Habib Taufiq Bin Abdul Qodir Assegaf, Benteng Penjaga Aswaja Di NU

Ahad, 22 Juli 2018

Faktakini.com, Jakarta -  Sejak lama Pasuruan dikenal banyak orang sebagai kota gudangnya ulama dan habaib. Dan alah satu tokoh dakwah kota ini adalah Habib Taufiq bin Abdul Qadir bin Husein Assegaf. Tak ada yang meragukan ketokohan beliau yang juga merupakan Mustasyar Nahdlatul Ulama (NU) ini.

Habib Taufiq yang bersahabat erat dengan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab ini dikenal istiqomah dalam membela kemurnian aqidah Islam dan khususnya Ahlussunah wal Jama'ah di NU dan beliau tak segan mengkritik para Liberalis yang menyusup ke tubuh NU.

Bahkan dalam salah satu ceramahnya, Habib Taufiq Assegaf memberikan tamparan keras untuk oknum petinggi NU.

Habib Taufiq menyatakan bahwa NU itu organisasi yang didirikan oleh para Ulama yang sholihin, orang-orang yang dekat kepada Allah SWT, namun saat ini disusupi oleh orang-orang yang punya kepentingan.

"Tidak boleh kita mendiamkan hal itu, wajib kita bersuara! Harus kita bersuara!", demikian tegas Habib Taufiq agar kita jangan mendiamkan kerusakan yang ditimbulkan orang-orang yang memiliki kepentingan di NU.

Beliau meminta umat Islam tetap mengikuti NU, tetap mengikuti jalurnya NU tetapi mengikuti orang-orang atau Ulama NU yang benar saja, alias yang Istiqomah (Garis Lurus).

Habib Taufiq berkata, "Saya mustasyar NU tapi kalau yang nyetir NU orang mabuk, saya minta maaf dan mau turun dulu nanti kalau ganti supir baru saya naik lagi", demikian tamparan keras beliau.

Karena itu wajar apabila beliau sangat dikagumi oleh umat Islam, baik warga Nahdliyyin maupun bukan karena beliau dinilai sebagai salah satu rujukan utama NU dan menjadi bentengnya Aswaja di NU.

Bukan hanya di kota Pasuruan, pengaruh dakwahnya juga mencakup kota-kota lain di Jawa Timur. Namanya juga amat familiar bahkan hingga ke berbagai pelosok negeri ini.

Pria kharismatis kelahiran Pasuruan, 1969, ini tak pernah menempuh pendidikan formal, namun dari pendidikan ta’lim ke ta’lim. Sekalipun demikian, ia sosok dai yang kreatif dalam berdakwah dan dikenal berwawasan luas.

Di bulan Ramadhan, malam-malam kota Pasuruan tampak semarak dengan nuansa dakwah lewat acara Khatmul Qur’an yang dipandu oleh sang habib. Acara Khatmul Qur’an adalah tradisi warga Pasuruan yang sudah berjalan bertahun-tahun. Acara ini digelar setiap malam di bulan Ramadan, yaitu mulai malam ke-9 Ramadan sampai malam ke-29 Ramadhan.

Dulunya, acara Khatmul Qur’an ini digagas oleh ulama kota Pasuruan, Habib Abdul Qadir Assegaf, yang tak lain ayahanda Habib Taufiq, menantu Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, ulama besar Pasuruan yang juga dikenal sebagai salah satu guru Kiai Hamid Pasuruan.

Habib Taufiq terus menghidupkan tradisi salafush shalih ini, yaitu ihya’ al-layali Ramadhan, menghidupan malam-malam bulan Ramadan, yang tentunya dengan amalan-amalan baik.

Alhamdulillah, kota Pasuruan pada setiap malam Ramadhan pun tampak begitu hidup dan semarak dengan acara-acara keagamaan, dan ribuan orang berbondong-bondong menghadiri acara tersebut.

Bermentalkan semangat baja ia memberanikan diri menerbitkan Majalah Cahaya Nabawiy. Sebuah terobosan dalam berdakwah yang kretaif dan efektif pada umat di berbagai penjuru wilayah tanah air. Majalah ini bentuknya mungil sebagaimana majalah Islam yang ada di tanah air.

Namun di balik kemungilan majalah ini, terkandung isi yang menarik dan sarat dengan ajaran agama. Sehingga amat wajar bila majalah ini mempunyai pangsa pasar yang tersebar di tanah air.

Di balik kebesaran nama majalah Cahaya Nabawiy, sosok pengelola majalah ini yang tak bisa dilepaskan dari sentuhan tangan dinginnya. Ia adalah seorang dai yang sangat disegani di Pasuruan dan sekitarnya.

Sosok habib ini berwajah tampan dan kalau berceramah ia penuh semangat dan berapi-api. Dialah Habib Taufiq bin Abdul Kadir Assegaf, pria kelahiran Pasuruan 1969.

Ia tidak pernah menempuh pendidikan formal, namun dari pendidikan taklim ke taklim. Sekali pun demikian, ia adalah sosok seorang dai yang kreatif dalam berdakwah dan dikenal berwawasan luas.

Semasa kecil, Habib Taufiq diasuh oleh sang ayahandanya yakni Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf. Dirasa cukup dengan bimbingan sang orang tua, ia kemudian melanjutkan taklim pada ulama dan para habaib yang ada di Pasuruan, salah satunya Habib Ahmad bin Hadi Al-Hamid.

Selain itu ia juga belajar pada banyak habaib dan ulama yang ada di kota Pasuruan. Satu per satu rumah para habaib dan ulama yang ternama ia datangi, untuk mengajarkan ilmu kepadanya. “Karena itu minimlah ilmu kita. Karena saya tidak belajar taklim, belajar seadanya, tidak seperti lulusan pesantren luar negeri,” kata Habib Taufiq dengan rendah hati.

Menurutnya semua guru yang pernah mengajar taklim kepadanya sangat berkesan. “Semua guru-guru saya adalah orang-orang yang baik dan memberikan contoh dan semangat untuk berkiprah pada masyarakat, berkhidmat pada agama dan Rasulullah SAW,” demikian pandangan Habib Taufiq terhadap guru-gurunya di Pasuruan.

Setelah banyak belajar dari ulama dan habaib yang ada di kota Pasuruan, ia kemudian melanjutkan belajar pada seorang Habib ternama kota Surabaya yakni Habib Umar bin Hasyim Ba’agil.

Selama menempuh taklim di Surabaya, selama seminggu di Surabaya dan seminggu kemudian ke Pasuruan. Aktivitas itu ia jalani sampai Habib Umar bin Hasyim Ba’agil wafat.

Menurutnya Habib Umar adalah seorang guru yang sangat mendalam ilmunya. Dalam sisi yang lain, lanjutnya, Habib Umar adalah seorang guru yang sangat bersemangat dalam mengajar ilmu.

“Sekalipun dalam keadaan sakit, Habib Umar masih menyempatkan untuk mengajar. Bahkan kalau pun dia tertidur saat mengajar, minta dibangunkan,” kata Habib Taufiq.

Setelah menggali ilmu ke berbagai tempat dan habaib serta ulama. Mulailah ia merintis berdakwah. Pada awalnya ia hanya membuka madrasah di Jl. KH Wahid Hasyim (barat Masjid kota) Pasuruan.

Ia kemudian melanjutkan pengelolaan madrasah yang pernah diasuh oleh Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf (kakeknya) dan Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf (ayahnya).

Cahaya Nabawiy

Aktivitasnya dalam berdakwah tidak hanya membuka taklim di rumahnya. Ia kemudian mulai merintis membuat majalah Islam yang bernama Cahaya Nabawiy bersama kawan-kawannya yang ada di kota Pasuruan.

Ternyata sambutan dari rekan-rekan yang di kota itu bersambut dengan baik. “Kita memulai sesuatu dengan serba keterbatasan. Modal kita hanya keberanian saja,” kata Habib Taufiq.

Awalnya mereka hanya menerbitkan sekitar 300 ekslempar, namun melihat perkembangan dan permintaan pembaca yang kian meningkat, lambat laun jumlah ekslempar terus ditingkatkan. Jumlah majalah Cahaya Nabawiy sekarang telah di cetak mencapai 7000 ekslemplar setiap bulan.

Walau hanya diterbitkan dari kota Pasuruan, majalah ini telah merambah ke berbagai wilayah tanah air. Bahkan pada perkembangan terakhir, pihaknya sampai kewalahan melayani permintaan dari luar Jawa.

“Alhamdulillah semua berjalan baik, walau tidak berjalan sekuat yang ada pada majalah Islam pada umumnya. Yang jelas tujuannya untuk dakwah untuk Ilallah,” jelas Habib Taufiq.

Selain membagi waktu untuk mengelola majalah, ia juga rajin memberikan taushiah. Di tengah kesibukannya mengelola taklim, majalah, radio dan berceramah di sekitar Pasuruan, ia juga berdakwah ke berbagai wilayah di perbagai penjuru tanah air. Bahkan jangkauan dakwah Habib Taufiq merambah pada wilayah-wilayah yang terpencil.

Sampai sekarang ia secara rutin membina umat di daerah-daerah yang minoritas muslim, seperti daerah Tengger, Sampit, Bali, dan lain lain. Habib Taufiq tak segan-segan mengirim santri-santrinya dan mendampingi masyarakat yang awam pengetahuan agama.

Untuk mematangkan konsep dan langkah berdakwah, sejak tahun 2003 yang lalu, ia mendirikan Pondok Pesantren di Jl Sidogiri, Pasuruan. Sistem pesantren ini menggunakan halaqah yang menggunakan kitab-kitab salaf.

“Sebenarnya saya membuat pesantren tidak direncanakan, karena saya hanya ingin membuat madrasah saja. Cuma takdirnya Allah, akhirnya menjadi pesantren,” kata Habib Taufiq menceritakan awal berdirinya pesantren yang ia pimpin sekarang.

Pesantrennya ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Walau baru berumur tiga tahun, sekarang sudah berdiri sekitar 30 cabang madrasah dan 13 pondok pesantren yang tersebar di Jawa, Bali, Kalimantan.

Memang letak pesantren yang berdiri di bawah naungan Pondok Pesantren As-Sunny As-Salafiyah tidak ada satu tempat, namun beberapa cabang. Sehingga setelah lulus dari cabang-cabang pendidikan yang ia kelola, baru masuk ke pesantren yang ada di Jl Sidogiri.

Setiap alumni pesantren As-Sunny As-Salafiyah, kemudian ia dorong untuk berdakwah. “Setiap alumni, kita tempatkan di daerah-daerah yang minoritas untuk berdakwah seperti di Tengger. Bahkan untuk daerah pegunungan Tengger, sekarang telah didirikan 14 Madrasah dan beberapa madrasah di daerah-daerah minoritas muslim”.

Pondok As-Sunny As-Salafiyah menggunakan sistem pendidikan pesantren model halaqah dengan menggunakan kitab-kitab salaf. “Insya Allah akan kita kembangkan dengan ilmu-ilmu yang banyak di butuhkan masyakarat seperti ilmu komputer dan bahasa inggris, sekarang masih dalam tahap perencanaan.”

Di Pondok ini ada tiga penjurusan yakni pertama, Tahasus Al- Qur’an, dengan program hafal qur’an dan tafsirnya. Kedua, Tahasus Syari’ah, dimana setiap santri ditekankan untuk menghadalkan Zubath.

Setiap santri wajib mempelajari kitab Minhaj, Ushul Fiqh, Qawaidh Fiqhiyah. Ketiga, Bismul Lughah, tentang masalah bahasa yakni penekanan pelajaran yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bahasa, seperti nahwu, sharaf, balaghah.

Jumlah santri yang ia kelola di Jl Sidogiri saat ini ada sekitar 300-350 santri. Sedangkan jumlah total dari seluruh santri ada sekitar lebih dari 2000 santri.

Mengenai kriteria alumni pesantren yang dia pimpin, ia mengharapkan setiap ilmu selain berhasil juga menghasilkan. ”Bukan berarti murid selama di pesantren saja berhasil menunut ilmu. Namun sampai pulang ke rumah pun, ia berhasil memanfaatkan ilmunya dengan berdakwah ke masyarakat,” jelas Habib Taufiq.

Di tengah kesibukan nya berdakwah langsung ke masyarakat, ia juga juga mempunyai jadwal tetap yakni mengajar taklim di rumahnya di Jl KH Wahid Hasyim atau tepatnya di barat Masjid Kota Pasuruan tiap hari jam enam pagi dan teruskan dengan pembacaan kalam salaf.

Majelis Taklim yang sudah berlangsung turun-temurun dari sang kakek, Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf dan sang ayahanda, Habib Abdul Kadir bin Husein Assegaf yakni membacakan Kitab Ihya Ulumiddin karya Hujjatul Islam, Imam Ghazali yang diikuti oleh masyarakat Pasuruan dan sekitarnya.

Uniknya dari setiap acara pengajian baik di rumahnya maupun di pesantren Sunny As Salafiyah dipancarkan langsung melalui Radio Suara Nabawiy baik melalui frekuensi 107 FM dan 747 AM.

Dakwah melalui stasiun radio Suara Nabawiy ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan dakwah. Sebab pancaran radio ini ternyata juga sampai ke seluruh pelosok sekitar Pasuruan bahkan sampai ke wilayah Jawa Tengah bagian timur.

Dengan berbagai ragam aktivitas dakwah yang ia emban, Habib Taufiq mengaku bukannya tidak ada hambatan namun penuh tantangan.

”Tantangannya, memang adalah modal kita yang terbatas tidak hanya sumber daya manusia (SDM) dan modal (finansial). Dan Kita harus bagi dengan dakwah yang lainnya seperti untuk madrasah, anak yatim. Saya bukan orang yang banyak uang. Alhamdulillah, kita sudah buktikan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan seluruh potensi dakwah,” katanya.

Sumber: jadwalmajelis dll