Inilah Walisongo, Termasuk Penyebar Agama Islam Di Indonesia
Faktakini.com, Jakarta - Agama Islam berasal dari langit dan pertama kali turun di Arab, Rasulullah SAW adalah orang Arab, beliau lahir tinggal dan besar sampai wafatnya di Arab, orang tua kakek dan datuk-datuk beliau pun adalah orang Arab.
Para Sahabat terdekat Rasulullah SAW adalah orang-orang Arab, anak cucu beliau baik dari Sayidina Hasan maupun Hussein adalah orang Arab, yang menyebarkan agama Islam pun adalah orang-orang Arab termasuk anak cucu Rasulullah SAW, dan seterusnya.
Semua orang di dunia sudah mengetahui fakta-fakta diatas. Namun ada segelintir kalangan yang berusaha menjauhkan hubungan antara Arab dengan umat Islam di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Salah satu ciri konsep ‘Islam Nusantara’ yang ditawarkan adalah berbeda dengan ‘Islam Arab’. Menurut para pengusungnya, Islam Indonesia lebih moderat, hal ini berbeda dengan Islam Arab.
Menilai hal tersebut, Sejarawan Islam Ustadz Tiar Anwar Bachtiar berusaha mengungkapkan peran dan karakter orang Arab sebenarnya dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Ustadz Tiar mengatakan peran orang Arab sangat krusial dan besar dalam perkembangan dakwah di Indonesia. Sehingga, eksistensi orang Arab dalam dakwah tidak bisa dipandang sebelah mata.
“Jadi saya kira peran orang Arab itu penting sekali dan besar dalam penyebaran Islam di Indonesia,” kata beliau.
Menurut dia, sebagian besar dai yang mengislamkan nusantara berasal dari Arab. Misalnya sosok Wali Songo, berdasarkan riwayat yang bisa dipercaya sebagian besar dari Hadramaut (Yaman). Begitu juga ulama-ulama lainnya, seperti para Habaib sebagian besar juga berasal dari Arab.
Namun terkait Walisongo ada juga kalangan yang meyakini bahwa mereka adalah orang-orang China, jadi bukan keturunan Arab atau Habaib. Jadi apakah Walisongo orang Arab, atau orang Cina, itu masih belum tuntas.
Pihak Rabithah sendiri telah menegaskan bahwa Azmatkhan yang disebut-sebut sebagai marga para Walisongo adalah betul salah satu fam Habaib, namun Rabithah menolak memberi pengakuan pada orang-orang yang kini muncul lalu mengaku Habaib bermarga Azmatkhan dengan menisbatkan dirinya sebagai keturunan Walisongo. Rabithah meyakini keturunan dari Azmatkhan telah terputus dan tidak memiliki catatannya.
Seperti diketahui, istilah Islam Nusantara diklaim oleh para pengusungnya sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan ‘Islam Arab’.
Ide ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan ulama, cendekiawan dan penganut Islam di Indonesia.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.
Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Berikut ini sejarah Walisongo dari pihak yang meyakini mereka adalah orang-orang Arab.
Arti Walisongo
Nama para Walisongo
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat 9 nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
Sunan Drajat atau Raden Qasim
Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
Sunan Kalijaga atau Raden Sahid
Sunan Muria atau Raden Umar Said
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
● Sunan Gresik
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid).
Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama:
1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah
2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad
3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.
Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit.
Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Ia juga membangun masjid sebagai tempat peribadatan pertama di tanah Jawa, yang sampai sekarang masjid tersebut menjadi masjid Jami' Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
● Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-19 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning.
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
● Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam.
Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.
● Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Nama asli dari sunan drajat adalah masih munat. masih munat nantinya terkenal dengan nama sunan drajat. Nama sewaktu masih kecil adalah Raden Qasim. Sunan drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. Dialah wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.
● Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasihat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
● Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
● Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.
● Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.
● Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja.
Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Asal usul Walisongo
Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, menyatakam bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia.
Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
Pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13.
Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Memang ada segelintir kalangan pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tetapi ternyata tempat-tampat tersebut hanya merupakan jalur penyebaran para mubaligh dan bukan merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif.
Arti Walisongo
Nama para Walisongo
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat 9 nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
Sunan Drajat atau Raden Qasim
Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
Sunan Kalijaga atau Raden Sahid
Sunan Muria atau Raden Umar Said
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
● Sunan Gresik
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid).
Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama:
1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah
2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad
3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.
Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit.
Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Ia juga membangun masjid sebagai tempat peribadatan pertama di tanah Jawa, yang sampai sekarang masjid tersebut menjadi masjid Jami' Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
● Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-19 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning.
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
● Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam.
Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.
● Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Nama asli dari sunan drajat adalah masih munat. masih munat nantinya terkenal dengan nama sunan drajat. Nama sewaktu masih kecil adalah Raden Qasim. Sunan drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. Dialah wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.
● Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasihat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
● Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
● Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.
● Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.
● Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja.
Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Asal usul Walisongo
Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, menyatakam bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia.
Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
Pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13.
Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Memang ada segelintir kalangan pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tetapi ternyata tempat-tampat tersebut hanya merupakan jalur penyebaran para mubaligh dan bukan merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif.
Sementara menurut versi Walisongo dari China, lain lagi.
Pada tahun 1968, terbit buku karya Prof. Slamet Muljana, "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara". Buku itu segera menimbulkan polemik hebat dan menguatkan kontroversi di kalangan sejarawan. Pihak pemerintah Orde Baru melalui Kejaksaan Agung segera bertindak. Buku itu dilarang beredar. Hingga pada Maret 2005, penerbit LKiS memutuskan untuk menerbitkan kembali buku kontroversial itu.
Sejarawan Indonesia terkemuka Indonesia saat ini, Asvi Warman Adam, dalam kata pengantarnya mengungkapkan alasan rezim Orde Baru melarang peredaran buku itu. Salah satu titik yang menjadi pemicunya adalah bahwa Prof. Slamet Muljana menyatakan pendapat yang kurang populer, yaitu Walisongo berasal dari Cina.
Dr. Asvi menulis, "Yang menjadi persoalan adalah saat itu rezim Orde Baru telah menetapkan Cina sebagai musuh karena negara itu dituduh membantu Gerakan 30 September 1965. Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Beijing, dan segala yang berbau Cina dilarang." (Lihat kata pengantar Asvi Warman Adam pada buku "Runtuhnya....).
Dalam buku itu, Prof. Slamet membeberkan nama-nama asli Walisongo, yang berbau Cina dan sangat jauh dari kesan berbau Arab. Slamet menyimpulkan bahwa Sunan Ampel aslinya bernama Bong Swi Hoo. Ia kemudian menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahir Sunan Bonang. Bonang diasuh Sunan Ampel bersama Giri, yang belakangan dikenal sebagai Sunan Giri.
Bahkan kesimpulan Prof. Slamet juga merambah hingga nama Sunan Kalijaga, yang menurut mayoritas versi sejarah sebagai satu-satunya Walisongo asli Indonesia. Menurut Slamet, Sunan Kalijaga, yang pada masa mudanya bernama Raden Said, tak lain adalah Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah adalah Toh A Bo, putra Sultan Trenggana, yang memerintah Demak tahun 1521-1546. Sementara itu, Sunan Kudus adalah Ja Tik Su.
Seperti diketahui, pada 1968 sejarawan Slamet Muljana dalam disertasi doktoralnya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, pernah merumuskan hipotesa, bahwa Islam secara historis dibawa masuk ke Tanah Jawa oleh para ulama etnis Tionghoa. Karena memancing kontroversi, pada 1971 buku ini dilarang oleh Orde Baru.
Secara epistemologis merujuk pada tiga sumber yaitu Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, dan naskah dari Kelenteng Sam Po Kong dan Talang yang ditulis oleh Poortman dan kemudian dikutip oleh Parlindungan, penelitian sejarah Slamet Muljana tiba pada kesimpulan bahwa para ulama ini, yang dalam masyarakat Jawa melegenda dengan sebutan Wali Songo, diyakini berasal dari Campa (Kamboja atau Vietnam).
Hipotesa Muljana tentu saja tidaklah muncul serta-merta. Merujuk artikel Asvi Warman Adam (2005) Walisongo Berasal dari China, hipotesa ini berawal dari rasa penasaran pemerintah kolonial Belanda tentang identitas etnis Raden Patah. Kecurigaan ini berawal dari penyebutan Panembahan Jimbun sebagai gelar Raden Patah dalam Serat Kanda; atau Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Dalam bahasa China dialek Yunan, kata ‘jin bun’ memiliki arti “orang kuat”.
Maka pada 1928, Residen Poortman mendapat perintah untuk menyelidiki apakah Raden Patah ialah orang beretnis Tionghoa ataukah bukan. Memanfaatkan momentum politik pascaingar-bingar pemberontakan kaum komunis pada 1926 dan kebijakan represif oleh pemerintah kolonial Belanda, Poortman menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan Talang, serta mengangkut naskah-naskah tua yang tersimpan di sana. Sebanyak tiga cikar naskah kuno berbahasa Tionghoa diambilnya. Sebagian besar naskah itu berusia lebih dari empat abad.
Lantas, Poortman membuat riset dari dokumen-dokumen Kelenteng Sam Po Kong dan Talang. Hasil penelitian itu, atas permintaan Poortman sendiri, harus dirahasiakan dan hanya boleh dibaca oleh pejabat-pejabat tertentu saja. Hanya dicetak lima eksemplar, hasil penelitian itu diberi status GZG (Geheim Zeer Geheim) yang artinya “sangat rahasia”, dan ditambah keterangan uitsluitend voor Dienstgebruik ten Kantore yang artinya “hanya boleh digunakan di kantor saja.
Poortman khawatir, jika penelitian itu diketahui khalayak luas, maka dipastikan akan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat Islam di Pulau Jawa.
Hasil penelitian yang berstatus “sangat rahasia” menjadi tidak lagi bersifat rahasia, saat Mangaraja Onggang Parlindungan, sosok yang secara personal sangat dekat dengan Residen Poortman, mengutip sumber tersebut untuk menulis bukunya Tuanku Rao. Singkat kata, buku yang berisi geneologi keluarga Parlindungan ini memuat lampiran yang diambil dari penelitian awal Poortman tentang Raden Patah yang notabene beretnis Tionghoa.
Menurut Slamet Muljana, Islamisasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pembentukan masyarakat Tionghoa Islam yang pertama. Dibentuk oleh Laksamana Cheng Ho di Palembang pada 1407. Raden Patah atau Jin Bun, seorang peranakan Tionghoa, buah cinta antara ibu Putri Cina (wanita peranakan) dan ayah Prabu Brawijaya V (Kertabhumi – Raja Majapahit), lahir dan besar di tengah-tengah masyarakat Tiongoa Islam di Palembang pada 1455. Nanti Raden Patah tercatat datang ke Pulau Jawa pada 1474.
Singkat cerita, dengan bantuan Wali Songo, yang sebagian besar juga datang dari Campa atau peranakan Tionghoa itu, Raden Patah atau Jin Bun mendirikan Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa. Dalam perjalanannya kerajaan ini kemudian menyerang dan meruntuhkan Kerajaan Majapahit di tahun 1478, yang ketika itu tengah diperintah oleh ayahnya, Kertabhumi. Sejak itu pupuslah kerajaan-kerajaan Hindu atau Budha di Jawa yang telah ada sejak tahun 400 M, digantikan oleh kerajaan-kerajaan Islam.
Dikatakan pula bahwa Kerajaan Demak berturut-turut diperintah oleh raja-raja beretnis Tionghoa: Jin Bun (Raden Patah, 1478-1518), Yat Sun (Adipati Unus, 1518-1521), Tung Ka Lo (Trenggana, 1521-1546), Muk Ming (Sunan Prawata, 1546).
Sementara, beberapa Wali Songo yang beretnis Tionghoa atau peranakan Tionghia, menurut Slamet Muljana antara lain:
Bong Swi Hoo/ Raden Rahmat/ Sunan Ampel, asal Campa yang datang ke Jawa pada 1445 dan membentuk masyarakat Islam Jawa di Ampel;
Sunan Bonang, putra Sunan Ampel, peranakan Tionghoa ini sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa;
Gan Si Cang/Raden Said/ Sunan Kalijaga, adalah seorang kapten kapal Cina di Semarang, putra Gan Eng Cu alias Arya Teja di Tuban;
Toh A Bo/ Syarif Hidayatullah/ Sunan Gunung Jati, anak Sultan Trenggana (Tung Ka Lo), raja Demak, yang merupakan panglima tentara Demak;
Dja Tik Su/ Jafar Sadik/Sunan Kudus;
Sunan Giri, murid Sunan Ampel, peranakan Tionghoa ini sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa.
Pendapat Slamet Muljana ini menimbulkan reaksi baik dari masyarakat maupun pemerintah. Selama ini masyarakat secara umum beranggapan, bahwa para Wali Songo berasal dari Gujarat, Arab, Hadramaut atau Yaman, bukan dari Campa atau beretnis Tionghoa.
Pertanyaannya ialah, apakah benar atau tidak yang ditulis Slamet Muljana? Tentu saja, para ahli sejarah yang harus membuktikannya. Penelitian lanjutan yang juga menarik ialah karya Sumanto Al Qurtuby. Berasal dari tesisnya di jurusan Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, bukunya Arus Cina-Islam-Jawa: Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Islam di Nusantara Abad 15 & 16, menyajikan data-data yang sangat menarik berkaitan penyebaran Islam di Nusantara.
Selain dari sumber lokal seperti Babad Tanah Djawi, Babad Gresik, Babad Tuban, Qurtuby juga merujuk pada sumber Cina. Misalnya, Ying-yai Sheng-lan, Hsin-cha Sheng-lan, Ming Shi. Pun merujuk sumber Portugis seperti Summa Oriental maupun sumber Arab seperti ‘Ajaibil Hindi. Menariknya lagi, penelitian ini juga merujuk sumber lisan yang berkembang di masyarakat sekitar situs-situs sejarah seperti makam, masjid, keraton, dan peninggalan sejarah lainnya.
Kesimpulan Qurtuby tak jauh berbeda dari Slamet Muljana. Masuknya Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Tionghoa. Mereka yang dikenal dengan sebutan “Wali Songo”, sebagian di antaranya adalah etnis Tionghoa. Pun para raja di Jawa, Kerajaan Demak, sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara ditengarai adalah “rezim Tionghoa.” Sedangkan bicara perihal sejauh mana kontribusi masyarakat Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara, Qurtuby mencatat peran determinan mereka baru terasakan di akhir abad ke-18.
Hipotesa masuknya Islam di Indonesia karena kontribusi etnis Tionghoa ini tampak semakin kukuh sejalan dengan hadirnya banyak penelitian lainnya. Sebutlah disertasi doktoral Tan Ta Sen, misalnya, yang kemudian diterbitkan dengan judul Cheng Ho, Penyebar Islam dari China ke Nusantara.
Tanpa mengesampingkan peranan orang muslim Arab dan India, menurut Tan Ta Sen orang-orang muslim Tionghoa juga ikut memainkan peran penting dalam sejarah Islamisasi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Teori besarnya kontribusi Cina daripada Arab atau India dalam proses Islamisasi ini, semakin diperkuat oleh banyak bukti terkait pelayaran bersejarah Cheng Ho di awal abad ke-15.
Tak jauh berbeda dengan Slamet Muljana dan Sumanto Al Qurtuby, Tan Ta Sen pun mencatat, masyarakat Tionghoa Islam berperan besar mendirikan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa, yakni Kerajaan Demak pada akhir abad ke-15. Menariknya, banyak dari tokoh masyarakat Tionghoa Islam itu dianggap sebagai guru-guru sufi bagi masyarakat Jawa, dan berhasil meningkatkan statusnya menjadi orang-orang suci nan melegenda yang sohor disebut Wali Songo.
Membaca berbagai riset sejarah di atas, di sini muncul pertanyaannya lebih jauh, yaitu: mengapa masyarakat Muslim di Indonesia lebih banyak yang meyakini kontribusi orang-orang Arab ketimbang orang-orang Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara?
Jelas, bahwa pandangan stereotype dan prasangka etnis kepada etnis Tionghoa ini mulai terbangun sejak kedatangan kolonialisme Belanda ke Nusantara. Politik agregasi yang dibangun oleh Pemerintah Belanda sengaja menempatkan orang-orang Tionghoa sebagai “kambing hitam” atas segala kekacauan yang sebenarnya merupakan implikasi negatif dari proyek kolonialisme itu sendiri.