.
Orang yang tadinya tidak peduli pada perintah surat Al Maidah ayat 51, justru dengan dikatakan “jangan mau dibohongi pakai…” terusik untuk mengkaji lebih dalam surat Al Maidah ayat 51 dan ayat-ayat selanjutnya.
Disinilah peran Habib Rizieq dan beberapa ulama yang tergabung dalam GNPF MUI.
Kesadaran itu tidak hanya berhenti sampai sebatas memilih siapa di Pilgub DKI. Sebab Aksi 212 kemudian bergulir ke segala arah, termasuk ke ranah ekonomi.
Munculnya kesadaran ummat Islam untuk bergotongroyong, dengan semangat ukhuwah Islamiyah, membangun bisnis berbasis syariah, bisnis dari ummat, oleh ummat, untuk ummat. Sekarang mungkin masih kecil skalanya. Tapi bukan tidak mungkin jika kelak akan terus menbesar dan mengancam hegemoni dagang para taipan.
Ghirah ummat Islam untuk memilih pemimpin yang berpihak pada Islam dan tidak meminggirkan Islam, akan terus bergulir, tidak berhenti hanya pada Pilgub DKI.
Justru kemenangan paslon Gubernur Muslim yang semula tak diperhitungkan, kini mendongkrak rasa percaya diri ummat Islam, bahwa jika mereka bersatu, maka mereka akan bisa mengalahkan kekuatan besar yang ditopang kekuasaan sekalipun.
Semangat seperti inilah yang akan terbawa dan menular ke berbagai daerah dalam menghadapi Pilkada serentak 2018.
Lebih “celaka” lagi jika semangat ini berlanjut sampai 2019, saat moment Pemilu Legislatif dan Pilpres akan digelar bersamaan.
Apalagi pasca Aksi Bela Islam muncul semangat dan KEPEDULIAN ummat untuk mengawal proses pemungutan suara. Mereka yang dulu hanya pasif menanti hasil perhitungan suara dari KPUD/KPU atau mantengin quick count dari lembaga survei yang bekerjasama dengan media tivi, kini sadar bahwa “KEJUJURAN hasil pemungutan suara dimulai dari TPS”.
Maka bergeraklah ummat Islam, kaum ibu, anak muda, jawara, untuk mengawal TPS, menjaga agar prosesnya steril dari aksi intimidasi ala Iwan Bopeng, tidak bisa disusupi pemilih siluman yang datang gerudukan menjelang TPS tutup hanya berbekal KTP padahal tak dikenali sebagai penduduk setempat, dan yang terpenting hasilnya tak bisa direkayasa secara sistem hitungan di KPU/KPUD.
Bayangkan jika hal ini terjadi di semua Pilkada serentak 2018 dan Pemilu/Pilpres 2019! Maka, memenangkan pilkada dan pemilu bukanlah hal mudah lagi. Tak cukup hanya punya modal uang tak berseri atau intervensi kekuasaan.
Itu sebabnya Habib Rizieq Shihab HARUS DIHABISI. Dihabisi bukan berarti harus dibunuh. Tidak perlu membunuh beliau secara fisik. Tapi bunuhlah karakternya.
Buat citra HRS sedemikian buruk, kotor dan hina sehingga ummat tak mau lagi mendengar nasihatnya, ogah ikut komandonya bahkan ummat menyingkir, meninggalkan HRS.
Apa yang harus dilakukan?
Memenjarakan HRS dengan kasus kriminal biasa, sulit. HRS tidak korupsi karena dia bukan aparatur negara yang punya peluang untuk korupsi.
Maka dibidiklah HRS dengan beragam kasus. Penghinaan terhadap lambang negara, ternyata tak cukup ampuh. Sebab yang dimaksud penghinaan lambang negara adalah menghina burung Garuda Pancasila.
Sedangkan thesis HRS hanya mengupas sejarah “lahirnya” Pancasila sehingga menjadi 5 sila yang urutannya persis seperti apa yang kita kenal sekarang. Mentahlah tuduhan itu, terlalu sumir jika dipaksakan, Kejaksaan saja mengembalikan berkasnya.
Lalu kenapa akhirnya yang diangkat kasus chat sex? Karena untuk membunuh karakter
seorang ulama agar kehilangan kepercayaan ummatnya adalah jika dia terlibat skandal sex!
Maka dibuatlah issu chat sex antara HRS dengan seorang wanita, FH
Meski terlalu banyak kejanggalan dalam kasus chat sex, tapi gaungnya cukup luas. Itulah yang diharapkan, semua orang jadi sibuk membincangkan “bener enggak sih Habib Rizieq melakukan chat sex dengan FH?”.
Tak peduli logis atau tidak (karena HP milik FH sudah berada di tangan kepolisian sejak hampir 2 bulan sebelum chat sex itu diunggah ke internet), yang penting efeknya meluas.
Ini sangat ironis sebenarnya. Sebab sejak awal yang digoreng adalah isu radikalisme.
Setiap Aksi Bela Islam selalu dikaitkan dengan isu bakal adanya kerusuhan massa, bergeser menjadi gerakan makar, melawan dan menumbangkan pemerintahan yang sah.
Namun sayang issu RADIKALISME yang digoreng itu GAGAL TOTAL! bahkan puncak dari Aksi Bela Islam, dimana 7 jutaan ummat Islam dari berbagai penjuru negeri berkumpul sejak dini hari di pusat Jakarta, di sekitar pusat-pusat kekuasaan, namun tak satupun ada kerusakan.
Jangankan merusak, sampah yang dihasilkan pun secara swadaya dibersihkan dan dikumpulkan dalam kantong-kantong plastik besar, sehingga petugas kebersihan tinggal mengambil saja. Jangankan bergerak rusuh ke pusat-pusat kekuasaan, berebut makanan dan minuman saja tidak ada.
Sulit, sulit sekali menggiring opini bahwa ini gerakan ISLAM RADIKAL. Apalagi Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, Menag, Menko Polhukam, juga ikut hadir di acara itu. Kapolri dan Panglima TNI pun ikut jadi saksi jalannya Aksi Super Damai.
Apalagi belakangan Jokowi pun tanpa disadari ikut “MEMPROMOSIKAN” ke masyarakat internasional bahwa aksi 212 adalah aksi damai, nothing to worry about untuk berinvestasi di Indonesia. Disini ummat Islam berkumpul sampai 7 juta orang, meski niatnya berdemo, tapi tetap bisa menjaga situasi tetap aman dan damai.
Nah lho, ambigu bukan jika tetap memaksakan tuduhan PENYULUT RADIKALISME pada Habib Rizieq Shihab?!
* * *
Gagal di isu radikalisme, maka harapannya kini bertumpu pada kasus chat sex. Meski sudah banyak pakar dan pengamat dari berbagai disiplin ilmu menelanjangi kejanggalan issu ini, polisi tak menyerah.
Setelah “digugat” kenapa tidak menangkap pihak yang mengunggah dan menyebarkan pertama kali, kini polisi menuduh hacker asal Amerika lah yang pertama kali meretas chat sex itu. Anonymous Amerika pelakunya.
Ini makin konyol sebenarnya. Sebab di Amerika yang namanya free sex sudah “santapan” sehari-hari.
Jangankan cuma chat sex yang sudah marak sejak belasan tahun lalu ketika orang masih gandrung pakai Yahoo Messenger, aksi tukar menukar video sex disana sudah bukan issu baru.
Dan sebagai masyarakat yang berpaham liberal, di sana orang mau melakukan free sex sepanjang tidak menganggu orang lain, ya tidak masalah, itu urusan pribadi pelakunya.
Jadi bagaimana Anonymous Amerika bisa sedemikian tertarik meretas urusan chat sex pribadi? Apalagi kemudian diunggah ke internet lewat website bernama “Balada Cinta Rizieq”, ini nama web nya “Indonesia bingitz”.
Tapi sudahlah. Tak penting masuk akal atau tidak, konyol atau logis, yang penting nama HRS dicemarkan. Harapannya, ummat Islam “pinggiran” yang relatif tidak terdidik, tidak well informed, akan menelan mentah-mentah tuduhan bahwa HRS melakukan chat sex.
Bukti bahwa aparat bernafsu membusukkan citra HRS, ketika kepolisian menyebar foto HRS ke berbagai daerah, seolah dia buronan yang bersembunyi di pelosok tanah air, di hutan belantara, menyamar di desa-desa terpencil.
Padahal, seluruh aparat kepolisian tahu HRS sedang berada di Arab Saudi. Tinggal layangkan saja surat resmi kepada Dirjen Imigrasi untuk mencabut paspor HRS, lalu tinggal kirim surat ke Pemerintah Saudi agar mendeportasi HRS karena dia sudah berstatus illegal tanpa paspor.
Anehnya, seperti kata Ronnie F. Sompie, Dirjen Imigrasi yang mantan Kapolda Bali, pihaknya belum akan mencabut paspor HRS karena sampai saat ini tidak ada permintaan dari Polri.
Nah, ini bukti bahwa sebenarnya kepolisian tak serius-serius amat ingin memaksa HRS kembali ke Indonesia. Padahal mudah, cukup cabut parpornya, cekal dia, agar ada alasan kuat untuk meminta pihak berwenang Saudi Arabia mendeportasi HRS.
Bukan dengan menyebar foto HRS ke berbagai pelosok daerah. Untuk apa?! Jelas masyarakat sudah kenal baik wajah dan penampilan HRS, lagi pula toh HRS tak ada di Indonesia.
Disini jelas sekali tujuannya memang hanya merusak nama HRS agar ummat berkurang kepercayaannya pada HRS.
Namun sayang, kepolisian dan penguasa tidak belajar banyak dari berbagai kejadian sebelumnya. Aksi 212 misalnya, makin dihadang, makin dihalangi, justru melahirkan Aksi Simpatik longmarch, jalan kaki para santri muda dari Ciamis ke Jakarta.
Aksi ini menimbulkan rasa simpati ummat Islam dan efeknya bak bola salju menstimulasi mereka yang tadinya tidak berencana ikut Aksi 212 jadi ikut. Atau belajar dari yang lebih belakangan terjadi: tebar sembako dan baju kotak-kotak habis-habisan di penghujung masa kampanye hingga masuk masa tenang, dengan harapan pemilih akan mengidentifikasikan dirinya dengan gambar paslon berbaju kotak-kotak ketika berada di TPS.
Tapi apa yang didapat? Pemilih kelas menegah atas, kaum terdidik, mereka yang semula masih tergolong undecided voters, justru muak melihat aksi money politics ugal-ugalan macam itu, akhirnya… Jadilah kemenangan Anies Sandi lebih fenomenal dan lebih besar selisih suaranya.
Jadi, aparat kepolisian, penguasa, jika ingin menghabisi Habib Rizieq Shihab, mbok ya tolong cari kasus yang benar-benar berkelas.
Jadi tidak malu-maluin kalau harus mengeluarkan red notice ke interpol, punya alasan kuat kalau mau mencabut paspornya, dan dampaknya ummat bisa benar-benar berpaling dari HRS.
Nah, masalahnya, dari belasan kasus yang dipakai untuk membidik HRS, adakah yang benar-benar kuat bisa menghabisi HRS?! Sementara 2018 dan 2019 makin dekat…
HasbunaLlaahu wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashiir…
Laa haula wa laa quwwata illaa billaah… HRS bukan nabi apalagi Rasul. Beliau hanyalah ulama yang memilih nahi munkar sebagai jalan dakwahnya ketika banyak ulama lain lebih memilih fokus pada amar ma’ruf semata.
HRS tentu tak luput dari kesalahan, tapi di tengah gersangnya figur panutan, ummat Islam Indonesia sudah menunjukkan kepercayaan mereka pada Habib Rizieq Shihab.
Siapapun yang mau mendelegitimasi HRS, dia haruslah figur yang lebih layak dipercaya.
Penulis: Iramawati Oemar