Tanggapan Ikhsan Kurnia Terhadap Klarifikasi Denny JA Soal Lonjakan Suara ASYIK
Selasa, 3 Juli 2018
Faktakini.com, Jakarta - TANGGAPAN TERHADAP KLARIFIKASI LSI DENNY JA.
Oleh: Ikhsan Kurnia
(Penulis dan Pemerhati Politik)
Hari Senin kemarin (2/7/2018) Denny JA memberikan klarifikasi soal lonjakan suara Sudrajat-Syaikhu di Pilkada Jawa Barat. Bisa dibaca di link berikut: https://nasional.kompas.com/read/2018/07/02/08303411/penjelasan-denny-ja-soal-lonjakan-suara-sudrajat-syaikhu-dan-sudirman-ida.
Denny JA menyebutkan 2 alasan mengapa lonjakan suara ASYIK dapat terjadi. Agar lebih fair, saya copy paste saja dari Kompas.
Pertama, seminggu terakhir sebelum hari pencoblosan terjadi mobilisasi dukungan yang efektif untuk Sudrajat-Syaikhu di Jabar dan Sudirman-Ida di Jateng. Gerakan seminggu terakhir ini tak lagi terpantau oleh survei LSI. Survei terakhir LSI di Jabar dan di Jateng mengambil data sebelum seminggu terakhir. "Tentu survei tak bisa membaca apa yang belum terjadi," kata Denny.
Kedua, mobilisasi Sudrajat-Syaikhu di Jabar dan Sudirman-Ida di Jateng berhasil mengambil mayoritas telak pemilih yang masih mengambang. Untuk kasus Jabar, survei terakhir LSI Denny JA mencatat suara yang masih mengambang sebesar 39 persen. Ini gabungan suara yang belum menentukan dan suara yang masih ragu. Dalam survei terakhir itu, dukungan untuk Sudrajat-Syaikhu masih sekitar 8,2 persen. Enam hari kemudian, setelah publikasi survei, hasil hitung cepat menunjukkan suara Sudrajat-Syaikhu melonjak ke angka 28-29 persen. "LSI Denny JA menyimpulkan, dalam mobilisasi seminggu terakhir, Asyik berhasil mengambil 20 persen dukungan dari 39 persen suara mengambang," kata dia.
Saya akan mencoba menanggapi dua variabel tersebut hanya untuk kasus ASYIK di Jabar saja dulu. Alasan pertama, Denny JA mengatakan bahwa H min 7 sebelum pencoblosan, terjadi mobilisasi dukungan yang efektif untuk Sudrajat-Syaikhu. Dia mengaku bahwa gerakan seminggu terakhir itu tak lagi terpantau oleh survei LSI.
Menurut saya, alasan tersebut seolah masuk akal tapi tidak ilmiah dan kurang robust (kuat). Pertama, pandangan tersebut lebih bersifat observatif (pengamatan kualitatif), yang bisa benar tapi boleh jadi salah. Ini lebih bersifat opini yang sifatnya spekulatif. Denny JA tidak punya data kuantitatif yang lebih dapat dipertanggungjawabkan untuk mengasumsikan hal tersebut, misalnya data jumlah endorsers berpengaruh serta berapa besar influencing powernya, besaran logistik yang beredar, dan lain-lain, serta memastikan Timses lawan tidak melakukan upaya-upaya yang sama-sama efektif sebagaimana Timses ASYIK.
Kedua, jika Denny JA mengatakan hal itu, seolah sama saja mengatakan bahwa H min 7 Timses yang bekerja keras dan efektif hanya Timses ASYIK saja, sementara Timses Paslon lainnya hanya ngopi-ngopi santai. Ini sangat tidak masuk akal. Seolah-olah hanya dalam waktu 1 minggu Timses ASYIK ibarat naik pesawat sedangkan Timses lainnya naik sepeda, hingga prosentase kenaikan elektabilitasnya terlalu meroket. Anggapah itu benar, namun menurut saya terlalu subjektif dan spekulatif dan bukan merupakan argumentasi yang cukup robust, bahkan cenderung kurang ilmiah.
Argumen subjektif-spekulatif-interpretatif-kualitatif semacam ini bisa dibuat oleh siapapun, bahkan tidak hanya satu, bisa lima bahkan sepuluh argumen yang seperti ini. Karena tidak ada basis angkanya boleh jadi sepuluh alasan itu benar semua, salah sebagian, atau salah semua. Karena basisnya observasi pribadi. Seandainya itu benar, tapi dimana basis ilmiahnya?
Variabel kedua, Denny JA mengatakan bahwa mobilisasi Sudrajat-Syaikhu berhasil mengambil mayoritas telak pemilih yang masih mengambang. Untuk kasus Jabar, survei terakhir LSI Denny JA mencatat suara yang masih mengambang (soft supporters) sebesar 39 persen. Dalam kesempatan lain, dijelaskan bahwa soft supporter adalah masyarakat yang masih ragu-ragu, sudah memiliki pilihan tapi masih bisa pindah pilihan, masyarakat yang belum punya pilihan sama sekali, dan masyarakat yang masih menunggu pemberian dari pasangan calon.
Tanggapan saya. Pertama, saya mengakui LSI Denny JA memiliki nilai tambah dari survey-nya, dalam hal ini men-tracking besaran soft supporters dan diumumkan kepada publik. Di saat lembaga survey yang lain, sejauh pengamatan saya, hanya menjelaskan besaran UNDECIDED VOTERS. Di sini, Soft supporters ala LSI memberikan detail yang lebih kepada publik. Namun sayangnya, tidak pernah dijelaskan kepada publik tentang sebaran dari soft supporters tersebut. Berapa % pemilih RINDU, ASYIK, 2D dan Hasanah yang sudah memiliki pilihan tapi masih bisa pindah pilihan ke Paslon lawan. Yang dipublikasikan secara detail (setidaknya yang tercatat di berbagai media) hanyalah besaran elektabilitas masing-masing Paslon. Survey terahir LSI adalah sebagai berikut (which is hanya angka-angka inilah yang diterima publik):
LSI Denny JA (7-14 Juni 2018)
RINDU 38,0%
ASYIK 8,2%
2D 36,6%
HASANAH 7,7%
UNDECIDED 9,5%
Jika publik hanya membaca hasil survey demikian, maka publik hanya mengetahui bahwa elektabilitas RINDU 38% dan ASYIK hanya 8,2%. Mayoritas publik tidak pernah tahu, bahwa mungkin saja, dari 39% soft supporters tersebut, sebarannya ada 15% di RINDU misalnya, dan 10% di 2D misalnya.
Jika begitu maka sesungguhnya, pemilih RINDU yang benar-benar sudah firm (tidak bisa berubah) hanya 23% misalnya (yang bisa berakibat pada turunnya image RINU sebagai Paslon dengan elektabilitas tertinggi), dan seterusnya. Tapi ini sama sekali tidak dipublikasi oleh LSI maupun semua lembaga survey yang ada.
Menurut saya ini tidak fair. Mengapa? Di saat tidak ada lonjakan suara yang signifikan, hal ini tidak dijadikan sebagai “alasan penjelas”. Seolah semuanya sesuai prediksi dan everything is fine. Namun di saat ada kasus lonjakan seperti yang terjadi pada ASYIK, hal ini jadi “alasan penjelas” dan bisa digunakan untuk menyelamatkan “muka” lembaga survey.
Kedua, Jika soft supporters ini dijadikan argumentasi, saya ingin menantang LSI Denny JA untuk membuka data, berapa sesungguhnya sebaran 39% soft supporters tersebut yang ada di RINDU, yang ada di 2D dan seterusnya.
Apa penjelasannya mengapa ASYIK bisa dengan sangat agresif mengambil soft supporters yang dimiliki oleh kompetitornya. Mengingat undecided voters versi terbaru LSI hanyalah 9,5%.
Jika kita asumsikan semua total undecided voters tersebut lari ke ASYIK semua, itu pun perolehan suara ASYIK baru 17,7%. Jika ASYIK mengambil 20% dari 39% soft supporters yang tersedia, itu artinya ASYIK mengambil sekitar 50% dari total sum of soft supporters. Apa iya itu bisa dilakukan hanya dalam waktu satu minggu?
Selanjutnya, saya akan copy past hasil survey bulan Juni dari lembaga survey yang lain sebagai perbandingan.
Indo Barometer (7-13 Juni 2018)
RINDU 36,9%
ASYIK 6,1%
2D 30,1%
HASANAH 5%
UNDECIDED 20,8%
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) (22 Mei - 1 Juni 2018)
RINDU 43,1%
ASYIK 7,9%
2D 34,1%
HASANAH 6,5%
UNDECIDED 8,4%
Poltracking Indonesia (18-22 Juni 2018)
RINDU 42%
ASYIK 10,7%
2D 35,8%
HASANAH 5,5%
UNDECIDED 6%
Instrat (18-21 Juni 2018)
RINDU 33,92%
ASYIK 8,5%
2D 38,17%
HASANAH 8,67%
Selain Indo Barometer, rata-rata lembaga survey menyebutkan bahwa undecided votersnya di bawah 10%. Anggaplah lembaga survey tersebut tidak mengambil data soft supporters sebagaimana LSI Denny JA. Jika kita hanya mengambil data dari itu saja, maka tidak mungkin suara ASYIK mencapai 28-29%.
Sebagai contoh, ASYIK versi SMRC hanya 7,9%. Jika ia berhasil mengambil semua total undecided sebesar 8,4%, itu berarti suara ASYIK baru mencapai 16,3%. Contoh lainnya, suara ASYIK versi Poltracking hanya 10,7%. Jika ia berhasil mengambil semua undecided sebesar 6%, itu berarti suara ASYIK baru mencapai 16,7%.
Saya tidak tahu, karena memang tidak diberitakan di media, apakah semua lembaga survey selain LSI Denny JA juga memiliki data soft supporters. Kalau ada dan bisa dijelaskan ke publik, menurut saya akan sangat membantu meminimalisir kecurigaan publik selama ini.
Alhasil, learning point-nya, menurut saya ke depan rilis lembaga survey perlu mempublikasikan berapa besaran soft supporters dan persebarannya di setiap Paslon. Wartawan juga perlu mencatatnya menjadi sebuah berita. Sehingga tidak hanya mempublikasikan angka-angka di permukaan yang rawan dijadikan sebagai alat membangun citra Paslon tertentu.
Semoga tulisan ini bisa menjadi masukan baik bagi lembaga survey, media massa dan publik secara luas. Ke depan publik perlu bertanya secara kritis, berapa detail persebaran soft supporters di masing-masing Paslon yang berkontestasi?
Faktakini.com, Jakarta - TANGGAPAN TERHADAP KLARIFIKASI LSI DENNY JA.
Oleh: Ikhsan Kurnia
(Penulis dan Pemerhati Politik)
Hari Senin kemarin (2/7/2018) Denny JA memberikan klarifikasi soal lonjakan suara Sudrajat-Syaikhu di Pilkada Jawa Barat. Bisa dibaca di link berikut: https://nasional.kompas.com/read/2018/07/02/08303411/penjelasan-denny-ja-soal-lonjakan-suara-sudrajat-syaikhu-dan-sudirman-ida.
Denny JA menyebutkan 2 alasan mengapa lonjakan suara ASYIK dapat terjadi. Agar lebih fair, saya copy paste saja dari Kompas.
Pertama, seminggu terakhir sebelum hari pencoblosan terjadi mobilisasi dukungan yang efektif untuk Sudrajat-Syaikhu di Jabar dan Sudirman-Ida di Jateng. Gerakan seminggu terakhir ini tak lagi terpantau oleh survei LSI. Survei terakhir LSI di Jabar dan di Jateng mengambil data sebelum seminggu terakhir. "Tentu survei tak bisa membaca apa yang belum terjadi," kata Denny.
Kedua, mobilisasi Sudrajat-Syaikhu di Jabar dan Sudirman-Ida di Jateng berhasil mengambil mayoritas telak pemilih yang masih mengambang. Untuk kasus Jabar, survei terakhir LSI Denny JA mencatat suara yang masih mengambang sebesar 39 persen. Ini gabungan suara yang belum menentukan dan suara yang masih ragu. Dalam survei terakhir itu, dukungan untuk Sudrajat-Syaikhu masih sekitar 8,2 persen. Enam hari kemudian, setelah publikasi survei, hasil hitung cepat menunjukkan suara Sudrajat-Syaikhu melonjak ke angka 28-29 persen. "LSI Denny JA menyimpulkan, dalam mobilisasi seminggu terakhir, Asyik berhasil mengambil 20 persen dukungan dari 39 persen suara mengambang," kata dia.
Saya akan mencoba menanggapi dua variabel tersebut hanya untuk kasus ASYIK di Jabar saja dulu. Alasan pertama, Denny JA mengatakan bahwa H min 7 sebelum pencoblosan, terjadi mobilisasi dukungan yang efektif untuk Sudrajat-Syaikhu. Dia mengaku bahwa gerakan seminggu terakhir itu tak lagi terpantau oleh survei LSI.
Menurut saya, alasan tersebut seolah masuk akal tapi tidak ilmiah dan kurang robust (kuat). Pertama, pandangan tersebut lebih bersifat observatif (pengamatan kualitatif), yang bisa benar tapi boleh jadi salah. Ini lebih bersifat opini yang sifatnya spekulatif. Denny JA tidak punya data kuantitatif yang lebih dapat dipertanggungjawabkan untuk mengasumsikan hal tersebut, misalnya data jumlah endorsers berpengaruh serta berapa besar influencing powernya, besaran logistik yang beredar, dan lain-lain, serta memastikan Timses lawan tidak melakukan upaya-upaya yang sama-sama efektif sebagaimana Timses ASYIK.
Kedua, jika Denny JA mengatakan hal itu, seolah sama saja mengatakan bahwa H min 7 Timses yang bekerja keras dan efektif hanya Timses ASYIK saja, sementara Timses Paslon lainnya hanya ngopi-ngopi santai. Ini sangat tidak masuk akal. Seolah-olah hanya dalam waktu 1 minggu Timses ASYIK ibarat naik pesawat sedangkan Timses lainnya naik sepeda, hingga prosentase kenaikan elektabilitasnya terlalu meroket. Anggapah itu benar, namun menurut saya terlalu subjektif dan spekulatif dan bukan merupakan argumentasi yang cukup robust, bahkan cenderung kurang ilmiah.
Argumen subjektif-spekulatif-interpretatif-kualitatif semacam ini bisa dibuat oleh siapapun, bahkan tidak hanya satu, bisa lima bahkan sepuluh argumen yang seperti ini. Karena tidak ada basis angkanya boleh jadi sepuluh alasan itu benar semua, salah sebagian, atau salah semua. Karena basisnya observasi pribadi. Seandainya itu benar, tapi dimana basis ilmiahnya?
Variabel kedua, Denny JA mengatakan bahwa mobilisasi Sudrajat-Syaikhu berhasil mengambil mayoritas telak pemilih yang masih mengambang. Untuk kasus Jabar, survei terakhir LSI Denny JA mencatat suara yang masih mengambang (soft supporters) sebesar 39 persen. Dalam kesempatan lain, dijelaskan bahwa soft supporter adalah masyarakat yang masih ragu-ragu, sudah memiliki pilihan tapi masih bisa pindah pilihan, masyarakat yang belum punya pilihan sama sekali, dan masyarakat yang masih menunggu pemberian dari pasangan calon.
Tanggapan saya. Pertama, saya mengakui LSI Denny JA memiliki nilai tambah dari survey-nya, dalam hal ini men-tracking besaran soft supporters dan diumumkan kepada publik. Di saat lembaga survey yang lain, sejauh pengamatan saya, hanya menjelaskan besaran UNDECIDED VOTERS. Di sini, Soft supporters ala LSI memberikan detail yang lebih kepada publik. Namun sayangnya, tidak pernah dijelaskan kepada publik tentang sebaran dari soft supporters tersebut. Berapa % pemilih RINDU, ASYIK, 2D dan Hasanah yang sudah memiliki pilihan tapi masih bisa pindah pilihan ke Paslon lawan. Yang dipublikasikan secara detail (setidaknya yang tercatat di berbagai media) hanyalah besaran elektabilitas masing-masing Paslon. Survey terahir LSI adalah sebagai berikut (which is hanya angka-angka inilah yang diterima publik):
LSI Denny JA (7-14 Juni 2018)
RINDU 38,0%
ASYIK 8,2%
2D 36,6%
HASANAH 7,7%
UNDECIDED 9,5%
Jika publik hanya membaca hasil survey demikian, maka publik hanya mengetahui bahwa elektabilitas RINDU 38% dan ASYIK hanya 8,2%. Mayoritas publik tidak pernah tahu, bahwa mungkin saja, dari 39% soft supporters tersebut, sebarannya ada 15% di RINDU misalnya, dan 10% di 2D misalnya.
Jika begitu maka sesungguhnya, pemilih RINDU yang benar-benar sudah firm (tidak bisa berubah) hanya 23% misalnya (yang bisa berakibat pada turunnya image RINU sebagai Paslon dengan elektabilitas tertinggi), dan seterusnya. Tapi ini sama sekali tidak dipublikasi oleh LSI maupun semua lembaga survey yang ada.
Menurut saya ini tidak fair. Mengapa? Di saat tidak ada lonjakan suara yang signifikan, hal ini tidak dijadikan sebagai “alasan penjelas”. Seolah semuanya sesuai prediksi dan everything is fine. Namun di saat ada kasus lonjakan seperti yang terjadi pada ASYIK, hal ini jadi “alasan penjelas” dan bisa digunakan untuk menyelamatkan “muka” lembaga survey.
Kedua, Jika soft supporters ini dijadikan argumentasi, saya ingin menantang LSI Denny JA untuk membuka data, berapa sesungguhnya sebaran 39% soft supporters tersebut yang ada di RINDU, yang ada di 2D dan seterusnya.
Apa penjelasannya mengapa ASYIK bisa dengan sangat agresif mengambil soft supporters yang dimiliki oleh kompetitornya. Mengingat undecided voters versi terbaru LSI hanyalah 9,5%.
Jika kita asumsikan semua total undecided voters tersebut lari ke ASYIK semua, itu pun perolehan suara ASYIK baru 17,7%. Jika ASYIK mengambil 20% dari 39% soft supporters yang tersedia, itu artinya ASYIK mengambil sekitar 50% dari total sum of soft supporters. Apa iya itu bisa dilakukan hanya dalam waktu satu minggu?
Selanjutnya, saya akan copy past hasil survey bulan Juni dari lembaga survey yang lain sebagai perbandingan.
Indo Barometer (7-13 Juni 2018)
RINDU 36,9%
ASYIK 6,1%
2D 30,1%
HASANAH 5%
UNDECIDED 20,8%
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) (22 Mei - 1 Juni 2018)
RINDU 43,1%
ASYIK 7,9%
2D 34,1%
HASANAH 6,5%
UNDECIDED 8,4%
Poltracking Indonesia (18-22 Juni 2018)
RINDU 42%
ASYIK 10,7%
2D 35,8%
HASANAH 5,5%
UNDECIDED 6%
Instrat (18-21 Juni 2018)
RINDU 33,92%
ASYIK 8,5%
2D 38,17%
HASANAH 8,67%
Selain Indo Barometer, rata-rata lembaga survey menyebutkan bahwa undecided votersnya di bawah 10%. Anggaplah lembaga survey tersebut tidak mengambil data soft supporters sebagaimana LSI Denny JA. Jika kita hanya mengambil data dari itu saja, maka tidak mungkin suara ASYIK mencapai 28-29%.
Sebagai contoh, ASYIK versi SMRC hanya 7,9%. Jika ia berhasil mengambil semua total undecided sebesar 8,4%, itu berarti suara ASYIK baru mencapai 16,3%. Contoh lainnya, suara ASYIK versi Poltracking hanya 10,7%. Jika ia berhasil mengambil semua undecided sebesar 6%, itu berarti suara ASYIK baru mencapai 16,7%.
Saya tidak tahu, karena memang tidak diberitakan di media, apakah semua lembaga survey selain LSI Denny JA juga memiliki data soft supporters. Kalau ada dan bisa dijelaskan ke publik, menurut saya akan sangat membantu meminimalisir kecurigaan publik selama ini.
Alhasil, learning point-nya, menurut saya ke depan rilis lembaga survey perlu mempublikasikan berapa besaran soft supporters dan persebarannya di setiap Paslon. Wartawan juga perlu mencatatnya menjadi sebuah berita. Sehingga tidak hanya mempublikasikan angka-angka di permukaan yang rawan dijadikan sebagai alat membangun citra Paslon tertentu.
Semoga tulisan ini bisa menjadi masukan baik bagi lembaga survey, media massa dan publik secara luas. Ke depan publik perlu bertanya secara kritis, berapa detail persebaran soft supporters di masing-masing Paslon yang berkontestasi?