Habib Bahar bin Smith Dalam Jeratan Machtstaat
Selasa, 11 Desember 2018
Faktakini.com
Habib Bahar bin Smith Dalam Jeratan Machtstaat
Oleh : Abdullah Uwais Alatas
Satu hal paling memprihatinkan di era pemerintahan Jokowi saat ini adalah hukum tebang pilih. Keadilan hukum telah menjadi persoalan tabu saat ini. Hukum menjadi milik penguasa. Bukan lagi menjadi panglima bernegara dan berbangsa seperti yang menjadi landasan utama konstitusi negara Republik Indonesia bahwa negara dan bangsa Indonesia berdiri dengan menganut asas hukum utama Rechtstaat, bukan Machtstaat.
Fakta mulai terjadinya hukum sebagai panglima kekuasaan (machtstaat) kita rasakan 4 tahun belakangan ini. Ungkapan kritis dari kalangan ulama dan aktifis terhadap kekuasaan Jokowi berakhir menjadi kasus hukum, bahkan masuk bui.
Sementara pelecehan terang-terangan terhadap ulama kritis yang dilakukan kelompok loyalis kekuasaan, ketika mendapatkan pengaduan laporan hukum yang sama, maka hukum ibarat lembaran kertas jatuh di lautan…
Kasus terakhir menimpa Habib Bahar b Smith. Sosok ulama muda yang dikenal kritis terhadap pemerintahan Jokowi.
Dan lagi-lagi, seperti yang terjadi pada kasus hukum lainnya, pihak yang mengajukan laporan hukum dikenali di masyarakat sebagai kelompok loyalis kekuasaan Jokowi, yaitu Cyber Indonesia (kebanyakan pengurus dan caleg PSI).
Cuma kali ini, pihak pelapor untuk kasus Habib Bahar disamping Cyber Indonesia, juga ada nama Jokowi Mania.
Berdasarkan laporan dua nama dari loyalis kekuasaan itu, Habib Bahar dituding telah menebar ujaran kebencian lantaran menghina Presiden Joko Widodo dengan sebutan 'banci' dalam ceramahnya di Palembang, Sumatera Selatan.
Di sini, persoalan hukum tebang pilih kembali dirasakan sebagai runtuhnya asas keadilan hukum. Habib Bahar bin Smith langsung ditetapkan sebagai tersangka..
Timbul pertanyaan dari masyarakat, bagaimana kasus Habib Bahar b Smith bila dibandingkan anak muda, anak dari orang tua konglomerat yang mengancam membunuh dan menggantung Jokowi, dan akhirnya tidak diproses hukum itu?
Awan hitam machtstaat kembali menyelimuti negeri ke arah yang berbahaya. Awan hitam machstaat yang ditolak negeri-negeri beradab dan hanya dilakukan pada pemerintahan otoriter, wajib kita tolak dan lawan. Ini demi kehormatan kita sebagai bangsa yang menjunjung asas rechtstaat atau negara hukum.
Pakar hukum sekaligus Guru Besar Hukum universitas Trisakti, Prof. Dr. Andi Hamzah, ketika diwawancara wartawan Republika.com memberikan pernyataan tegas, bahwa Habib Bahar bin Smith tidak bisa dikenakan pasal penghinaan presiden.
Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 sudah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Prof Andi Hamzah, ketentuan penghinaan presiden dan wakil presiden yang dibatalkan oleh MK termuat dalam Pasal 134, 136, dan 137 KUHP. Pascaputusan ini, delik pidana penghinaan presiden tidak berlaku.
Dengan demikian, jika nantinya kepolisian memutuskan meningkatkan kasus ini ke penyidikan maka Habib Bahar hanya bisa dijerat dengan pasal penghinaan biasa, yakni Pasal 310 KUHP. (Republika.co.id, Rabu 5/12/2018).
Pernyataan Prof. Dr. Andi Hamzah di atas memberikan bukti terang benderang bahwa keadilan hukum memiliki kekuatan nilai yang tidak bisa dipatahkan. Keadilan hukum itu keniscayaan. Siapa yang mengingkarinya dalam sejarah peradaban manusia, pasti akan hancur berkeping-keping.
Abdullah Uwais Alatas
#5Sila_SILABNA
Faktakini.com
Habib Bahar bin Smith Dalam Jeratan Machtstaat
Oleh : Abdullah Uwais Alatas
Satu hal paling memprihatinkan di era pemerintahan Jokowi saat ini adalah hukum tebang pilih. Keadilan hukum telah menjadi persoalan tabu saat ini. Hukum menjadi milik penguasa. Bukan lagi menjadi panglima bernegara dan berbangsa seperti yang menjadi landasan utama konstitusi negara Republik Indonesia bahwa negara dan bangsa Indonesia berdiri dengan menganut asas hukum utama Rechtstaat, bukan Machtstaat.
Fakta mulai terjadinya hukum sebagai panglima kekuasaan (machtstaat) kita rasakan 4 tahun belakangan ini. Ungkapan kritis dari kalangan ulama dan aktifis terhadap kekuasaan Jokowi berakhir menjadi kasus hukum, bahkan masuk bui.
Sementara pelecehan terang-terangan terhadap ulama kritis yang dilakukan kelompok loyalis kekuasaan, ketika mendapatkan pengaduan laporan hukum yang sama, maka hukum ibarat lembaran kertas jatuh di lautan…
Kasus terakhir menimpa Habib Bahar b Smith. Sosok ulama muda yang dikenal kritis terhadap pemerintahan Jokowi.
Dan lagi-lagi, seperti yang terjadi pada kasus hukum lainnya, pihak yang mengajukan laporan hukum dikenali di masyarakat sebagai kelompok loyalis kekuasaan Jokowi, yaitu Cyber Indonesia (kebanyakan pengurus dan caleg PSI).
Cuma kali ini, pihak pelapor untuk kasus Habib Bahar disamping Cyber Indonesia, juga ada nama Jokowi Mania.
Berdasarkan laporan dua nama dari loyalis kekuasaan itu, Habib Bahar dituding telah menebar ujaran kebencian lantaran menghina Presiden Joko Widodo dengan sebutan 'banci' dalam ceramahnya di Palembang, Sumatera Selatan.
Di sini, persoalan hukum tebang pilih kembali dirasakan sebagai runtuhnya asas keadilan hukum. Habib Bahar bin Smith langsung ditetapkan sebagai tersangka..
Timbul pertanyaan dari masyarakat, bagaimana kasus Habib Bahar b Smith bila dibandingkan anak muda, anak dari orang tua konglomerat yang mengancam membunuh dan menggantung Jokowi, dan akhirnya tidak diproses hukum itu?
Awan hitam machtstaat kembali menyelimuti negeri ke arah yang berbahaya. Awan hitam machstaat yang ditolak negeri-negeri beradab dan hanya dilakukan pada pemerintahan otoriter, wajib kita tolak dan lawan. Ini demi kehormatan kita sebagai bangsa yang menjunjung asas rechtstaat atau negara hukum.
Pakar hukum sekaligus Guru Besar Hukum universitas Trisakti, Prof. Dr. Andi Hamzah, ketika diwawancara wartawan Republika.com memberikan pernyataan tegas, bahwa Habib Bahar bin Smith tidak bisa dikenakan pasal penghinaan presiden.
Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 sudah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Prof Andi Hamzah, ketentuan penghinaan presiden dan wakil presiden yang dibatalkan oleh MK termuat dalam Pasal 134, 136, dan 137 KUHP. Pascaputusan ini, delik pidana penghinaan presiden tidak berlaku.
Dengan demikian, jika nantinya kepolisian memutuskan meningkatkan kasus ini ke penyidikan maka Habib Bahar hanya bisa dijerat dengan pasal penghinaan biasa, yakni Pasal 310 KUHP. (Republika.co.id, Rabu 5/12/2018).
Pernyataan Prof. Dr. Andi Hamzah di atas memberikan bukti terang benderang bahwa keadilan hukum memiliki kekuatan nilai yang tidak bisa dipatahkan. Keadilan hukum itu keniscayaan. Siapa yang mengingkarinya dalam sejarah peradaban manusia, pasti akan hancur berkeping-keping.
Abdullah Uwais Alatas
#5Sila_SILABNA