Wahabi Nusantara
Jum'at, 25 Mei 2018
Faktakini.com
M Nawawi As Sholchah
Si doi WAHABI NUSANTARA
__________
Banyak orang yang salah paham dengan istilah "Wahabi." Seolah istilah itu adalah ditujukan kepada orang-orang yang tidak baca qunut ketika sholat shubuh, celananya cingkrang, wanitanya bercadar dsb. Padahal bukan itu yang dimaksud dengan Wahabi.
Apabila yang dimaksud Wahabi adalah semacam itu, maka konsekuensinya adalah Imam Hanafi dan Imam Hanbali harus disebut Wahabi. Padahal mereka aswaja tulen.
Begitu pula dengan cadar, ada beberapa pesantren NU yang santri perempuannya dianjurkan bercadar, seperti di pesantrennya Buya Yahya dan Habib Miqdad (Cirebon). Ada juga beberapa ulama dari Muhammadiyyah, Persis dan NU yang selalu cingkrang sarung dan celananya. Wahabi kah mereka ?
Jelas bukan!
Wahabi tidak bisa teridentifikasi dengan cara berpakaian maupun madzhab fiqih yang dirujuknya. Wahabi adalah sebuah sikap keras kepala dan arogan, tidak mau melihat kebenaran dari kelompok lain. Orang-orang yang seperti ini bisa jadi ada di tiap-tiap golongan.
Di NU, Muhammadiyyah, HTI, Persis maupun yang lainnya, jika ada yang mempunyai sikap semacam itu maka dia adalah Wahabi.
Juga sebaliknya, meskipun seseorang jenggotnya panjang dan celananya cingkrang, tetapi jika ia santun dan menghargai perbedaan khilafiyyah yang ada, maka dia adalah aswaja, bukan Wahabi. Ingat! Wahabi adalah sikap, bukan penampilan.
Abdul Wahab bin Abdul Rahman bin Rustum (wafat 211 H.) adalah pelopor utama dari orang-orang yang bermental Wahabi, bukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Beliau adalah tokoh ulama yang keras dan tidak mau menerima perbedaan pendapat yang ada di tengah-tengah umat Islam. Siapapun yang berbeda dengan pendapatnya maka dia halal untuk dibunuh.
Dan ternyata, pada abad ke 12 H. di Saudi ada seorang ulama bernama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H.) yang mempunyai karakter yang sama dengan Abdul Wahab bin Rustum, keras dan tidak mau menerima perbedaan pendapat dengan sesama umat Islam.
Baginya siapapun yang mau tinggal di Saudi Arabia, maka wajib "bermadzhab" Wahabi ("Hanbali"). Otomatis sebutan Wahabi pun melekat padanya, sebagaimana Ibnu Rustum.
Di Indonesia kini mulai muncul gerakan-gerakan Wahabi. Merasa paling benar sendiri dan tidak mau menerima perbedaan dengan sesama umat Islam.
Hanya saja jika di Saudi akar perkaranya adalah masalah madzhab, sementara di Indonesia adalah masalah politik.
Walaupun seorang ulama sama madzhabnya, tetapi ketika pandangan politiknya berbeda, maka dia adalah musuhnya. Tidak boleh dikasih tempat untuk ceramah dan menyampaikan ajaran-ajarannya. Pengajian-pengajiannya harus diboikot, jangan diberi ruang dan tempat.
Kelompok yang keras seperti ini adalah Wahabi Nusantara. Mereka tidak cocok disebut sebagai Islam Nusantara, yang pas adalah Wahabi Nusantara. Karakter orang Islam di nusantara dari dulu itu santun dan ramah, tidak seperti mereka.
Sebagaimana Mbah Hasyim Asy'ari yang tidak pernah mencela M. Natsir dan Buya Hamka. Tidak pernah pula Mbah Hasyim menginstruksikan Bansernya untuk menjegal dakwah M. Natsir maupun Buya Hamka, walaupun sudah jelas beliau-beliau adalah gembongnya pejuang penegakan negara Islam di Indonesia.
Itulah hakikat Islam Nusantara, bukan seperti Wahabi Nusantara yang maen usir dan maen bubarin pengajian saja.
Jika Wahabi di Arab sana mengancam akan mengusir siapa saja yang berbeda dengannya dari Saudi Arabia, Wahabi di nusantara akan mengusir siapa saja yang berbeda dengannya dari bumi Indonesia.
Sungguh Wahabi di Saudi Arabia begitu mesra dan dekat dengan penguasanya di sana, sementara saya tidak tau dengan Wahabi Nusantara, bagaimana hubungan mereka dengan penguasanya.
Ada yang tau ?