Inilah Profil Hajjah Ratna Sarumpaet, Wanita Besi Indonesia
Selasa, 3 Juli 2018
Faktakini.com
Ratna Sarumpaet (lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, 16 Juli 1948; umur 69 tahun) adalah seniman berkebangsaan Indonesia yang banyak mengeluti dunia panggung teater, selain sebagai aktivis organisasi sosial dengan mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Centre. Ratna terkenal dengan pementasan monolog Marsinah Menggugat, yang banyak dicekal di sejumlah daerah pada era administrasi Orde baru.[1]
Ratna Sarumpaet
Kebangsaan
Indonesia
Alma mater
Universitas Kristen Indonesia
Pekerjaan
Penulis naskah Sutradara Aktivis HAM Seniman
Suami/istri
Ahmad Fahmy Alhady (m. 1972; c. 1985)
Anak
Mohamad Iqbal
Fathom Saulina
Ibrahim
Atiqah Hasiholan
Orang tua
Saladin Sarumpaet
Julia Hutabarat
Situs web
ratnasarumpaet.com
Ini adalah nama Batak Toba, marganya adalah Sarumpaet
Latar belakang
Ratna Sarumpaet dibesarkan di keluarga Batak Kristen yang aktif dalam politik. Ratna merupakan anak ke lima dari sembilan bersaudara. Ia menjadi seorang mualaf setelah menikah dengan seorang pengusaha berdarah Arab-Indonesia, Ahmad Fahmy Alhady. Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai empat orang anak yaitu, Mohamad Iqbal (1972), Fathom Saulina (1973), Ibrahim (1979), dan Atiqah Hasiholan (1982).[2]
Penulis dan Sutradara Teater Sunting
Sempat menempuh kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas Hukum UKI, Ratna memilih kesenian sebagai alat perjuangannya.
Keberpihakannya pada orang-orang kecil dan marginal menjadi tema setiap karya yang dilahirkannya yang mengupas secara terbuka masalah-masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan serta mempertanyakannya secara frontal ke hadapan pemerintah.
Dalam lima belas tahun terakhir, di tengah kesibukannya sebagai aktivis HAM dan kemanusiaan, Ratna telah menghasilkan sembilan naskah drama, yang membuatnya dikenal dalam bidangnya. Seluruh naskah itu ditulis untuk memprotes adanya tindak ketidakadilan dalam pemerintahan yang cenderung menindas kaum kecil dan kelompok minoritas. Semua naskah diatas disutradarainya sendiri dan diproduksi / dipentaskan kelompok drama Satu Merah Panggung, yang didirikannya 1974.[3]
Di era 90-an, Ratna dikenal karena terlibat sebagai aktivis dalam kasus Marsinah dan membela penderitaan rakyat Aceh yang terjebak dalam perang antara TNI dan GAM. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah antara dia dengan administrasi Orde Baru kala itu.
Pada kampanye Pemilu 1997, menjelang jatuhnya administrasi Orde Baru, ia bersama kelompok teaternya bergabung dengan kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia sempat dikurung ketat oleh kepolisian di sepanjang jalan Warung Buncit, di mana Ratna dan kawan-kawan mengusung sebuah keranda bertuliskan “DEMOKRASI”. Karena hal ini Ratna dan kawan-kawannya sempat ditangkap dan diinterogasi selama 24 jam.[4]
Pada September 1997, Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan alasan bahwa DNA Marsinah dalam penyelidikan telah terkontaminasi. Setelah penutupan kasus ini, Ratna menulis monolog "Marsinah Menggugat" dan mengusungnya dalam sebuah tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera.
Monolog ini dianggap sebagai karya provokatif, di setiap kota yang mereka datangi, Ratna dan timnya terus mendapat tekanan ketat dari pihak aparat pemerintahan kala itu. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh pasukan anti huru-hara.
Dengan tingginya kontroversi Marsinah Menggugat, Ratna berhasil membuat kasus pembunuhan Marsinah mencuat. Sebaliknya, sejak itu rumah Ratna di Kampung Melayu Kecil sekaligus menjadi sanggar Satu Merah Panggung terus diawasi intel.
Aktivisme
Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Lelah menjadi objek intimidasi aparat, pada akhir 1997 Ratna memutuskan melakukan perlawanan. Ia menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga. Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat.
Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar sebuah Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol.
Pertemuan ini kemudian dikepung oleh aparat dan Ratna, tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan banyak tuduhan, salah satunya makar. Sesaat setelah Ratna ditangkap, Edmund William, Atase Politik Amerika di Indonesia waktu itu mengatakan dihadapan para wartawan, "Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah". Hal yang sama di saat yang sama juga diucapkan Faisal Basri "Kita kehilangan seseorang yang mau memasang badannya untuk demokrasi".[5]
Bersama kawan-kawannya Ratna kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Sepuluh hari terakhir berada di LP Pondok Bambu, gerakan mahasiswa dan rakyat yang mendesak agar Suharto turun terus memuncak. LP Pondok Bambu dikawal ketat karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna. Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, Ratna Sarumpaet tidak langsung melenggang. Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia, forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan cetak biru Pengelolaan Negara RI.
Cetak biru itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu. Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerja sama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor.
Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor seJakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna. Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing, November 1998 Ratna akhirnya diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul "The Last Prisoner of Soeharto".
Pada peringatan 50 tahun Hari HAM sedunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana.
Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk. Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh.
Ia mendengar nama mantan presidennya dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai dalang berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Dalai Lama dan Jose Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengkritik keras negara-negara besar seperti AS, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima “The Female Special Award for Human Rights” dari The Asian Foundation of Human Rights. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama "Alia: Luka Serambi Mekah".
Ratna dikenal sangat tegas menolak terlibat dalam politik praktis, namun sejarah mencatat bagaimana sepak terjangnya baik sebagai aktivis maupun sebagai seniman/budayawan selalu dilandasi kesadaran sebagai warga negara yang baik dan sikap politik yang kuat.
Ia ikut menggagas dan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) hingga partai ini resmi dideklarasikan di Istora Senayan.
Pada masa Presiden Megawati, Ratna memilih lebih menahan diri dan memberi kesempatan. Saat konflik di wilayah Cot Trieng bergolak dan menjadi berita Ratna terbang ke Aceh, langsung ke Cot Trieng dan mengunjungi para pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah di Aceh.
Dia menembus penjagaan berlapis-lapis aparat menuju Bukit Tengkorak di mana ribuan tulang-belulang Rakyat Aceh terkubur dan menangis di sana.
Ketika gagasan menetapkan Aceh sebagai Darurat Militer mencuat dan menjadi pembahasan panas di DPR, Ratna menyurati Presiden saat itu. Ia memohon agar konflik di Aceh diselesaikan dengan pendekatan politik dan budaya. Ratna yakin sebagai perempuan sang Presiden akan menyelesaikan konflik di Aceh dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC). Setelah reformasi, melalui Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC), Ratna secara konsisten mengulurkan tangannya menolong mereka yang membutuhkan, apapun persoalannya. Mulai dari persoalan kelaparan, korupsi, KDRT dan lain-lain.
Banjir bandang yang melanda Jakarta 2001, mencatat RSCC sebagai posko terbesar dan terlama mengurusi korban, hingga ke wilayah Tangerang dan Bekasi. Ratna adalah aktivis lapangan yang konsistensi dan kepekaannya sulit disangkal. Dia turun langsung menyapa dan menyentuh tangan rakyat yang membutuhkannya.
Mendengar kerusakan lingkungan akibat racun yang dikeluarkan Indorayon, sebuah perusaan pulp, menyusahkan saudara-saudaranya di Porsea, ia terbang ke Porsea, Tapanuli Utara. Ia tinggal disana memberi mereka kekuatan. Ia membekali mereka dengan pemahaman tentang hukum dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kehadiran Ratna di Porsea membuat Kepolisian setempat gusar dan memintanya meninggalkan Porsea dengan alasan “Ratna bukan putera daerah”.
Ketika bencana tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir.
Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan “Tsunami Award”.
Sampai hari ini, dibantu oleh enam orang pengacara, RSCC masih terus membantu kaum perempuan korban kekerasan, tenaga Migran korban sistem dan rakyat miskin secara keseluruhan.
Perdagangan anak dan Pekerja seks
Tahun 2004, Ratna secara kebetulan mendengar kabar tentang buruknya perdagangan anak di Indonesia. Selama tahun 2005, dengan bantuan UNICEF Ratna melakukan penelitian tentang berita itu, mengunjungi enam provinsi di Indonesia untuk menguji dan mengetahui kebenaran berita itu dan mengetahui apa sebab di Indonesia perdagangan manusia sedemikian marak.
Dari hasil penelitian itu, 2006 Ratna menulis naskah Drama "Pelacur dan Sang Presiden" dan dipentaskan di lima kota besar di Indonesia. Perhatian publik pada pementasan ini memberi Ratna kesadaran, untuk melawan jenis perdagangan ini ia harus melancarkan kampanye besar dan pementasan drama tidak cukup memadai sebagai media kampanye.
Tahun 2007, Ratna menyadur Pelacur & Sang Presiden ke dalam sebuah skenario film. 2008 – 2009 dia memperjuangkan skenarionya itu bisa diwujudkan dalam film layar lebar dan berhasil. Dia menyutradarai sendiri film tersebut dan diberi judul “Jamila dan Sang Presiden”.
Jamila dan Sang Presiden berhasil mendapat perhatian dunia di berbagai Festival. Bangkok International Film Festival, Hongkong International Film Festival, Asia Pacific Film Festival. Di Vesoul Asian International Film Festival, Jamila dan Sang Presiden memperoleh dua penghargaan, Youth Prize dan Public Prize. Di Asiatica Film Mediale Festival, Roma, "Jamila dan Sang Presiden" berhasil memperoleh NETPAC Award, dan pada 2010, film ini diterima oleh panitia Academy Award sebagai film yang mewakili Indonesia, kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.
Pluralisme dan Toleransi
Setelah selama 2 tahun melakukan penelitian dan menulis, 10 Desember 2010 - di Tugu Perdamaian kota Ambon, bertepatan dengan hari HAM sedunia, Ratna meluncurkan Novel "Maluku Kobaran Cintaku" sebuah novel fiksi dengan latar belakang kerusuhan antar agama yang pernah melanda Maluku tahun 1999 – 2004. Novel itu hari-hari ini sedang disiapkan untuk dituangkan ke film layar lebar.
Profesi
Penghargaan
Female Human Rights special Award dari The Asian Foundation For Human Rights di Tokyo, Jepang (1998)
Tsunami Award - (Ratna Sarumpaet Crisis Center) 2005, Aceh
NETPAC Award - Asiatica Film Mediale, Roma, Film Jamila dan Sang Presiden, 2009
Youth Prize - Vesoul International Film Festival, Prancis, Film Jamila dan Sang Presiden, 2010.
Public Prize - Vesoul International Film Festival, Prancis, Film Jamila dan Sang Presiden, 2010.
Karya drama
Rubayat Umar Khayam (1974) (Naskah & Sutradara)
Dara Muning (1993) (Naskah & Sutradara)
Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1994) (Naskah & Sutradara)
Terpasung (1996) (Naskah & Sutradara)
Pesta Terakhir (1996) (Naskah & Sutradara)
Marsinah Menggugat (1997) (Naskah & Sutradara)
Alia: Luka Serambi Mekah (2000) (Naskah & Sutradara)
Anak-Anak Kegelapan (2003) (Naskah & Sutradara)
Pelacur dan Presiden (2006) (Naskah & Sutradara)
Karya film
Sebuah Percakapan - Film Pendek RCTI, 1985 (Skenario & Sutradara)
Lulu- Semi Dokumenter, 1989 (Skenario & Sutradara)
Balada Orang-Orang Tercinta - Film Televisi TVRI, 1990 (Skenario)
Rumah Untuk Mama - Film televisi TVRI, 1991 (Skenario & Sutradara)
Jamila dan Sang Presiden - Film Layar Lebar, 2009 (Skenario & Sutradara)
Sumber: Wikipedia
Faktakini.com
Ratna Sarumpaet (lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, 16 Juli 1948; umur 69 tahun) adalah seniman berkebangsaan Indonesia yang banyak mengeluti dunia panggung teater, selain sebagai aktivis organisasi sosial dengan mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Centre. Ratna terkenal dengan pementasan monolog Marsinah Menggugat, yang banyak dicekal di sejumlah daerah pada era administrasi Orde baru.[1]
Ratna Sarumpaet
Kebangsaan
Indonesia
Alma mater
Universitas Kristen Indonesia
Pekerjaan
Penulis naskah Sutradara Aktivis HAM Seniman
Suami/istri
Ahmad Fahmy Alhady (m. 1972; c. 1985)
Anak
Mohamad Iqbal
Fathom Saulina
Ibrahim
Atiqah Hasiholan
Orang tua
Saladin Sarumpaet
Julia Hutabarat
Situs web
ratnasarumpaet.com
Ini adalah nama Batak Toba, marganya adalah Sarumpaet
Latar belakang
Ratna Sarumpaet dibesarkan di keluarga Batak Kristen yang aktif dalam politik. Ratna merupakan anak ke lima dari sembilan bersaudara. Ia menjadi seorang mualaf setelah menikah dengan seorang pengusaha berdarah Arab-Indonesia, Ahmad Fahmy Alhady. Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai empat orang anak yaitu, Mohamad Iqbal (1972), Fathom Saulina (1973), Ibrahim (1979), dan Atiqah Hasiholan (1982).[2]
Penulis dan Sutradara Teater Sunting
Sempat menempuh kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas Hukum UKI, Ratna memilih kesenian sebagai alat perjuangannya.
Keberpihakannya pada orang-orang kecil dan marginal menjadi tema setiap karya yang dilahirkannya yang mengupas secara terbuka masalah-masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan serta mempertanyakannya secara frontal ke hadapan pemerintah.
Dalam lima belas tahun terakhir, di tengah kesibukannya sebagai aktivis HAM dan kemanusiaan, Ratna telah menghasilkan sembilan naskah drama, yang membuatnya dikenal dalam bidangnya. Seluruh naskah itu ditulis untuk memprotes adanya tindak ketidakadilan dalam pemerintahan yang cenderung menindas kaum kecil dan kelompok minoritas. Semua naskah diatas disutradarainya sendiri dan diproduksi / dipentaskan kelompok drama Satu Merah Panggung, yang didirikannya 1974.[3]
Di era 90-an, Ratna dikenal karena terlibat sebagai aktivis dalam kasus Marsinah dan membela penderitaan rakyat Aceh yang terjebak dalam perang antara TNI dan GAM. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah antara dia dengan administrasi Orde Baru kala itu.
Pada kampanye Pemilu 1997, menjelang jatuhnya administrasi Orde Baru, ia bersama kelompok teaternya bergabung dengan kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia sempat dikurung ketat oleh kepolisian di sepanjang jalan Warung Buncit, di mana Ratna dan kawan-kawan mengusung sebuah keranda bertuliskan “DEMOKRASI”. Karena hal ini Ratna dan kawan-kawannya sempat ditangkap dan diinterogasi selama 24 jam.[4]
Pada September 1997, Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan alasan bahwa DNA Marsinah dalam penyelidikan telah terkontaminasi. Setelah penutupan kasus ini, Ratna menulis monolog "Marsinah Menggugat" dan mengusungnya dalam sebuah tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera.
Monolog ini dianggap sebagai karya provokatif, di setiap kota yang mereka datangi, Ratna dan timnya terus mendapat tekanan ketat dari pihak aparat pemerintahan kala itu. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh pasukan anti huru-hara.
Dengan tingginya kontroversi Marsinah Menggugat, Ratna berhasil membuat kasus pembunuhan Marsinah mencuat. Sebaliknya, sejak itu rumah Ratna di Kampung Melayu Kecil sekaligus menjadi sanggar Satu Merah Panggung terus diawasi intel.
Aktivisme
Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Lelah menjadi objek intimidasi aparat, pada akhir 1997 Ratna memutuskan melakukan perlawanan. Ia menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga. Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat.
Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar sebuah Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol.
Pertemuan ini kemudian dikepung oleh aparat dan Ratna, tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan banyak tuduhan, salah satunya makar. Sesaat setelah Ratna ditangkap, Edmund William, Atase Politik Amerika di Indonesia waktu itu mengatakan dihadapan para wartawan, "Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah". Hal yang sama di saat yang sama juga diucapkan Faisal Basri "Kita kehilangan seseorang yang mau memasang badannya untuk demokrasi".[5]
Bersama kawan-kawannya Ratna kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Sepuluh hari terakhir berada di LP Pondok Bambu, gerakan mahasiswa dan rakyat yang mendesak agar Suharto turun terus memuncak. LP Pondok Bambu dikawal ketat karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna. Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, Ratna Sarumpaet tidak langsung melenggang. Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia, forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan cetak biru Pengelolaan Negara RI.
Cetak biru itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu. Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerja sama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor.
Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor seJakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna. Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing, November 1998 Ratna akhirnya diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul "The Last Prisoner of Soeharto".
Pada peringatan 50 tahun Hari HAM sedunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana.
Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk. Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh.
Ia mendengar nama mantan presidennya dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai dalang berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Dalai Lama dan Jose Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengkritik keras negara-negara besar seperti AS, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima “The Female Special Award for Human Rights” dari The Asian Foundation of Human Rights. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama "Alia: Luka Serambi Mekah".
Ratna dikenal sangat tegas menolak terlibat dalam politik praktis, namun sejarah mencatat bagaimana sepak terjangnya baik sebagai aktivis maupun sebagai seniman/budayawan selalu dilandasi kesadaran sebagai warga negara yang baik dan sikap politik yang kuat.
Ia ikut menggagas dan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) hingga partai ini resmi dideklarasikan di Istora Senayan.
Pada masa Presiden Megawati, Ratna memilih lebih menahan diri dan memberi kesempatan. Saat konflik di wilayah Cot Trieng bergolak dan menjadi berita Ratna terbang ke Aceh, langsung ke Cot Trieng dan mengunjungi para pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah di Aceh.
Dia menembus penjagaan berlapis-lapis aparat menuju Bukit Tengkorak di mana ribuan tulang-belulang Rakyat Aceh terkubur dan menangis di sana.
Ketika gagasan menetapkan Aceh sebagai Darurat Militer mencuat dan menjadi pembahasan panas di DPR, Ratna menyurati Presiden saat itu. Ia memohon agar konflik di Aceh diselesaikan dengan pendekatan politik dan budaya. Ratna yakin sebagai perempuan sang Presiden akan menyelesaikan konflik di Aceh dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC). Setelah reformasi, melalui Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC), Ratna secara konsisten mengulurkan tangannya menolong mereka yang membutuhkan, apapun persoalannya. Mulai dari persoalan kelaparan, korupsi, KDRT dan lain-lain.
Banjir bandang yang melanda Jakarta 2001, mencatat RSCC sebagai posko terbesar dan terlama mengurusi korban, hingga ke wilayah Tangerang dan Bekasi. Ratna adalah aktivis lapangan yang konsistensi dan kepekaannya sulit disangkal. Dia turun langsung menyapa dan menyentuh tangan rakyat yang membutuhkannya.
Mendengar kerusakan lingkungan akibat racun yang dikeluarkan Indorayon, sebuah perusaan pulp, menyusahkan saudara-saudaranya di Porsea, ia terbang ke Porsea, Tapanuli Utara. Ia tinggal disana memberi mereka kekuatan. Ia membekali mereka dengan pemahaman tentang hukum dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kehadiran Ratna di Porsea membuat Kepolisian setempat gusar dan memintanya meninggalkan Porsea dengan alasan “Ratna bukan putera daerah”.
Ketika bencana tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir.
Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan “Tsunami Award”.
Sampai hari ini, dibantu oleh enam orang pengacara, RSCC masih terus membantu kaum perempuan korban kekerasan, tenaga Migran korban sistem dan rakyat miskin secara keseluruhan.
Perdagangan anak dan Pekerja seks
Tahun 2004, Ratna secara kebetulan mendengar kabar tentang buruknya perdagangan anak di Indonesia. Selama tahun 2005, dengan bantuan UNICEF Ratna melakukan penelitian tentang berita itu, mengunjungi enam provinsi di Indonesia untuk menguji dan mengetahui kebenaran berita itu dan mengetahui apa sebab di Indonesia perdagangan manusia sedemikian marak.
Dari hasil penelitian itu, 2006 Ratna menulis naskah Drama "Pelacur dan Sang Presiden" dan dipentaskan di lima kota besar di Indonesia. Perhatian publik pada pementasan ini memberi Ratna kesadaran, untuk melawan jenis perdagangan ini ia harus melancarkan kampanye besar dan pementasan drama tidak cukup memadai sebagai media kampanye.
Tahun 2007, Ratna menyadur Pelacur & Sang Presiden ke dalam sebuah skenario film. 2008 – 2009 dia memperjuangkan skenarionya itu bisa diwujudkan dalam film layar lebar dan berhasil. Dia menyutradarai sendiri film tersebut dan diberi judul “Jamila dan Sang Presiden”.
Jamila dan Sang Presiden berhasil mendapat perhatian dunia di berbagai Festival. Bangkok International Film Festival, Hongkong International Film Festival, Asia Pacific Film Festival. Di Vesoul Asian International Film Festival, Jamila dan Sang Presiden memperoleh dua penghargaan, Youth Prize dan Public Prize. Di Asiatica Film Mediale Festival, Roma, "Jamila dan Sang Presiden" berhasil memperoleh NETPAC Award, dan pada 2010, film ini diterima oleh panitia Academy Award sebagai film yang mewakili Indonesia, kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.
Pluralisme dan Toleransi
Setelah selama 2 tahun melakukan penelitian dan menulis, 10 Desember 2010 - di Tugu Perdamaian kota Ambon, bertepatan dengan hari HAM sedunia, Ratna meluncurkan Novel "Maluku Kobaran Cintaku" sebuah novel fiksi dengan latar belakang kerusuhan antar agama yang pernah melanda Maluku tahun 1999 – 2004. Novel itu hari-hari ini sedang disiapkan untuk dituangkan ke film layar lebar.
Profesi
Penghargaan
Female Human Rights special Award dari The Asian Foundation For Human Rights di Tokyo, Jepang (1998)
Tsunami Award - (Ratna Sarumpaet Crisis Center) 2005, Aceh
NETPAC Award - Asiatica Film Mediale, Roma, Film Jamila dan Sang Presiden, 2009
Youth Prize - Vesoul International Film Festival, Prancis, Film Jamila dan Sang Presiden, 2010.
Public Prize - Vesoul International Film Festival, Prancis, Film Jamila dan Sang Presiden, 2010.
Karya drama
Rubayat Umar Khayam (1974) (Naskah & Sutradara)
Dara Muning (1993) (Naskah & Sutradara)
Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1994) (Naskah & Sutradara)
Terpasung (1996) (Naskah & Sutradara)
Pesta Terakhir (1996) (Naskah & Sutradara)
Marsinah Menggugat (1997) (Naskah & Sutradara)
Alia: Luka Serambi Mekah (2000) (Naskah & Sutradara)
Anak-Anak Kegelapan (2003) (Naskah & Sutradara)
Pelacur dan Presiden (2006) (Naskah & Sutradara)
Karya film
Sebuah Percakapan - Film Pendek RCTI, 1985 (Skenario & Sutradara)
Lulu- Semi Dokumenter, 1989 (Skenario & Sutradara)
Balada Orang-Orang Tercinta - Film Televisi TVRI, 1990 (Skenario)
Rumah Untuk Mama - Film televisi TVRI, 1991 (Skenario & Sutradara)
Jamila dan Sang Presiden - Film Layar Lebar, 2009 (Skenario & Sutradara)
Sumber: Wikipedia