"Londonistan", Fenomena Pesatnya Perkembangan Islam Di Inggris

Selasa, 13 Maret 2018

Ma syaa Allah
Islamisasi merayap di London hampir selesai, dengan ratusan pengadilan syariah resmi beroperasi di ibu kota Inggris ini, dan masjid-masjid dibuka di mana gereja-gereja Kristen yang terkenal telah berdiri selama ratusan tahun mengalami kemunduruan.

"London lebih Islami daripada banyak negara Muslim yang disatukan," menurut Maulana Syed Raza Rizvi, salah satu pengkhotbah Islam yang sekarang memimpin "Londonistan", sebagaimana dilaporkan wartawan Melanie Phillip.

Peraih Nobel untuk Sastra, Wole Soyinka, kurang bermurah hati. Dia menyebut Inggris sebagai "cesspit for Islamists".

Sejak tahun 2001, 500 gereja London dari semua denominasi telah diubah menjadi rumah pribadi. Sementara 423 masjid barunya, dibangun di atas reruntuhan Kristen Inggris yang menyedihkan. Banyak gereja Kristen ikonik di London telah diubah menjadi masjid.

Laporan Gatestone Institute: Gereja Hyatt United dibeli oleh masyarakat Mesir untuk dikonversi ke sebuah masjid. Gereja Santo Petrus telah diubah menjadi Masjid Madina.

Masjid Brick Lane dibangun di bekas gereja Methodis. Tidak hanya bangunan yang dikonversi, tapi juga orang. Jumlah orang yang masuk Islam telah berlipat ganda.

Daily Mail menerbitkan foto-foto gereja dan sebuah masjid beberapa meter dari satu sama lain di jantung kota London. Di Gereja San Giorgio, yang dirancang untuk menampung 1.230 jemaat, hanya 12 orang berkumpul untuk merayakan Misa. Di Gereja Santa Maria, hanya ada 20 orang.

Sementara didekatnya ada Masjid Brune Street Estate problem sebaliknya. Daya tampung kecil tapi jama'ah membludak. Pada hari Jumat, umat Islam sampai meluber ke jalan-jalan untuk sholat.

Pada tahun 2020, perkiraan adalah bahwa jumlah umat Islam yang menghadiri shalat akan mencapai setidaknya 683.000, sementara jumlah orang Kristen yang menghadiri misa mingguan akan turun menjadi 679.000 orang.

"Pemandangan budaya baru kota-kota Inggris telah tiba; homogenisasi, lanskap agama Kristen negara mundur," kata Ceri Peachof Oxford University.