Habib Zein Bin Smith: Jejak Keturunan Rasulullah dan Perannya di Indonesia
Rabu, 21 November 2018
Faktakini.com, Jakarta - Shihab, Alatas, Assegaf, Alhabsyi, Alaydrus, Bin Syech Abubakar, Almunawar, Almusawwa, Alhaddad, Mauladdawilah, Aljufri, Alhamid, bin Yahya, Baraqba, Banahsan, Albahar, Assyatiri dan lain-lain adalah sekian dari banyak contoh nama yang kerap terdengar di telinga.
Habib Rizieq Shihab dan Dr Salim Segaf Aljufri (Dewan Syuro PKS) adalah beberapa contoh kalangan Habaib.
Contoh nama-nama itu bukan sekadar nama yang diberikan orangtua kepada anaknya ketika lahir. Karena nama-nama mereka dicatat dalam suatu dokumen yang dikerjakan oleh salah satu lembaga yang sudah eksis sejak Indonesia masih bernama Hindia-Belanda.
Rabithah Alawiyah -- seperti dilansir laman resmi Rabithah Alawiyah -- awalnya bernama Perkoempoelan Arrabitatoel-Alawijah yang mendapat persetujuan berkumpul oleh pemerintah Hindia-Belanda pada 27 Desember 1928 di Bogor. Tujuan awal didirikannya organisasi tersebut adalah untuk mengikat tali persaudaraan antar orang-orang rantauan dari jazirah Arab. Agar mereka yang tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga ke pulau Ende supaya tetap saling terhubung.
Selain menjaga komunikasi antar akar-rumput, lembaga ini juga merupakan pihak yang penting dalam mencatat contoh nama-nama seperti Shihab dan Alatas yang ternyata memiliki garis keturunan vertikal dari Nabi Muhammad. Menurut catatan Rabithah Alawiyah, terdapat 68 marga Arab yang tersisa dan tersebar di penjuru Indonesia.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Rabithah Alawiyah, Habib Zein bin Umar bin Smith mengatakan bahwa keturunan Alawiyin di Jabodetabek yang paling banyak jumlahnya adalah marga Alatas atau al-Attas. Jumlah orang yang berasal dari keluarga al-Attas sebanyak 2.471 orang, al-Haddad tercatat sebanyak 1.583 orang, disusul Assegaf, Alaydrus, hingga Al Habsyi. Ada pula marga Al Baidi yang tercatat hanya berjumlah satu orang.
Berbagai catatan sejarah menceritakan bagaimana keturunan Arab turut memperjuangakan kemerdekaan Indonesia. Masuknya pengaruh Arab pun diklaim sudah ada sejak abad ke-13. Menurut Buya Hamka dalam Panji Masyarakat, 1975, para keturunan Arab yang bergelar habaib memasuki wilayah Nusantara melalui Aceh.
Melalui Aceh itulah, para habaib dipercaya menyebar dan menetap membentuk kampung Arab. Bahkan menyeberang ke pulau lain seperti Jawa, Kalimantan wilayah Pontianak dan Serawak, hingga ke Mindanao, Filipina.
Dalam pernyataannya, Hamka menyebutkan bahwa keturunan Arab tersebut menjadi pemimin di wilayah masing-masing. Seperti Sayid dari keluarga Jamalullail yang menjadi raja Aceh, Pontianak yang dipimpin Sayid al-Qadri yang kemudian dari seluruh tokoh itu berkembanglah menjadi sekitar 199 keluarga besar dengan nama-nama yang sering terdengar hingga saat ini.
Selain itu, di ‘rumah’ barunya masing-masing, para keturunan nabi itu memperoleh panggilannya masing-masing. Seperti ‘Wan’ di wilayah Betawi, ‘Tuanku’ di Serawak, dan ‘Sidi’ di Pariaman, Sumatera Barat. Jika ditarik ke atas, Hamka menyebut, keturunan nabi hingga tahun 1975 sudah mencapai generasi ke-37 sampai 38.
Meski demikian, baru pada 2017 keturunan Arab diperbincangkan dalam satu telaah ilmiah yang membicarakan sepak terjang keturunan Timur-Tengah di sudut-sudut nusantara. Menurut Menteri Agama RI, Lukman Hakim, para keturunan Arab yang akrab dipanggil habaib merupakan guru untuk mengenalkan ajaran Islam seperti yang dilanjutkan oleh para Wali Songo di Tanah Air. Sepak terjang keturunan Arab pun berlanjut hingga kini dalam berbagai organisasi berbasis kekeluargaan dan kemasyarakatan.
Sumber:
Republika
Faktakini.com, Jakarta - Shihab, Alatas, Assegaf, Alhabsyi, Alaydrus, Bin Syech Abubakar, Almunawar, Almusawwa, Alhaddad, Mauladdawilah, Aljufri, Alhamid, bin Yahya, Baraqba, Banahsan, Albahar, Assyatiri dan lain-lain adalah sekian dari banyak contoh nama yang kerap terdengar di telinga.
Habib Rizieq Shihab dan Dr Salim Segaf Aljufri (Dewan Syuro PKS) adalah beberapa contoh kalangan Habaib.
Contoh nama-nama itu bukan sekadar nama yang diberikan orangtua kepada anaknya ketika lahir. Karena nama-nama mereka dicatat dalam suatu dokumen yang dikerjakan oleh salah satu lembaga yang sudah eksis sejak Indonesia masih bernama Hindia-Belanda.
Rabithah Alawiyah -- seperti dilansir laman resmi Rabithah Alawiyah -- awalnya bernama Perkoempoelan Arrabitatoel-Alawijah yang mendapat persetujuan berkumpul oleh pemerintah Hindia-Belanda pada 27 Desember 1928 di Bogor. Tujuan awal didirikannya organisasi tersebut adalah untuk mengikat tali persaudaraan antar orang-orang rantauan dari jazirah Arab. Agar mereka yang tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga ke pulau Ende supaya tetap saling terhubung.
Selain menjaga komunikasi antar akar-rumput, lembaga ini juga merupakan pihak yang penting dalam mencatat contoh nama-nama seperti Shihab dan Alatas yang ternyata memiliki garis keturunan vertikal dari Nabi Muhammad. Menurut catatan Rabithah Alawiyah, terdapat 68 marga Arab yang tersisa dan tersebar di penjuru Indonesia.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Rabithah Alawiyah, Habib Zein bin Umar bin Smith mengatakan bahwa keturunan Alawiyin di Jabodetabek yang paling banyak jumlahnya adalah marga Alatas atau al-Attas. Jumlah orang yang berasal dari keluarga al-Attas sebanyak 2.471 orang, al-Haddad tercatat sebanyak 1.583 orang, disusul Assegaf, Alaydrus, hingga Al Habsyi. Ada pula marga Al Baidi yang tercatat hanya berjumlah satu orang.
Berbagai catatan sejarah menceritakan bagaimana keturunan Arab turut memperjuangakan kemerdekaan Indonesia. Masuknya pengaruh Arab pun diklaim sudah ada sejak abad ke-13. Menurut Buya Hamka dalam Panji Masyarakat, 1975, para keturunan Arab yang bergelar habaib memasuki wilayah Nusantara melalui Aceh.
Melalui Aceh itulah, para habaib dipercaya menyebar dan menetap membentuk kampung Arab. Bahkan menyeberang ke pulau lain seperti Jawa, Kalimantan wilayah Pontianak dan Serawak, hingga ke Mindanao, Filipina.
Dalam pernyataannya, Hamka menyebutkan bahwa keturunan Arab tersebut menjadi pemimin di wilayah masing-masing. Seperti Sayid dari keluarga Jamalullail yang menjadi raja Aceh, Pontianak yang dipimpin Sayid al-Qadri yang kemudian dari seluruh tokoh itu berkembanglah menjadi sekitar 199 keluarga besar dengan nama-nama yang sering terdengar hingga saat ini.
Selain itu, di ‘rumah’ barunya masing-masing, para keturunan nabi itu memperoleh panggilannya masing-masing. Seperti ‘Wan’ di wilayah Betawi, ‘Tuanku’ di Serawak, dan ‘Sidi’ di Pariaman, Sumatera Barat. Jika ditarik ke atas, Hamka menyebut, keturunan nabi hingga tahun 1975 sudah mencapai generasi ke-37 sampai 38.
Meski demikian, baru pada 2017 keturunan Arab diperbincangkan dalam satu telaah ilmiah yang membicarakan sepak terjang keturunan Timur-Tengah di sudut-sudut nusantara. Menurut Menteri Agama RI, Lukman Hakim, para keturunan Arab yang akrab dipanggil habaib merupakan guru untuk mengenalkan ajaran Islam seperti yang dilanjutkan oleh para Wali Songo di Tanah Air. Sepak terjang keturunan Arab pun berlanjut hingga kini dalam berbagai organisasi berbasis kekeluargaan dan kemasyarakatan.
Sumber:
Republika