Lakukan Standar Ganda Ahok Dibela Dan Anies Diserang, ACTA Lakukan Gugatan Class Action Terhadap Ombudsman
Rabu, 28 Maret 2018
Jakarta - Anggota Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala sering membela Ahok itu sudah menjadi rahasia umum, sehingga banyak kalangan yang menduga Adrianus memang merupakan pendukung berat Ahok apalagi mereka berdua seiman.
Dan dari jejak digital yang ada Adrianus Meliala pada tanggal 15/11/2016 terbukti secara terang-terangan membela Ahok. Saat itu Adrianus menyatakan Gelar Perkara kasus Ahok yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah produk hukum dadakan dan proses hukum terhadap Ahok itu dipaksakan.
Bukti pernyataan Adrianus tersebut:
Gelar Perkara Ahok Produk Hukum 'Dadakan', Polri Tak Punya Regulasi Yang Pas
http://www.siagaindonesia.com/138647/gelar-perkara-ahok-produk-hukum-dadakan-polri-tak-punya-regulasi-yang-pas.html
Padahal kemudian dalam persidangan Ahok dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim karena telah terbukti menistakan agama Islam sehingga dihukum penjara dua tahun.
Jadi jelas proses hukum terhadap Ahok itu bukan "produk hukum dadakan" dan "sesuatu yang dipaksakan" seperti kata Adrianus, tetapi memang benar faktanya kejahatan penistaan agama Islam telah dilakukan Ahok dan proses hukum harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum karena bukti-buktinya ada dan kuat.
Jadi fakta Adrianus adalah seorang pembela Ahok telah terbukti di atas. Dan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) segera melakukan Gugatan Class Action terhadap Ombudsman karena diduga melakukan standar ganda dalam penanganan laporan yaitu lembek terhadap Ahok dan sangat tendensius terhadap Anies.
Sebagai berikut.
CLASS ACTION ACTA TERHADAP OMBUDSMAN KARENA DIDUGA STANDAR GANDA DALAM PENANGANAN LAPORAN
Pada hari Senin minggu depan, kami akan mendaftarkan gugatan Class Action terhadap Ombudsman Republik Indonesia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kami menduga bahwa Ombudsman telah menerapkan standar ganda dalam memeriksa laporan yang masuk dari masyarakat.
Setidaknya ada dua kasus yang menjadi acuan kami untuk menjadi dasar argumentasi gugatan.
Yang pertama, laporan rekan kami Ali Lubis tertanggal 1 Maret 2018 soal dugaan maladministrasi terkait adanya pertemuan Presiden dan petinggi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang disebutkan juga membahas pemenangan Pilpres.
Dasar pelaporan tersebut sangat kuat karena Istana sebagai pusat pengendalian pelayanan publik tentu tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok orang saja.
Namun laporan tersebut nyaris ditolak Ombudsman dengan berbagai dalih seperti tidak adanya AD/ART organisasi ACTA dan lain-lain.
Yang paling parah, Ombudsman mengolok-olok kami sebagai Pelapor dengan mengatakan ke media bahwa kami hanya curhat karena tidak menyebutkan identitas terlpor, padahal dalam UU Ombudsman tidak ada aturan harus mencantumkan Terlapor.
Tindakan Ombudsman ini adalah contoh yang sangat buruk bagi pelayanan publik dimana laporan nyaris ditolak dan pelapor diolok-olok.
Yang kedua, kasus dugaan mal administrasi penataan Tanah Abang. Tidak jelas siapa pelapor dalam kasus ini tapi Ombudsman bisa bergerak sangat cepat dan mengumumkan telah terjadi dugaan maladministrasi.
Kami tidak melihat bahwa kasus tanah abang merupakan domain Ombudsman karena tidak menyangkut pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik.
Selaian itu Pemerintah DKI Jakarta memiliki kewenangan untuk melakukan diskresi sebagaimana dijamin Pasal 6 ayat (2) huruf e UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Terlihat ada perbedaan dalam penanganan kedua kasus tersebut. Disatu sisi Ombudsman begitu lamban dan terkesan berusaha menolak laporan kami, disisi lain Ombudsman bisa begitu agresif mengusut kasus Tanah Abang meski termasuk diskresi yang legal.
Kami khawatir publik akan menilai Ombudsman hanya tajam terhadap pemerintah DKI Jakarta dan tumpul memeriksa laporan terkait Istana.
Ada tiga tuntutan dalam gugatan class action ini yaitu agar Ombudsman dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, agar ombudsman dihukum untuk melakukan evaluasi dan perbaikan penanganan seluruh laporan dan agar Ombudsman meminta maaf kepada rakyat Indoensia secara terbuka.
Jakarta 28 Maret 2018
Jakarta - Anggota Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala sering membela Ahok itu sudah menjadi rahasia umum, sehingga banyak kalangan yang menduga Adrianus memang merupakan pendukung berat Ahok apalagi mereka berdua seiman.
Dan dari jejak digital yang ada Adrianus Meliala pada tanggal 15/11/2016 terbukti secara terang-terangan membela Ahok. Saat itu Adrianus menyatakan Gelar Perkara kasus Ahok yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah produk hukum dadakan dan proses hukum terhadap Ahok itu dipaksakan.
Bukti pernyataan Adrianus tersebut:
Gelar Perkara Ahok Produk Hukum 'Dadakan', Polri Tak Punya Regulasi Yang Pas
http://www.siagaindonesia.com/138647/gelar-perkara-ahok-produk-hukum-dadakan-polri-tak-punya-regulasi-yang-pas.html
Padahal kemudian dalam persidangan Ahok dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim karena telah terbukti menistakan agama Islam sehingga dihukum penjara dua tahun.
Jadi jelas proses hukum terhadap Ahok itu bukan "produk hukum dadakan" dan "sesuatu yang dipaksakan" seperti kata Adrianus, tetapi memang benar faktanya kejahatan penistaan agama Islam telah dilakukan Ahok dan proses hukum harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum karena bukti-buktinya ada dan kuat.
Jadi fakta Adrianus adalah seorang pembela Ahok telah terbukti di atas. Dan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) segera melakukan Gugatan Class Action terhadap Ombudsman karena diduga melakukan standar ganda dalam penanganan laporan yaitu lembek terhadap Ahok dan sangat tendensius terhadap Anies.
Sebagai berikut.
CLASS ACTION ACTA TERHADAP OMBUDSMAN KARENA DIDUGA STANDAR GANDA DALAM PENANGANAN LAPORAN
Pada hari Senin minggu depan, kami akan mendaftarkan gugatan Class Action terhadap Ombudsman Republik Indonesia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kami menduga bahwa Ombudsman telah menerapkan standar ganda dalam memeriksa laporan yang masuk dari masyarakat.
Setidaknya ada dua kasus yang menjadi acuan kami untuk menjadi dasar argumentasi gugatan.
Yang pertama, laporan rekan kami Ali Lubis tertanggal 1 Maret 2018 soal dugaan maladministrasi terkait adanya pertemuan Presiden dan petinggi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang disebutkan juga membahas pemenangan Pilpres.
Dasar pelaporan tersebut sangat kuat karena Istana sebagai pusat pengendalian pelayanan publik tentu tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok orang saja.
Namun laporan tersebut nyaris ditolak Ombudsman dengan berbagai dalih seperti tidak adanya AD/ART organisasi ACTA dan lain-lain.
Yang paling parah, Ombudsman mengolok-olok kami sebagai Pelapor dengan mengatakan ke media bahwa kami hanya curhat karena tidak menyebutkan identitas terlpor, padahal dalam UU Ombudsman tidak ada aturan harus mencantumkan Terlapor.
Tindakan Ombudsman ini adalah contoh yang sangat buruk bagi pelayanan publik dimana laporan nyaris ditolak dan pelapor diolok-olok.
Yang kedua, kasus dugaan mal administrasi penataan Tanah Abang. Tidak jelas siapa pelapor dalam kasus ini tapi Ombudsman bisa bergerak sangat cepat dan mengumumkan telah terjadi dugaan maladministrasi.
Kami tidak melihat bahwa kasus tanah abang merupakan domain Ombudsman karena tidak menyangkut pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik.
Selaian itu Pemerintah DKI Jakarta memiliki kewenangan untuk melakukan diskresi sebagaimana dijamin Pasal 6 ayat (2) huruf e UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Terlihat ada perbedaan dalam penanganan kedua kasus tersebut. Disatu sisi Ombudsman begitu lamban dan terkesan berusaha menolak laporan kami, disisi lain Ombudsman bisa begitu agresif mengusut kasus Tanah Abang meski termasuk diskresi yang legal.
Kami khawatir publik akan menilai Ombudsman hanya tajam terhadap pemerintah DKI Jakarta dan tumpul memeriksa laporan terkait Istana.
Ada tiga tuntutan dalam gugatan class action ini yaitu agar Ombudsman dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, agar ombudsman dihukum untuk melakukan evaluasi dan perbaikan penanganan seluruh laporan dan agar Ombudsman meminta maaf kepada rakyat Indoensia secara terbuka.
Jakarta 28 Maret 2018