Wakil Ketua DPR: Lembaga Survei Jangan Jadi Tim Kampanye Terselubung!

Sabtu, 30 Juni 2018

Faktakini.com

LEMBAGA SURVEI JANGAN JADI TIM KAMPANYE TERSELUBUNG, MEREKA HARUS TRANSPARAN BEKERJA UNTUK SIAPA

Oleh: Fadli Zon

Kredibilitas lembaga survei kembali dipertanyakan. Dalam Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah, terdapat selisih jauh antara angka hasil survei yang dirilis sebelum Pilkada dengan hasil hitung cepat (quick count) dan real count pada hari pelaksanaan.  Untuk melindungi kepentingan publik, keterlibatan lembaga survei dalam Pilkada dan Pemilu perlu diatur kembali. Lembaga survei tak boleh mendapatkan keuntungan finansial dari partai politik atau kandidat tertentu tanpa mendeklarasikan siapa pihak atau kandidat yang membiayai mereka.

Sudah menjadi rahasia umum lembaga survei  sering merangkap menjadi konsultan politik dari kandidat yang berlaga, baik dalam Pilkada, Pemilu, maupun Pilpres. Bisa terjadi konflik kepentingan (conflict of interest) antara survei yang terkesan independen dengan konsultan berbayar. Padahal, publikasi lembaga survei bisa mempengaruhi preferensi masyarakat. Menurut saya soal-soal semacam ini tak bisa diserahkan pada kode etik semata. Di sisi lain, jika kita pelajari, aturan yang ada saat ini masih belum memadai dalam melindungi kepentingan publik dari kemungkinan terjadinya manipulasi terselubung oleh lembaga-lembaga tersebut.

Coba lihat kasus Pilkada Jawa Barat, misalnya. Sebelum Pilkada, hampir semua lembaga survei selalu menempatkan elektabilitas pasangan Sudrajat-Syaikhu yang diusung Partai Gerindra di urutan ketiga, dengan angka hampir seragam di bawah 10 persen. Tapi, seperti bisa sama-sama kita lihat dari hasil hitung cepat dan perhitungan sementara KPU, pasangan Sudrajat-Syaikhu terbukti bisa meraih suara di atas 28 persen. Meleset ratusan persen.

Begitu juga Pilkada Jawa Tengah. Pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah selalu diberi angka di bawah 20 persen bahkan di bawah 15 persen. Padahal, hasil hitung suara riil sementara ini, pasangan ini melampaui angka 40 persen. Jurang akurasinya jauh sekali.

Selisih yang besar antara angka hasil survei dengan angka riil hari pemilihan itu menurut saya bukan hanya dipengaruhi persoalan metodologi, tapi juga menyembunyikan bias imagologi. Survei-survei itu seolah hendak mengkampanyekan citra bahwa pasangan Sudrajat-Syaikhu dan Sudirman-Ida adalah ‘underdog’ yang tak menjanjikan, sehingga tak layak dipilih.

Memang, dugaan bisa benar, bisa salah. Namun yang jelas, selain merugikan kandidat tertentu, publikasi yang akurasinya melenceng jauh semacam itu juga merugikan kepentingan publik. Publik bisa tertipu, mendapatkan informasi salah, tak akurat, bahkan disinformatif. Inilah menurut saya belum dilindungi regulasi yang ada. Lembaga survei bisa menjadikan hasil survei sebagai alat kampanye atau alat politik terselubung. Mereka tak lagi independen. Bahkan bagi kandidat yang 'dikecilkan' hasil survei, seperti pernah diakui Sudirman Said, itu merupakan sejenis 'teror'.

Untuk menambah contoh kasus kegagalan lembaga survei adalah pilkada Jakarta. Banyak lembaga selalu memenangkan Ahok-Djarot, tapi nyatanya yang menang Anies-Sandi dengan selisih signifikan. Ini yang saya sindir, jangan-jangan ramalan dukun bisa lebih tepat dibanding lembaga survei, saking jauh melencengnya prediksi survei. Mereka mengaku ilmiah, tapi hasilnya seperti main-main.

Sejauh ini keberadaan lembaga-lembaga survei politik hanya diatur UU No. 1/2015 tentang Perppu Pilkada, UU No. 7/2017 tentang Pemilu, serta Peraturan KPU No. 10/2018. Isinya sangat normatif. Lembaga survei yang ingin mempublikasikan survei Pilkada harus mendaftar ke KPU, wajib punya badan hukum, menyerahkan surat pernyataan tak berpihak, dan ketentuan administratif sejenisnya. Aturan tadi juga hanya terbatas membuat rambu soal kapan hasil hitung cepat boleh dipublikasikan.

Memang, dalam Pasal 131 ayat (3) UU No. 1/2015 ditegaskan bahwa publikasi lembaga survei tak diperbolehkan melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon. Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 28 ayat (3) PKPU No. 10/2018. Masalahnya, bagaimana mungkin lembaga survei tak berpihak, jika mereka juga merangkap jadi konsultan politik yang bekerja untuk menyukseskan kepentingan partai atau kandidat tertentu? Itu kan aneh dan kontradiktif. Ini seperti pengacara yang membela klien.

Belajar dari pengalaman Pilkada 2018 kali ini, saya kira keterlibatan lembaga survei dalam Pemilu dan Pilpres perlu diatur kembali, minimal oleh PKPU. Tak boleh lagi soal-soal menyangkut kepentingan publik hanya masuk ranah imbauan. Kita ingin melembagakan praktik demokrasi yang sehat dan akuntabel.

Untuk kepentingan regulasi Pemilu dan Pilpres 2019, kita perlu menegaskan norma bahwa ketika lembaga survei direkrut menjadi konsultan oleh partai politik atau kandidat tertentu, maka harus diposisikan sama seperti halnya tim kampanye. Konsekuensinya, posisi mereka sebagai konsultan harus dipublikasikan secara terbuka oleh partai politik atau pasangan calon yang merekrutnya.

Agar publik menjadi tahu lembaga survei A, misalnya, merupakan konsultannya partai X atau calon Y. Sehingga, setiap hasil survei mereka bisa dicerna secara kritis oleh publik pemilih. Dengan begitu, risiko terjadinya manipulasi hasil surveipun bisa terminimalisir.

Selama ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) hanya bisa meminta lembaga survei transparan dalam pendanaan survei yang mereka lakukan. Imbauan itu kini menurut saya tak lagi cukup, karena bisa saja dimanipulasi. Namun, jika kita bisa menyusun norma bahwa konsultan politik itu tak berbeda posisinya dengan tim kampanye, karena pada dasarnya mereka direkrut untuk memenangkan partai atau kandidat tertentu, maka setiap partai politik atau pasangan calon presiden wajib membuka siapa konsultan politik yang mereka pekerjakan.

Ini menurut saya cara yang fair untuk mengawasi lembaga-lembaga survei, sekaligus melindungi kepentingan publik dari manipulasi informasi dan kemungkinan terjadinya disinformasi. Hal ini juga baik bagi demokrasi yang transparan agar lembaga survei tak jadi tim kampanye terselubung.

*Dr. Fadli Zon, M.Sc.*
_Wakil Ketua DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra_