Kisah tentang Prabowo Subianto, Seperti Pulang Kembali ke Rumah

Sabtu, 13 Oktober 2018

Faktakini.com


Kisah tentang Prabowo Subianto

Seperti Pulang Kembali ke Rumah

Buyutnya adalah panglima dalam Perang Jawa. Tokoh pendukung dan pembela Pangeran Diponegoro. Kakeknya tokoh penting awal kemerdekaan Indonesia dan berdakwah bersama Hadji Agoes Salim. Jika kini Prabowo Subianto bergandengan tangan dengan ulama dan umat Islam, rasanya seperti pulang ke rumah sendiri bertemu saudara lama.

Di zaman perjuangan kemerdekaan, ada seorang tokoh pejuang. Memang namanya tidak masyhur Tjokroaminoto, atau Agoes Salim atau Soekarno atau Mohammad Hatta, atau Soedirman atau yang lainnya. Tapi posisinya tidak kalau penting, beliau bergerak di bawah, mendampingi rakyat, menyelenggarakan koperasi, membantu ekonomi dan yang paling penting, beliau hadir di tengah-tengah rakyat, yang membutuhkan pemimpinnya.

Menjadi pahlawan bukan tujuannya. Menjadi orang dengan nama besar bukan cita-citanya. Apalagi menjadi terkenal, sama sekali tak pernah masuk hitungan tujuannya. Beliau hanya berusaha hadir, seutuhnya, setulusnya, bersama rakyat Indonesia.

Nama beliau Margono Djojohadikusumo. Pernah tersemat dalam sejarah tata negara sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara sehari selepas Soekarno dan Mohammad Hatta dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada posisi itulah, Margono mengusulkan sistem pengelolaan keuangan negara yang masih sangat belia itu dengan memberikan usulan untuk membentuk Bank Sentral atau Bank Sirkulasi sebagai diamanatkan Undang-undanh Dasar 1945.

Margono Djojohadikusumo memiliki kisah menarik yang tak terungkap. Dulu di zaman Belanda, saat rumah beliau di sekitar wilayah Salemba, Margono Djojohadikusumo dan istrinya, Siti Katoemi Wirodihardjo punya pengajian di rumahnya. Pengajian al Quran, untuk para intelektual, disampaikan dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda.

Pada zaman itu, rumah seorang intelektual menjadi tempat pengajian amatlah jarang dan sebuah fenomena yang langka. Disampaikan pula pengajian itu dalam Bahasa Belanda. Yang lebih menarik lagi adalah, pengajian di rumah Margono Djojohadikusumo ini diasuh dan diampu oleh seorang ulama besar, politisi, ahli diplomasi, pemimpin perjuangan dan guru dari banyak pejuang kemerdekaan Indonesia: Hadji Agoes Salim.

Ibu Siti Katoemi Wirodihardjo meminta Hadji Agoes Salim untuk memimpin pengajian, Margono Djojohadikusumo sendiri ingin seluruh keluarganya, istri, anak dan handai taulan, kerabat dan sahabat tidak jauh dari agama. Ibu Siti Katoemi merasa pelajaran agama diperlukan, sebab pelajaran sekolah punya tendensi untuk menjauhkan murid-muridnya dari pelajaran agama. Maka dari Hadji Agoes Salim mereka mempelajari agama Islam.

Kisah ini dituturkan oleh Mohammad Roem yang kerap dimintai Hadji Agoes Salim untuk menemani beliau mengajar mengaji di rumah keluarga Margono Djojohadikusumo. Mohammad Roem amat bahagia diminta mendampingi sang guru ketika mengajarkan ilmu. Bukan hanya menyerap ilmunya, tapi Mohammad Roem berkesempatan untuk meluaskan jaringan tokoh perjuangan yang dikenalnya.

Margono Djojohadikusumo adalah ayah dari dari Soemitro Djojohadikusumo, dan Prabowo Subianto adalah cucu dari tokoh kita yang satu ini. Nama Prabowo sendiri sebenarnya diambil dari nama salah satu dari anak Raden Mas Margono yang gugur dalam peristiwa Pertempuran Lengkong, Soebianto Djojohadikusumo. Pertempuran Lengkong adalah satu peristiwa Tentara Keamanan Rakyat melawan Jepang di wilayah Lengkong, Tangerang, Serpong, Banten. Dalam peristiwa ini, Soebianto Djojohadikusumo gugur dan diberi anugerahi pangkat kehormatan Kapten Anumerta.

Demi menghormati beliau, nama Soebianto disematkan oleh Soemitro Djojohadikusumo pada nama anaknya, Prabowo Subianto.

Kembali kepada shahibul kisah, jika dirunut ke atas Margono Djojohadikusumo adalah buyut dari Raden Tumenggung Kertonegoro atau Tumenggung Banyakwide salah seorang panglima dari Pangeran Diponegoro di wilayah Gowong, Kedu, Jawa Tengah. Tumenggung Banyakwide adalah perwira tinggi dalam Perang Jawa dalam melawan penjajah Belanda dengan gelar Panglima Banyakwide.

Jadi, setelah Panglima Banyakwide yang bahu membahu dengan ulama seperti Kiai Modjo dan Pangeran Diponegoro melawan kolonialisasi Belanda. Lalu Margono Djojohadikusumo yang punya cara sendiri dalam berdakwah bersama Hadji Agoes Salim di zaman revolusi. Jika kini Prabowo Subianto, cucu-cicit mereka bergandeng tangan dengan para ulama dan kaum Muslimin, rasanya seperti pulang ke rumah sendiri. Pulang ke pangkuan kaum Muslimin. Pulang dan berjuang bersama dengan umat dan ulamanya. Selamat datang kembali Prabowo Subianto. Ahlan wa sahlan....