Didirikan Atas Restu Habaib, Sampai Kapanpun NU Tak Bisa Lepas Dari Habaib
Senin, 14 Mei 2018
Faktakini.com, Jakarta - Peran para Habaib sangat besar dalam sejarah berdirinya NU. Karena itu NU dan Habaib sampai kapanpun tidak akan bisa dipisahkan.
Hadrotus Syekh KH Hasyim Asyari sangat memuliakan dan mengutamakan peran Dzuriyyah Rasulullah atau Habaib dalam hal pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama, sehingga sampai kapanpun NU tak bisa dilepaskan dari para Habaib.
Berdirinya NU atas Restu para Habaib.
Diantaranya:
1. Habib Abdullah bin Ali bin Hasan al Haddad (sangeng Bangil)
2. Habib Abu bakar bin Husain Assegaf (Bangil)
3. Habib Husain al Haddad (Jombang)
4. Habib Abu bakar bin Muhammad Seggaf-Quthub (Gresik)
5. Habib Ahmad bin Abdullah Asseggaf.
Bermula dari cerita Kyai Ahmad Khulaimi Ahyat mengatakan bahwa KH. Hasyim Asy'ari mempunyai kedekatan sesama Ulama' Habaib seperti dengan Habib Husain al Haddad (Jombang).
Mereka berdua selalu musyawarah dalam menghadapi persoalan Agama dan Bangsa, kemudian pada tahun 1920 Habib Husain Jombang mengajak KH hasyim Asy'ari ke rumah Habib Abdullah bin Ali al Haddad sangeng Bangil.
Selain silaturrahmi juga tabarukan belajar agama kepada Habib Abdullah bin Ali al Hadad Sangeng sebagaimana mbah Kyai Kholil bangkalan Madura guru KH. Hasyim Asy'ari juga belajar kepada Habib Abdullah bin Ali al Hadad Sangeng, kemudian Kyai Hasyim Asy'ari minta restu kepada beliau untuk mendirikan jam'iyah NU.
Demikian pula kyai Wahab Hasbullah Jombang yang beristrikan orang Bangil juga minta restu mendirikan jam'iyah NU kepada Habib Abu Bakar bin Husain Seggaf Bangil, kemudian pada tanggal 31 Januari 1926 berdirilah jam'iyah NU di surabaya atas restu para habaib, diantaranya: Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik.
Beliau memerintahkan salah satu muridnya yang bernama Habib Ahmad bin Abdullah Segaf atas wakil ulama' sadah alawiyin untuk hadir dalam deklarasi berdirinya jam'iyah NU di Surabaya, dua tahun kemudian Pada tahun 1928 berdirilah NU cabang Bangil atas restu Habib Abu Bakar bin Husein Assegaf kepada kyai Hasan Muhdhor selaku rois suriyah NU cabang bangil.
Oleh sebab itu Habib Salim bin Abdullah Maulakhela juga menjadi rois suriyah NU pandaan dan para habaib lainnya seperti Habib Ja'far bin Jadid Alhabsyi Bangil sebagai wakil ketua Anshor cabang Bangil.
Demikian hakekat kedekatan ulama' NU dengan ulama' Habaib yg memiliki kesamaan guru agama dan kultur sehingga NU menjadi besar, sebagaimana kedekatan KH Hamid Pasuruan dengan Habaib yang menjadikan mashur.
Akan tetapi bila Ulama' NU masa kini meninggalkan atau berselisihan dengan ulama' Habaib niscaya kaum Nahdliyin akan lebih mengikuti ulama' Habaib Ahlu Sunnah wal Jamaah, karena Habaib merupakan guru para kyai, sebagaimana KH Hasyim dengan Habib Abdullah bin Ali Al Hadad sangeng Bangil, hal itu sesuai dengan hadist Nabi yang artinya: aku tinggalkan dua perkara yang penting apabila kalian berpegang keduanya niscaya tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Itroti Ahli Baity, di hadist yang lain al Qur'an dan Sunnat.
Kisah pun terulang, yaitu pada masa Gusdur memegang tampuk amanah sebagai ketua NU.
Kisah persahabatan antara Almarhum Gusdur dan Habib Abu Bakar bin Hasan Alatas Azzabidi, ada tebak-tebakan masyhur antara kedua tokoh ini, menurut Habib Abu Bakar Gusdur nanti jadi Presiden, dan menurut Almarhum Gudur, antum ya Habib Abu Bakar nanti akan tinggal di dekat saya dan jadi tetangga saya. Akhirnya hal itu benar-benar terjadi.
Juga persahabatan erat antara KH Hasyim Muzadi dengan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab. Bahkan saat Kyai Hasyim meninggal Habib Rizieq lah yang memimpin doa di pemakamannya.
Jadi para kyai terdahulu memberikan contoh mencintai dan menghormati kepada para santrinya dan kaum Muslimin masa kini dan yang akan datang.
Hormat kepada Habaib merupakan ajaran dalam tradisi NU. Sebagaimana termaktub dalam turats-turats banyak riwayat yang menganjurkan untuk memperhatikan kepada anak cucu Nabi Saw.
Karena itu dalam setiap ada majelis, para kiai enggan memimpin doa kalau ada ulama habaib di situ.
Tradisi NU sejak awal berdiri dan berbasis di pesantren itu memang dikenal kental dengan ajaran adabnya.
Para santri pun hormat pada anak kiai. Apalagi terhadap anak cucu Nabi Muhammad SAW.
Jika tidak hormat Ulama Habaib, maka itu bukan ciri NU. Dipastikan orang yang membenci Habaib dan Arab walaupun ia mengaku NU, sejatinya ia bukan NU sejati.
Karena itu, banyak putra-putra Kiai NU yang belajar ke Yaman, Mesir, Maroko, Makkah dan Madinah.
Pendiri NU juga alumni Makkah. Hadratus Syaikh meninggalkan Indonesia bertahun-tahun untuk belajar di Masyayikh dan Habaib di Makkah.
Mencintai habaib dalam tradisi NU juga berdasarkan tuntunan syara'. Tidak atas dasar fanatik. Habaib di NU bagaikan benteng NU dalam menjaga akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.
Namun sejak PBNU mulai memviralkan konsep "Nusantara", mulai ditemukan sebagian anak-anak muda NU yang kurang suka hal-hal yang berbau Arab. Entah apa yang didoktrinkan, tetapi yang jelas mereka jadi sombong dan merendahkan negara-negara Arab hanya karena sedang dilanda perang.
Seakan Indonesia hebat, aman sentosa, bahagia, dan lain-lain sementara Arab porak poranda, hancur karena perang.
Padahal, yang perang di Arab itu 4 negara dari 20-an negara. Dari empat itu yang cukup serius hanya dua negara. Itu pun setelah ada campur tangan negara-negara Barat. Sementara, negara Arab lain aman sentosa
Persoalannya adalah, seperti ada gerakan massal mencurigai dan tidak menyukai Arab dan dicurigai ada peran aktivis JIL yang sudah berhasil menyusup disitu.
Oknum-oknum liberal kemungkinan memiliki peran di sini. Dulu, orientalis dan kolonialis juga berusaha memisahkan pribumi dengan Arab, baik dari sisi ideologis, historis dan budaya. Apakah sekarang berlaku lagi gerakan pemisahan itu?
Foto: Keakraban Habib Rizieq dengan KH Hasyim Muzadi, sampai kapanpun NU tak bisa dilepaskan dari Habaib.