Habib Abdullah Uwais Alatas: Fokus 2019 Atau Gagal Fokus?

Selasa, 18 Desember 2018

Faktakini.com

*Fokus 2019 Atau Gagal Fokus?*

Oleh : Habib Abdullah Uwais Alatas

Pesta demokrasi serentak dari mulai pemilihan wakil rakyat untuk legislatif DPRD II, DPRD I, DPR RI, dan DPD, sampai pemilihan pemimpin tertinggi eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden mulai memasuki hari demi hari menuju titik finalisasinya pada saat pemilihan langsung di TPS,17 April nanti.

Satu hal paling krusial pada pesta demokrasi kali ini adalah catatan yang mengindikasikan, bahwa pesta demokrasi kali ini, arahnya menuju titik rawan yang berbahaya. Dan tentunya, indikasi ketidakjujuran ini mengarah pada pemerintah sebagai penyelenggara dan penanggungjawab pesta demokrasi di bawah kendali Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Ada 3 kebijakan KPU mengindikasikan ketidakjujuran pesta demokrasi saat ini, tidak saja di mata rakyat, tetapi di mata internasional.

*Hak Suara Bagi Orang Gila*
Kebijakan KPU menetapkan orang yang mengidap gangguan jiwa sebagai berhak memiliki hak pilih (DPT), bahkan dibolehkan tanpa surat dokter sebagai rujukan, bukan saja aneh, tetapi juga mengindikasikan peluang untuk melahirkan kekacauan hukum terhadap penyelenggaraan pemilu semakin terbuka.

Kebijakan ini rawan manipulasi..Apalagi di saat pendataan orang waras saja masih belum optimal..

Tingginya angka orang gila di Indonesia dapat menjadi celah gugurnya hak pilih secara sia-sia dan sekaligus menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan hak pilih mereka.

Menurut Wirdyaningsih, suara orang gila akan sia-sia jika mereka memang tidak memiliki kesadaran penuh untuk datang ke TPS. Di sisi lain, suara mereka dapat dimanfaatkan untuk menambah kemenangan suara pihak-pihak tertentu. "Misalnya hak mereka dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain yang mempengaruhi mereka atau kalau ada keluarga yang mendampingi mereka, bisa saja pilihannya terpengaruhi.

31 juta DPT Siluman
Persoalan munculnya DPT 31 juta suara siluman menyeruak menjadi titik kerawanan baru atas penyelenggaraan pemilu kali ini..

Koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga mempertanyakan adanya dugaan data siluman alias data susupan dari Kementerian Dalam Negeri yang mencapai 31 Juta untuk pemilu 2019.

Data itu dinilai cukup aneh lantaran diserahkan dari Kemendagri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diketahui mencapai 185 juta pemilih.

"Kami terkejut ada data 31 juta sekian pemilh yang belum masuk dalam daftar pemilih. Kami datang ke KPU untuk meminta penjelasan. Karena itu bukan angka kecil," kata Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani usai bertemu Ketua KPU dan jajarannya di gedung KPU, Jakarta Pusat, Jawa Pos, Rabu (17/10).

Anehnya, KPU sendiri belum mengetahui data yang disebut oleh Kemendagri tersebut. Pasalnya, KPU tidak bisa mengakses lantaran adanya surat edaran dari Kemendagri bahwa data 31 juta itu belum boleh dibuka. Alasannya karena bersifat rahasia.

Alasan dibalik “kerahasiaan” itulah yang menjadikan adanya 31 juta suara DPT sebagai suara siluman. Dan ini memberikan sinyalemen kuat adanya “kekuatan kekuasaan” tengah bermain untuk target kepentingan politik..

*Kotak Suara Kardus*
Kebijakan paling mengagetkan ketiga dari KPU adalah perubahan kotak suara dari alumunium menjadi kardus.

Kritikan tajam dari masyarakat terhadap kebijakan penggunaan kotak suara kardus ini, faktanya menjadi satu reaksi kuat munculnya distrust dari masyarakat atas penyelenggaraan pemilu.

Ruang manipulasi menjadi terbuka lebar. Kotak suara dari alumunium saja bisa terjadi manipulasi, apalagi dari kardus. Belum lagi bila mengacu pada fakta atas kerawanan kotak suara kardus begitu melintasi sungai yang masih banyak terjadi di daerah-daerah terpencil.

Kotak suara dari kardus sangat mudah dimanipulasi dengan “kardus yang sama” dengan kardus resminya nanti. Agenda untuk manipulasi “pindah kardus” inilah yang berbahaya dan beresiko menjadikan Pemilu kali menghasilkan produk hukum tanpa legalitas kuat..

Dari ketiga bentuk kerawanan manipulasi atas penyelenggaraan pemilu tersebut di atas, menurut saya, ada 3 (tiga) solusi yang wajib kita antisipasi secara total, khususnya karena kerawanan ini bisa berakibat kekalahan Prabowo-Sandi dalam pertarungan Pilpres. Apalagi karena posisi Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno adalah pasangan incumbent..

✍ Pilihan atas opsi boikot pemilu wajib diupayakan sebelum 3 bentuk kerawanan penyelenggaraan Pemilu itu clear dan clean.

✍ Harus mulai diarahkan kepada kader dan simpatisan pendukung untuk fokus pada tujuan 2019 dengan tidak termakan umpan dan jebakan isu-isu pengalihan yang sengaja diplot agar gagal fokus pada aspek penguatan strategi membangun jaringan relawan sampai ke tingkat desa dan TPS.

✍ Penguatan sinergi dukungan umat di bawah komando IB HRS dengan koalisi partai politik Adil Makmur wajib segera diagendakan untuk mengawal pengamanan total di seluruh TPS di wilayah NKRI.

Posisi pengamanan total seluruh TPS menjadi kata kunci saat ini. Ini kewajiban segera yang wajib dijalankan dalam rangka mengantisipasi indikasi kerawanan pemilu yang semakin massive bakal dilakukan untuk menghadang kemenangan arus perubahan NKRI kembali negara berdaulat dan terhormat dalam cita-cita proklamasi.

*Abdullah Uwais Alatas*
*#5SILA_SILABNA* *(Silaturahmi Anak Bangsa)*