Matinya Demokrasi Dalam Lima Tahun Terakhir

Sabtu, 29 September 2018

Faktakini.com

MATINYA DEMOKRASI DALAM LIMA TAHUN TERAKHIR

Oleh: Sugito Atmo Pawiro

PRAKTEK demokrasi paling mengenaskan dan lunglai sepanjang sejarah republik ini boleh disebut baru terjadi pada masa rezim pemerintahan 2014-2019. Betapa tidak, nyaris seluruh kekuatan politik telah mati suri, mandul, bahkan terkulai tak berdaya dalam memainkan peran penyeimbang dan kontrol terhadap kekuasaan negara. Partai politik, parlemen, media massa, tokoh politik dan birokrasi, serta organisasi sipil telah meringkuk dalam cengkraman kekuasaan.

Tidak hanya itu bidang kehidupan masyarakat, termasuk bidang keagamaan, pun telah dimasuki dan didikte demi kepentingan rezim. Situasi ini mengingakan pada tipologi negara korporatis di Amerika Latin.

Bahkan adanya tokoh-tokoh inner-circle (lingkaran dalam) presiden yang begitu berkuasa dalam merumuskan kebijakan publik, membuat kesan bahwa rezim ini berkarakter fasisme dan totalitarian.

Sebuah ironi demokrasi.
Empat tahun terakhir ini tidak ada lagi komponen demokrasi yang bisa diandalkan untuk memberdayakan rakyat.

Dimulai dengan memanipulasi informasi pembangunan melalui ruang publik yang disajikan media massa main-stream (baik TV, radio dan suratkabar) telah dimonopoli menurut kemauan pemerintah. Praktis seluruh media massa itu menjadi corong dan PR (lembaga humas) bagi Jokowi dan rezimnya.

Media besar, seperti Harian Kompas, memainkan peran itu dengan meneruskan keberhasilannya membuat gelembung pencitraan hingga mengantarkan Jokowi menjadi capres terpilih pada Pilpres 2014.

Media seperti Kompas gencar menyajikan informasi versi pemerintah untuk membentuk opini publik dan kosmetik politik yang absurd.
Contohnya, pembangunan Jalan berbayar (tol) disebut prestasi pemerintah membangun infrastruktur.

Padahal produk itu tak lebih dari jualan bisnis para investor yang hanya bisa dimanfaatkan masyarakat ketika membayar. Sementara jalan raya sebagai barang publik murni yang harus disediakan sebagai tugas pemerintah justru tidak ada kemajuan berarti.

Berkerumunnya media massa ke lingkaran istana sebagai corong informasi tanpa kritik, membuat peran media massa sebagai komponen demokrasi telah mati. Mereka bukan lagi watchdog bagi kekuasaan negara, melainkan sudah menjadi jongos.

Kasus pemberitaan Metro TV yang mengutip Asia Sentinel dengan mematikan semua karakter mantan Presiden SBY merupakan contoh tak elok demi mewujudkan ambisi politik. Stasiun TV justru menggadaikan prinsip elementer untuk menyajikan informasi akurat melalui sumber kredibel.
Ruang publik yang diramaikan media alternative (baca: medsos) juga disunat melalui pembentukan buzzer yang menyerang kelompok yang tidak sehaluan dengan kekuasaan rezim.

Melalui institusi pemerintah, Kementerian Kominfo dan Kepolisian RI, berbagai regulasi yang mengancam penulis dan penyebar kritik tajam kepada pemerintah dengan sanksi hukum menurut kehendak penguasa. Warga yang kritis dipersekusi untuk tujuan mematikan gerakan kritis itu, bahkan usaha mematikan langkah mereka tak segan menggunakan kekuatan bersenjata dan Bahasa kekerasan. Setidaknya bisa disaksikan dalam kasus Neno Warisman dan penanganann demonstrasi mahasiswa di daerah.

*

PRAKTEK koalisi pemerintahan yang dijalankan setelah membentuk pemerintahan pasca pemilu telah menjadikan partai politik kalah dalam Pemilu 2014 justru bersandar ke rezim ini baik di parlemen maupun kabinet. Sikap oportunis politisi pemimpin parpol kalah pemilu untuk bergabung ke koalisi pemerintahan, membuat dominasi rezim di pemerintahan dapat mendikte parlemen.

Wakil rakyat mayoritas di parlemen tidak lagi menjadi alat yang dapat menyeimbangkan kepentingan aspirasi rakyat di dalam kebijakan pemerintah, kecuali sekedar melegitimasi kekuasaan. Parlemen lagi-lagi cuma aksesoris demokrasi.

Melihat keunggulannya di parlemen itu, rezim pun menginginkan agar UU Politik juga memuat ketentuan yang dapat menciptakan kondisi dimana presiden incumbent dapat menjadi calon tunggal pada Pilpres 2019. Caranya, syarat pencalonan presiden/wapres ditentukan dengan kuota dukungan koalisi partai dengan prosentase sebesar-besarnya sehingga parpol di luar koalisi tidak memenuhi syarat pencalonan presiden/wapres.

Untungnya ketika menjadi UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 ketentuan presidential threshold sebesar 20% masih memungkinkan parpol di luar koalisi mencalonkan Prabowo sebagai capres. Realtas ini masih menimbulkan harapan adanya perubahan di negeri ini.

*

TIDAK berhenti sampai di situ saja. Gerakan rakyat genuine dalam demokrasi yang berhasil dipimpin Habib Rizieq Shihab (HRS) pada 2 Desember 2016 untuk turut serta dalam menyampaikan aspirasi rakyat pada proses pengambilan keputusan politik jelang Pilkada DKI Jakarta 2017, seyogyanya merupakan prestasi demokrasi di negeri ini. Gerakan Rakyat yang popular disebut Aksi 212 itu merupakan model terbaik dalam kehidupan demokrasi di sebuah negeri.

Namun lacur, pemerintah meresponnya sebagai sebuah ancaman yang berpotensi mendelegitimasi kekuasaan negara jika sampai pada masa Pilpres 2019.

HRS sebagai tokoh paling berpengaruh terhadap massa politik Islam di negeri ini pun kemudian ditelikung melalui upaya pembunuhan karakter (character assassination) yang kasar, illogical, tidak patut dan miskin “kreatifitas”.

Puncaknya, Kepolisian kemudian tampil sebagai penjerat HRS melalui kasus supra-aneh, yakni dugaan penyebaran chat pornografi via whats-App (WA).

Masya Allah ! Celakanya, alat bukti yang digunakan sama sekali tidak memadai menurut prasyarat prosedur hukum.

Mudah diduga kasus ini tenggelam begitu saja.
HRS kemudian berada di Arab Saudi sebagai warga kehormatan dan sekaligus menjalankan proses penyelesaian program doctor di Malaysia.

Langkah HRS dimatikan sebagai ulama yang memimpin umat di negeri ini dengan berbagai ancaman keamanan fisik. Soal ancaman keamanan ini disampaikan Dubes Arab Saudi yang menyebabkan HRS tetap berada dalam perlindungan pemerintah Arab Saudi dan tidak tidak dapat mengunjungi negerinya sendiri, Indonesia.

HRS telah merepresentasikan sebuah realitas besar bahwa kekuatan Islam dapat menjadi penentu keputusan politik rakyat. Ini menakutkan bagi rezim. Tak khayal Jokowi pun berbicara ke ruang publik dimana rakyat dihimbau untuk melepaskan agama dari politik. Sebuah himbauan aneh yang multitafsir.

Rakyat bisa menafsirkan apakah politik harus tanpa agama sehingga tidak ada panduan moral agama? Ataukah, agama ya agama dan politik ya politik? Atau demokrasi tidak memerlukan campur tangan agama dalam politik?

Syahdan, yang terjadi kemudian seperti air ludah yang dijilat sendiri. Dalam pencalonan presiden justru calon wapresnya diambil dari tokoh agama. Maksudnya jelas agar pemilih Islam bisa ditarik simpatinya. Anak kecil juga tau.

*

TERAKHIR yang unik adalah cara menarik dukungan dari jajaran politisi partai yang duduk di kursi pemerintahan maupun pimpinan partai.

Sejumlah tokoh kepala daerah rame-rame menyatakan dukungan. Sebagian rakyat tahu bahwa hal ini merupakan transaksi tukar guling dukungan politik dengan ancaman hukum.

Beberapa tokoh yang dibidik dalam kasus dugaan korupsi kemudian dengan aklamasi menyeberang dari lawan menjadi kawan. Menegaskan bahwa raja yang sedang berkuasa dapat menunda proses hukum kepada siapapun yang menjadi teman.

Lebih mengenaskan lagi ketika organisasi masyarakat yang merupakan gerakan kultural dan sosial kini berubah bentuk membingungkan sebagai organisasi kekuatan politik. Gusdurian, misalnya, secara tiba-tiba menyatakan dukungan dalam pencapresan. Tentu adanya deal tertentu di balik reaksi aneh ini.

Namun semakin terbukti bahwa bangun demokrasi di negeri ini semakin loyo karena civil society sudah bertekuk lutut sebagai alat politik.
Semoga saja pemilih rakyat masih mandiri sepanjang pemilu betul-betul fair play. Insya Allah. Kita selalu berharap Allah SWT memberikan kebaikan untuk negeri ini.*

Posting Komentar untuk "Matinya Demokrasi Dalam Lima Tahun Terakhir"