Suku Dayak Muslim, Semakin Berkembang Di Tengah Era Globalisasi
Rabu, 4 April 2018
Faktakini.com
Gelombang Globalisasi
Apa yang kita pahami dewasa ini tentang kebudayaan telah memunculkan doktrin bahwa kebudayaan merupakan blue-rint dari hasil hidup manusia. Kebudayaan menjadi pedoman bagi manusia dalam bertingkah laku (Abdullah, 2006:1).
Bagi komunitas Dayak, identitas budaya sangatlah penting. Penanda-penanda tentang identitas itu kerap kali dipertontonkan secara terang-terangan dengan tujuan mengkustomisasi kebudayaan dalam konstruksi orisinil untuk tujuan wisata. Hal ini tidak serta merta menggerus orisinalitas budaya tersebut, justru mempertegas identitasnya atau mungkin menciptakan bentuk-bentuk identitas yang baru.
Kajian-kajikan ilmiah yang bertujuan untuk mengabadikan masing-masing identitas Dayak secara gamblang dan vulgar terasa masih belum cukup. Karena wacana yang berkembang hari ini lebih terfokus pada masalah identitas. Bagaimana seseorang dapat diidentifikasi oleh orang lain atau bahkan mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai seorang penduduk asli.
Seperti yang ditegaskan oleh Eriksen, cara yang paling efektif untuk menentukan “otentisitas” adalah apakah orang mengidentifikasi dirinya dengan cara tertentu atau apakah mereka diidentifikasi oleh orang lain.
Dayak Katab Kebahan dengan segala sub kelompoknya relatif jarang terdengar gaungnya. Seperti apa identitasnya, budayanya, kultur sosialnya, atau juga religiusitasnya. Selain karena penelitian-penelitian ilmiah yang langsung bersentuhan dengan “cara hidup” orang Dayak Katab Kebahan baru dimulai, identitas Dayak Katab Kebahan juga dengan serta merta dipersepsikan mejadi “melayu” bila telah memeluk Islam.
Komunitas Dayak Kebahan terdiri dari beberapa sub kelompok etnis kekeluargaan (anak suku), seperti Kebahan Kubin, Kebahan Keninyal, Kebahan Penyapat, Kebahan Limai, Kebahan Randu, Kebahan Barai, Kebahan Unau, Katab Kebahan, dan lain-lain. Sebagian besar telah memeluk agama Nasrani dan hanya sebagian kecil dari mereka yang masih menganut ajaran-ajaran nenek moyang terdahulu.
Pemeluk Islam Dayak Katab Kebahan sebagian besar bermukim di daerah bantaran Sungai Melawi (Kampong Liang, Tekelak, Kampong Paal, Kelakik, Kebebu, Tanjung Paoh, Keruap, dll) dan Sungai Pinoh (Serundung, Kenual, Tanjung Lai, dll). Mereka telah memeluk Islam sejak 4-5 generasi terdahulu (Hudi Prasodjo, Zainuddin, dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer).
Dalam proses adaptasinya, Dayak Katab Kebahan turut pula merespons masuknya globalisasi dengan tidak hanya bersikap statis, tetapi juga aktif memanfaatkan pengaruh globalisasi untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam kehidupan modern yang semakin besar tantangannya.
Etnis Dayak Katab Kebahan merupakan salah satu fenomena baru yang muncul sebagai representasi kebangkitan isu-isu masyarakat lokal. Isu lokalitas ini bergerak dari topik yang terlupakan menjadi sebuah tema yang menarik dan eksotis, khususnya bagi ilmuwan dan peneliti dalam bidang ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi.
Di Indonesia, studi tentang budaya dan tradisi lokal telah lama dipandang sebagai sesuatu yang tidak elit, kuno dan ketinggalan zaman bahkan sebagai sesuatu yang mundur jauh dari peradaban modern.
Ada beberapa alasan mengapa identitas Dayak Muslim Katab Kebahan menjadi penting dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Hal yang menarik dari fenomena ini adalah kenyataan bahwa orang Dayak itu dikenal sebagai orang asli Pulau Kalimantan yang selama ini lekat dengan banyak sebutan unik.
Di satu pihak, orang Dayak dianggap primitif dan berbeda dengan kebanyakan orang di daerah lain yang lebih maju seperti di Jawa atau Sumatra. Ada banyak sebutan dan konotasi yang melekat pada orang Dayak seperti orang udik, orang terasing, orang kampung, orang yang makan orang, dan bahkan disebut sebagi orang yang belum bisa tulis menulis.
Seperti yang disebutkan Stephanus Djueng (1996: 33), sebenarnya kata Dayak pada masa lampau digunakan sebagai sebuah makna kolektif untuk melabeli kelompok etnis lokal asli Kalimantan. Mulanya, masyarakat asli ini tidak mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai Dayak, tetapi justru label itu didapat dari pendatang yang menyebut mereka sebagai Dayak.
Menguatnya identitas Dayak Muslim Katab Kebahan merupakan salah satu fenomena yang terjadi di Melawi yang dipicu oleh otonomi daerah dan pemekaran wilayah Kabupaten Melawi pada tahun 1994. Kelahiran otonomi daerah tentu saja beriringan dengan perubahan-perubahan pada bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya.
Meskipun penyebutan “Melayu” kepada suku yang telah memeluk Islam relatif telah mendarah daging pada mayoritas masyarakat (bukan hanya) Melawi, seyogyanya masyarakat Dayak Katab Kebahan tidak perlu “menganggap” dirinya sebagai Melayu.
Sebab, nenek moyang mereka telah mewariskan identitas etnisnya sebagai Dayak. Sudah seharusnya masyarakat Dayak Katab Kebahan (di luar intervensi agama) tetap memiliki beban historis sebagai bagian dari penduduk asli pulau Borneo.
Sumber: qureta.com
Faktakini.com
Gelombang Globalisasi
Apa yang kita pahami dewasa ini tentang kebudayaan telah memunculkan doktrin bahwa kebudayaan merupakan blue-rint dari hasil hidup manusia. Kebudayaan menjadi pedoman bagi manusia dalam bertingkah laku (Abdullah, 2006:1).
Bagi komunitas Dayak, identitas budaya sangatlah penting. Penanda-penanda tentang identitas itu kerap kali dipertontonkan secara terang-terangan dengan tujuan mengkustomisasi kebudayaan dalam konstruksi orisinil untuk tujuan wisata. Hal ini tidak serta merta menggerus orisinalitas budaya tersebut, justru mempertegas identitasnya atau mungkin menciptakan bentuk-bentuk identitas yang baru.
Kajian-kajikan ilmiah yang bertujuan untuk mengabadikan masing-masing identitas Dayak secara gamblang dan vulgar terasa masih belum cukup. Karena wacana yang berkembang hari ini lebih terfokus pada masalah identitas. Bagaimana seseorang dapat diidentifikasi oleh orang lain atau bahkan mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai seorang penduduk asli.
Seperti yang ditegaskan oleh Eriksen, cara yang paling efektif untuk menentukan “otentisitas” adalah apakah orang mengidentifikasi dirinya dengan cara tertentu atau apakah mereka diidentifikasi oleh orang lain.
Dayak Katab Kebahan dengan segala sub kelompoknya relatif jarang terdengar gaungnya. Seperti apa identitasnya, budayanya, kultur sosialnya, atau juga religiusitasnya. Selain karena penelitian-penelitian ilmiah yang langsung bersentuhan dengan “cara hidup” orang Dayak Katab Kebahan baru dimulai, identitas Dayak Katab Kebahan juga dengan serta merta dipersepsikan mejadi “melayu” bila telah memeluk Islam.
Komunitas Dayak Kebahan terdiri dari beberapa sub kelompok etnis kekeluargaan (anak suku), seperti Kebahan Kubin, Kebahan Keninyal, Kebahan Penyapat, Kebahan Limai, Kebahan Randu, Kebahan Barai, Kebahan Unau, Katab Kebahan, dan lain-lain. Sebagian besar telah memeluk agama Nasrani dan hanya sebagian kecil dari mereka yang masih menganut ajaran-ajaran nenek moyang terdahulu.
Pemeluk Islam Dayak Katab Kebahan sebagian besar bermukim di daerah bantaran Sungai Melawi (Kampong Liang, Tekelak, Kampong Paal, Kelakik, Kebebu, Tanjung Paoh, Keruap, dll) dan Sungai Pinoh (Serundung, Kenual, Tanjung Lai, dll). Mereka telah memeluk Islam sejak 4-5 generasi terdahulu (Hudi Prasodjo, Zainuddin, dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer).
Dalam proses adaptasinya, Dayak Katab Kebahan turut pula merespons masuknya globalisasi dengan tidak hanya bersikap statis, tetapi juga aktif memanfaatkan pengaruh globalisasi untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam kehidupan modern yang semakin besar tantangannya.
Etnis Dayak Katab Kebahan merupakan salah satu fenomena baru yang muncul sebagai representasi kebangkitan isu-isu masyarakat lokal. Isu lokalitas ini bergerak dari topik yang terlupakan menjadi sebuah tema yang menarik dan eksotis, khususnya bagi ilmuwan dan peneliti dalam bidang ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi.
Di Indonesia, studi tentang budaya dan tradisi lokal telah lama dipandang sebagai sesuatu yang tidak elit, kuno dan ketinggalan zaman bahkan sebagai sesuatu yang mundur jauh dari peradaban modern.
Ada beberapa alasan mengapa identitas Dayak Muslim Katab Kebahan menjadi penting dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Hal yang menarik dari fenomena ini adalah kenyataan bahwa orang Dayak itu dikenal sebagai orang asli Pulau Kalimantan yang selama ini lekat dengan banyak sebutan unik.
Di satu pihak, orang Dayak dianggap primitif dan berbeda dengan kebanyakan orang di daerah lain yang lebih maju seperti di Jawa atau Sumatra. Ada banyak sebutan dan konotasi yang melekat pada orang Dayak seperti orang udik, orang terasing, orang kampung, orang yang makan orang, dan bahkan disebut sebagi orang yang belum bisa tulis menulis.
Seperti yang disebutkan Stephanus Djueng (1996: 33), sebenarnya kata Dayak pada masa lampau digunakan sebagai sebuah makna kolektif untuk melabeli kelompok etnis lokal asli Kalimantan. Mulanya, masyarakat asli ini tidak mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai Dayak, tetapi justru label itu didapat dari pendatang yang menyebut mereka sebagai Dayak.
Menguatnya identitas Dayak Muslim Katab Kebahan merupakan salah satu fenomena yang terjadi di Melawi yang dipicu oleh otonomi daerah dan pemekaran wilayah Kabupaten Melawi pada tahun 1994. Kelahiran otonomi daerah tentu saja beriringan dengan perubahan-perubahan pada bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya.
Meskipun penyebutan “Melayu” kepada suku yang telah memeluk Islam relatif telah mendarah daging pada mayoritas masyarakat (bukan hanya) Melawi, seyogyanya masyarakat Dayak Katab Kebahan tidak perlu “menganggap” dirinya sebagai Melayu.
Sebab, nenek moyang mereka telah mewariskan identitas etnisnya sebagai Dayak. Sudah seharusnya masyarakat Dayak Katab Kebahan (di luar intervensi agama) tetap memiliki beban historis sebagai bagian dari penduduk asli pulau Borneo.
Sumber: qureta.com