19 Tahun Tinggal Di AS Karena Mengaku Indonesia Tak Aman, Trump Deportasi WNI Ini
Selasa, 21 Agustus 2018
Faktakini.com, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat akhirnya bertindak tegas terhadap pasangan WNI yang telah mendapatkan suaka dan menikmati tinggal di Amerika selama 19 tahun pasca kerusuhan 1998 lalu.
Namun Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan pelaksanaan deportasi terhadap dua WNI di Negara Bagian New Hampshire, Amerika Serikat, Meldy dan Eva Lumangkun untuk sementara ditunda, setelah keduanya mengajukan gugatan hukum.
"Gugatannya adalah habeas corpus, yaitu gugatan yang mirip praperadilan untuk menguji keabsahan satu langkah hukum," kata Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, kepada BBC Indonesia, Selasa (17/10).
"Mereka mengajukan suaka sejak paska 1998, tetapi ditolak, sehingga keluarlah perintah deportasi itu. Dan mereka (pun kemudian) mengajukan habeas corpus. Hakim sudah mengeluarkan keputusan sela yang meminta deportasi ditunda."
Penundaan deportasi ini, menurut Lalu, akan berlaku sampai pengadilan memutuskan apakah "memiliki kewenangan untuk menangani gugatan tersebut atau tidak."
Pasangan Meldy dan Eva yang merupakan warga etnik Cina beragama Kristen Protestan, pergi meninggalkan Indonesia, hampir dua dekade lalu, karena khawatir terhadap dampak tragedi Mei 1998. Dan walaupun kerusuhan yang hanya berlangsung selama beberaoa hari itu usai, mereka tetap ingin seterusnya tinggal di Amerika, bahkan kini mereka telah memiliki empat orang anak.
"Kami takut pulang. Khawatir dengan keselamatan anak-anak," kata Meldy Lumangkun seperti dikutip kantor berita Reuters. "Di sini (Amerika) anak-anak aman."
Sebelumnya, karena status mereka yang ilegal di Amerika, Meldy dan Eva, harus melapor diri tahunan yang disebut 'chek-in' ke pihak Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE).
Namun, tahun ini pertemuan yang digelar pada bulan Agustus tersebut, berbeda. Di bawah pemerintahan Trump yang nampaknya sudah menyadari bahwa Indonesia negeri yang aman dan cerita pasangan ini adalah kebohongan belaka, mereka diminta untuk segera membeli tiket, dan harus terbang pulang ke Indonesia dalam dua bulan.
Lebih ketat dibanding Obama
Meldy dan Eva adalah dua dari sekitar 2.000 warga etnik Cina asal Indonesia yang melarikan diri ke New Hampshire, karena mengaku ketakutan terhadap persekusi pada etnik Cina menyusul kerusuhan 1998. Mayoritas dari mereka masuk ke Amerika Serikat dengan menggunakan visa turis, kemudian diam-diam tinggal lama di sana, dan menjadi penduduk ilegal.
Pada masa pemerintahan Barack Obama tercapai kesepakatan yang membolehkan pendatang ilegal untuk tinggal di Amerika dengan syarat. (BBC)
Pada masa pemerintahan Barack Obama yang cenderung 'lebih rileks' terhadap pendatang, telah tercapai kesepakatan antara para imigran Indonesia tersebut dengan ICE. Mereka diperbolehkan tinggal di Amerika, dengan syarat paspor mereka ditahan dan mereka harus melakukan 'check-in' secara reguler.
Berdasarkan catatan ICE, terdapat 69 warga Kristen Indonesia di New Hampshire dan 45 warga Kristen Indonesia di New Jersey, yang berada di Amerika dengan kesepakatan ICE.
Total terdapat 41.854 orang dari seluruh dunia yang tinggal di Amerika Serikat dengan kelonggaran itu.
Namun, semuanya berubah ketika Presiden Donald Trump mulai memimpin Amerika. Para imigran Indonesia ini terancam dideportasi.
Meskipun begitu, Lalu Muhammad Iqbal menyebut berbagai upaya hukum terus dilakukan warga Indonesia di sana, agar tidak dideportasi. Dan dia menegaskan Meldy dan Eva belum akan dideportasi.
"Biasanya kita (Kemenlu) diberitahu. Ketika kita diminta (oleh Amerika) mengeluarkan travel dokumen, itu sekaligus memberitahukan pada kita bahwa ada WNI kita yang akan dideportasi...," kata Lalu.
Namun, tambahnya, "sejauh ini, kita belum mengeluarkan travel dokumen untuk pemulangan orang tersebut (Meldy dan Eva), dan mereka (Amerika) juga belum meminta."
Lalu menegaskan, pemerintah Indonesia akan selalu menerima kembalinya warga Indonesia yang ikut dalam kesepakatan ICE tetapi harus dideportasi.
"Tidak ada peraturan kita yang tidak membolehkan orang kembali ke Indonesia. Selama orang itu memegang paspor Indonesia, mereka berhak masuk ke Indonesia," tutur Lalu.
Situasi menjadi kompleks bagi warga Indonesia di New Hampshire, "karena banyak dari mereka yang sudah punya anak", kata Sandra Pontoh, seorang pastor asal Indonesia di New Hampshire, kepada Reuters.
"Sangat stres dibuatnya," kata Jacklyn Lele, seorang perempuan Indonesia yang terbang ke Amerika Serikat pada 2006 lalu setelah saudara lelakinya tewas pada tragedi 1998.
Dari 69 warga Kristen Indonesia yang tinggal di New Hampshire, kebanyakan hidup di kawasan tepi pantai negara bagian itu. Mereka bekerja di berbagai pabrik dan menikmati hidup yang tenang dan sederhana. Beberapa dari mereka ada yang berprofesi sebagai pastor.
Lalu Muhammad Iqbal mengakui kompleksnya situasi ini.
"Migrasi itu adalah hak dasar manusia. Orang ingin jadi warga negara lain, itu hak mereka. Namun, apakah mereka diterima atau tidak itu adalah hak negara tujuan. Kita tak bisa melakukan intervensi," pungkas Lalu.
Sumber: Detik
Faktakini.com, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat akhirnya bertindak tegas terhadap pasangan WNI yang telah mendapatkan suaka dan menikmati tinggal di Amerika selama 19 tahun pasca kerusuhan 1998 lalu.
Namun Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan pelaksanaan deportasi terhadap dua WNI di Negara Bagian New Hampshire, Amerika Serikat, Meldy dan Eva Lumangkun untuk sementara ditunda, setelah keduanya mengajukan gugatan hukum.
"Gugatannya adalah habeas corpus, yaitu gugatan yang mirip praperadilan untuk menguji keabsahan satu langkah hukum," kata Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, kepada BBC Indonesia, Selasa (17/10).
"Mereka mengajukan suaka sejak paska 1998, tetapi ditolak, sehingga keluarlah perintah deportasi itu. Dan mereka (pun kemudian) mengajukan habeas corpus. Hakim sudah mengeluarkan keputusan sela yang meminta deportasi ditunda."
Penundaan deportasi ini, menurut Lalu, akan berlaku sampai pengadilan memutuskan apakah "memiliki kewenangan untuk menangani gugatan tersebut atau tidak."
Pasangan Meldy dan Eva yang merupakan warga etnik Cina beragama Kristen Protestan, pergi meninggalkan Indonesia, hampir dua dekade lalu, karena khawatir terhadap dampak tragedi Mei 1998. Dan walaupun kerusuhan yang hanya berlangsung selama beberaoa hari itu usai, mereka tetap ingin seterusnya tinggal di Amerika, bahkan kini mereka telah memiliki empat orang anak.
"Kami takut pulang. Khawatir dengan keselamatan anak-anak," kata Meldy Lumangkun seperti dikutip kantor berita Reuters. "Di sini (Amerika) anak-anak aman."
Sebelumnya, karena status mereka yang ilegal di Amerika, Meldy dan Eva, harus melapor diri tahunan yang disebut 'chek-in' ke pihak Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE).
Namun, tahun ini pertemuan yang digelar pada bulan Agustus tersebut, berbeda. Di bawah pemerintahan Trump yang nampaknya sudah menyadari bahwa Indonesia negeri yang aman dan cerita pasangan ini adalah kebohongan belaka, mereka diminta untuk segera membeli tiket, dan harus terbang pulang ke Indonesia dalam dua bulan.
Lebih ketat dibanding Obama
Meldy dan Eva adalah dua dari sekitar 2.000 warga etnik Cina asal Indonesia yang melarikan diri ke New Hampshire, karena mengaku ketakutan terhadap persekusi pada etnik Cina menyusul kerusuhan 1998. Mayoritas dari mereka masuk ke Amerika Serikat dengan menggunakan visa turis, kemudian diam-diam tinggal lama di sana, dan menjadi penduduk ilegal.
Pada masa pemerintahan Barack Obama tercapai kesepakatan yang membolehkan pendatang ilegal untuk tinggal di Amerika dengan syarat. (BBC)
Pada masa pemerintahan Barack Obama yang cenderung 'lebih rileks' terhadap pendatang, telah tercapai kesepakatan antara para imigran Indonesia tersebut dengan ICE. Mereka diperbolehkan tinggal di Amerika, dengan syarat paspor mereka ditahan dan mereka harus melakukan 'check-in' secara reguler.
Berdasarkan catatan ICE, terdapat 69 warga Kristen Indonesia di New Hampshire dan 45 warga Kristen Indonesia di New Jersey, yang berada di Amerika dengan kesepakatan ICE.
Total terdapat 41.854 orang dari seluruh dunia yang tinggal di Amerika Serikat dengan kelonggaran itu.
Namun, semuanya berubah ketika Presiden Donald Trump mulai memimpin Amerika. Para imigran Indonesia ini terancam dideportasi.
Meskipun begitu, Lalu Muhammad Iqbal menyebut berbagai upaya hukum terus dilakukan warga Indonesia di sana, agar tidak dideportasi. Dan dia menegaskan Meldy dan Eva belum akan dideportasi.
"Biasanya kita (Kemenlu) diberitahu. Ketika kita diminta (oleh Amerika) mengeluarkan travel dokumen, itu sekaligus memberitahukan pada kita bahwa ada WNI kita yang akan dideportasi...," kata Lalu.
Namun, tambahnya, "sejauh ini, kita belum mengeluarkan travel dokumen untuk pemulangan orang tersebut (Meldy dan Eva), dan mereka (Amerika) juga belum meminta."
Lalu menegaskan, pemerintah Indonesia akan selalu menerima kembalinya warga Indonesia yang ikut dalam kesepakatan ICE tetapi harus dideportasi.
"Tidak ada peraturan kita yang tidak membolehkan orang kembali ke Indonesia. Selama orang itu memegang paspor Indonesia, mereka berhak masuk ke Indonesia," tutur Lalu.
Situasi menjadi kompleks bagi warga Indonesia di New Hampshire, "karena banyak dari mereka yang sudah punya anak", kata Sandra Pontoh, seorang pastor asal Indonesia di New Hampshire, kepada Reuters.
"Sangat stres dibuatnya," kata Jacklyn Lele, seorang perempuan Indonesia yang terbang ke Amerika Serikat pada 2006 lalu setelah saudara lelakinya tewas pada tragedi 1998.
Dari 69 warga Kristen Indonesia yang tinggal di New Hampshire, kebanyakan hidup di kawasan tepi pantai negara bagian itu. Mereka bekerja di berbagai pabrik dan menikmati hidup yang tenang dan sederhana. Beberapa dari mereka ada yang berprofesi sebagai pastor.
Lalu Muhammad Iqbal mengakui kompleksnya situasi ini.
"Migrasi itu adalah hak dasar manusia. Orang ingin jadi warga negara lain, itu hak mereka. Namun, apakah mereka diterima atau tidak itu adalah hak negara tujuan. Kita tak bisa melakukan intervensi," pungkas Lalu.
Sumber: Detik