Pasca Persija Juara Piala Presiden, Popularitas Dan Elektabilitas Anies Melambung Tinggi


Jum'at, 23 Februari 2018

*Persija Dapat Rp 3,3 Miliar, Anies Dapat Insentif Elektoral Tak Ternilai*

 _Catatan Digital_ :
 *Alfi Rahmadi**

Kalau bukan insiden penghadangan Paspamres terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, gegap gempita kemenangan Persija Jakarta tak akan semeriah seperti sekarang. Bisa dibayang, tensi juara Piala Presiden mengalahkan kompetisi kasta tertinggi dalam jagat sepakbola nasional: Indonesia Super League (ISL).

Masyarakat biasa—dalam arti bukan tulen penggemar sepakbola—tiba-tiba menjadi penggemar. Perhatian mereka justru tertumpah pasca kemenangan Persija melawan Bali United di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu, 17 Februari 2018, dengan skor 3-0.

Tak peduli mereka punya klub di provinsi masing-masing. Para penggemar dadakan ‘mendukung’ Persija secara buta. Sudah barang tentu semua itu karena simpatinya bermedan magnet Anies Baswedan.

Euforia simpatinya sangat jauh melebihi apa yang seharusnya diterima Marko Simic dan Novri Setiawan, duo pencetak gol kemenangan. Sebagai “brace” atau pencetak dua gol, Simic, pemain kelahiran Kroasia ini, meraih anugerah sepatu emas.

Pemain berusia 30 itu dinobatkan sebagai pemain terbaik sepanjang turnamen pramusim Piala Presiden 2018 dengan torehan total 11 gol. Ia pantas mendapatnya. Pada gol kedua dalam final Piala Presiden 2018 tersebut, Simic mencetaknya dengan tendangan salto yang indah.

Peran bek Jaimerson da Silva, pengawal pertahanan Pesija dari gempuran Bali United, juga tak boleh dilupakan. Apalagi peran Stefano Cugurra Teco, pelatih sang Macan Kemayoran. Tapi histeria insiden yang berbuah gelombang simpati Anies Baswedan seakan mencukur memori tersebut.

Wa bil khusus dalam soal hadiah. Menjadi juara Piala Presiden 2018, Persija membawa pulang Rp 3,3 miliar. Tapi nilai sebesar ini menjadi tak berarti di tengah gegap gempita tumpahnya simpati publik terhadap “Gubernur Indonesia” ini.

Semua itu terjadi akibat perhelatan senetral sepakbola telah bermutasi menjadi perhelatan politik. Kecerobohan panitia Piala Presiden 2018 tidak memasukan nama Anies Baswedan sebagai pendamping Presiden Jokowi menuju podium piala di lapangan hijau pada akhirnya malah mendulang ‘berkah’ untuk Anies berupa insentif elektoral luar biasa jelang Pilpres 2019.

Nama Anies Baswedan dalam simulasi survei opini publik _Indo Barometer_ dan _Poltracking_ , sama-sama rilis pada Februari 2018 atau sebelum pertandingan final di GBK itu, memang muncul sebagai kuda hitam.

Para responden survei _Indo Barometer_ menempatkan mantan Rektor Universitas Paramadina itu sebagai penantang terberat Jokowi bila Prabowo Subianto tak maju pada Pilpres 2019. Terlebih bila terdapat kelegawaan Prabowo menjadi _King Maker_ dengan mentahbiskan Anies sebagai penggantinya. Mereka yang selama ini tidak suka Jokowi, seberapapun keberhasilan pemerintah dalam pembangunan, diproyeksikan dukungannya hijrah dari Prabowo ke Anies.

Beredar begitu massif musikalisasi syair dukungan terhadap Anies usai insiden tersebut, meskipun tayangan ulang dukungan terhadap Anies-Sandi di perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017. Dalam pengantar tautan musik dalam you tube itu tertulis pesan *kita tak pernah memulai tapi pantang terkulai sebelum berlaga*. Pesan tersebut seolah menegasikan bahwa pihak Anies tak pernah memulai untuk bertarung. Tapi begitu sudah masuk kompetisi, pantang untuk mundur.

Sejumlah kelompok masyarakat yang semula menambat harapan agar Anies menuntaskan periodenya sebagai orang nomor satu di ibu kota, tak urung menyambut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI itu untuk berlaga dalam kontestasi politik tertinggi 2019: Pilpres.   

Insentif elektoral Anies sedemikian tinggi, dalam psiko-politik, bukan semata terdorong dari insiden penghadangan petugas Paspampres dari tribun menuju podium Piala Presiden mendampingi Jokowi. Tapi juga ditopang kepiawaian Anies menyikapinya.

Nampak dia sama sekali tidak bawa perasaan alias _baper_ . Tidak juga _caper_ atau cari perhatian. Anies nampak sangat matang mengendalikan emosi, sekalipun hak dan otoritasnya sebagai tuan rumah dikangkangi. “Tak perlu saya ada di mana, yang penting Persija menang,” ujarnya.

Toh, beberapa hari usai insiden itu, The Jak Mania, pemain, official dan perwakilan seluruh keluarga besar Persija bertandang ke kantor Gubernur DKI Jakarta, untuk merayakan pesta kemenangan.

Kini, di tengah satuan waktu menuju Pilpres 2019 berjalan, tim dan lingkaran terdekat Presiden Jokowi tertuntut lebih cermat dan tepat mengambil keputusan. Kelalaian—kalau tidak disebut kebodohan politik—barisan panitia Piala Presiden 2018 cukuplah menjadi pelajaran berharga.

Pelajaran penting: tempatkan sesuatu yang berhak sebagai haknya. Khusus tim semua calon kepala daerah di perhelatan Pilkada serentak 2018, tunjukan sikap proporsional: mampu  membedakan mana wilayah pemilu dan mana wilayah sosial, politik dan hukum.

Penting untuk dicatat tebal: *Menyuntik motivasi politik elektoral ke dalam even senetral sepakbola terbukti berakibat fatal* . Panitia Piala Presiden 2018 tak perlu _carmuk_ untuk menyenangkan hati sekelas Jokowi, petahana Pilpres 2019. Mantan pengusaha mebel ini sudah menjadi media darling sejak Pilkada Jakarta 2012.

Tak perlu juga apologi; banyak debat  hukum dan regulasi tentang keprotokoleran dengan segala tetek bengek standar operasional prosedur (SOP). Menilai insiden ini amat sederhana. Dalam tata kelola pemerintahan atau administrasi politik, DKI Jakarta itu yurisdiksi siapa? Masak Gubernur Jawa Tengah atau Jawa Barat tuan rumah DKI Jakarta? 
Tak penting selama jalannya pertandingan, Jokowi dan Anies nampak begitu mesra, khususnya ucapan selamat Jokowi kepada Anies saat Persija mencetak gol. Karena demikianlah sportivitas olahraga.

Maka tidak tepat menjadikan situasi cair nan hangat itu sebagai bampers begitu persoalan politisnya muncul, lantaran merupakan dua wilayah berbeda. Nuansa cair tersebut seolah-olah dijadikan pembenaran tidak ada persoalan, menyepelekan etika dan kepatutan dalam politik.

Justru bila matang secara politik, spirit sportivitas dan kolektivitas sepakbola sudah diusung sejak awal. Tidak pandang bulu latarbelakang politik para pemangku kepentingan dan kebijakan dalam sebuah pesta olahraga.

Karena itu untuk meredakan kontroversi dan menyelamatkan muka Istana, Maruara Sirait, Ketua Steering Committee Piala Presiden 2018, pasang badan. Calon Menpora  yang gagal ini meminta maaf kepada Presiden dan Gubernur DKI Jakarta sekaligus. Semua kesalahan prosedur tersebut dia  pasang badan bertanggungjawab.

Bila mampu menempatkan hak dan membedakan wilayah pemilu dan area di luarnya, barisan dekat Presiden RI ke-7 tak bakal terserang fobia atau kepanikan luar biasa. Alih-alih hendak mengganjal, toh terganjal. Dan rivalnya meraup keuntungan besar sebagai insentif elektoral. []

*__Analis Polhukam & Isu Strategis_