OPM Papua Takut Prabowo, Ketika Prabowo Memburu OPM Dan Bebaskan Sandera Di Mapenduma

Rabu, 5 Desember 2018

Faktakini.com, Jakarta - Perjalanan 26 orang yang terlibat dalam Ekspedisi Lorentz '95 berakhir di Mapenduma, sebuah desa yang terletak 160 km di sebelah barat daya Wamena. Di sana, mereka disandera oleh para serdadu yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Pada 8 Januari 1996, sebuah laporan masuk ke Kodim Jayawijaya, Irian Jaya. Laporan yang dikirimkan oleh Aviation Fellowship Wamena itu berisi informasi tentang penyanderaan para peneliti Ekspedisi Lorentz '95 oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) kelompok Kelly Kwalik di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jayawijaya. Laporan tersebut kemudian menjadi awal dari episode panjang 129 hari penyanderaan di tengah belantara hutan Papua.

Menanggapi laporan perihal penyanderaan itu, Kodim Jayawijaya lalu melapor kepada Kodam Trikora.

Menurut laporan itu, seorang bayi berusia enam bulan turut dalam rombongan sandera. Dari 26 sandera, tujuh orang di antaranya adalah warga negara asing. Empat orang Inggris, dua Belanda dan seorang warga negara Jerman.

Kodam Trikora pun mengirim pasukan gabungan ke lokasi penyanderaan, disusul pasukan Kopassus yang tiba belakangan. Pada 13 Januari 1996, sembilan sandera dibebaskan di Desa Jigi, Kecamatan Tiom. Mereka terdiri dari empat karyawan puskesmas, tiga aparat desa dan dua guru sekolah dasar di Mapenduma.

Selain pembebasan sembilan sandera, hari itu juga jadi hari pertama para penyandera membuka komunikasi. Lewat radio komunikasi lapangan (SSB), para penyandera melakukan pembicaraan dengan Uskup Munninghoff, anggota Keuskupan Jayapura. Kepada Munninghoff, mereka meminta helikopter dan menyampaikan keinginan untuk dipertemukan dengan tokoh agama.

Menjawab permintaan para penyandera, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mengirim dua helikopter berisi obat-obatan dan tiga tokoh agama. Upaya mediasi pun dilakukan oleh Paul Bourkat --yang merupakan Ketua Missionaris-- dan dua anggotanya, Andreas van der Boel dan Uhuwanus Gobay.

Hari itu, mediasi berhasil membawa pulang Frank Momberg, warga Jerman anggota WWF. Para penyandera sengaja membebaskan Momberg untuk menjadi penyampai pesan, mewakili lidah para penyandera. Dari Momberg, diketahui kemudian bahwa seorang peneliti dari UNESCO, Martha Klein tengah hamil.

Di hari lainnya, penyandera kembali membebaskan dua orang sandera, Ola Yakobus Mindipa bersama sang bayi. Ola merupakan istri dari Jakobus, pendamping para peneliti di Mapenduma. Sebagai imbalan dari pembebasan Ola dan bayinya, penyandera meminta dikirimkan makanan dan obat-obatan.

Merasa negosiasi berjalan meski perlahan, ABRI terus mengupayakan upaya persuasif. Beberapa hari setelah pembebasan Ola dan bayinya, ABRI mengirimkan 10 helai selimut, berbungkus-bungkus rokok dan mie instan. ABRI tak mau gegabah, mereka ingin mediasi terus berjalan tanpa kontak senjata.

Penyanderaan yang Berhasil "Menyandera" Perhatian Dunia Internasional

Tanggal 19 Januari 1996, PBB mulai melibatkan diri. Aksi penyanderaan yang dilakukan OPM berhasil mencuri perhatian lembaga perserikatan tertinggi bangsa-bangsa di dunia. Kepada para penyandera, Sekjen PBB ketika itu, Boutros Boutros Ghali meminta agar para sandera segera dibebaskan. Pada hari yang sama, ABRI mengirim Paul Bourkat dan Andrian van der Boel untuk kembali melakukan mediasi.

Dalam mediasi itu, Paul dan Andrian disebut-sebut berhasil berbicara dengan Daniel Koyoga, komandan operasi yang berada di bawah komando langsung Kelly Kwalik. Hasilnya, pada malam hari pukul 20.00 waktu setempat, ABRI menyatakan rencana pembebasan sandera secara damai melalui perantara.

Dalam masa penyanderaan itu, sebuah sumber sipil menyebut bahwa para warga negara asing yang menjadi sandera berhasil berkirim surat dengan negara asal mereka melalui kedutaan besar masing-masing. Surat-surat tak bersampul itu konon dibawa oleh Frank Momberg. Isinya, para sandera meminta ABRI untuk tidak bertindak gegabah.

Belakangan, dari surat itu diketahui bahwa Inggris, Belanda dan Jerman juga tengah melakukan upaya pembebasan warga negara mereka masing-masing. Bahkan, kantor berita Reuters mengungkap adanya tiga orang detektif Inggris yang berasal dari Scotland Yard di Irian Jaya. Kapuspen ABRI ketika itu mengaku tak tahu menahu perihal keberadaan ketiga detektif itu. Bagi ABRI, Inggris boleh saja berpartisipasi dalam upaya pembebasan sandera, asalkan mereka tetap menghargai kedaulatan Indonesia.

Bukan hanya otoritas resmi. Keluarga sandera asal Inggris pun ikut bersuara. Lewat BBC Indonesia di London, mereka meminta kepada para penyandera untuk membebaskan anggota keluarga mereka. Terkait itu, Kodam Trikora menginformasikan bahwa otoritas di Indonesia tengah melakukan pendinginan, termasuk dalam hal pemberitaan di media massa.

Pada 7 Februari 1996, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengirimkan sebuah tim untuk membantu upaya pembebasan sandera. Saat itu, dilaporkan bahwa lokasi penyanderaan telah berpindah, dari Mapenduma ke Geselama, desa lain di Kecamatan Tiom. Mediasi berbuah manis. ICRC berhasil menemui Kogoya di lokasi penyanderaan. Pertemuan ini menjadi pertemuan yang pertama sejak Kogoya dan Kwalik memutuskan hubungan mediasi dengan ABRI pada 25 Januari 1996. Titik terang mediasi kembali menyala.

Dalam pertemuan itu, ICRC meminta pembebasan sandera dengan damai dilakukan pada 25 Februari 1996. Namun, permintaan itu ditolak oleh Kogoya. Ia mengatakan, pembebasan tak dapat dilakukan tanpa izin dari pimpinan OPM di Papua Nugini.

Mediasi antara ICRC dan para penyandera terus berjalan. Perlahan, pasang dan surut, pembebasan para sandera terus diupayakan. Kogoya sempat menitipkan sebuah roll film berisikan foto-foto kondisi para sandera. Selain itu, para penyandera juga meminta agar pembebasan sandera nantinya dihadiri oleh perwakilan negara masing-masing sandera dan diabadikan dalam sebuah video.

Pasang Surut Mediasi dan Keterlibatan Paus Paulus II

Upaya mediasi mulai terasa tawar. Pada 26 Februari 1996, sebuah informasi menyebut bahwa para sandera ditempatkan di dalam sebuah gua dijuluki "gua kelelawar". Menurut informasi, gua kelelawar berada di ketinggian tujuh meter dan hanya bisa dijangkau lewat titian anak tangga.

Pada 29 Februari 1996, para ICRC berhasil menemui para sandera di sebuah gubuk di Desa Geselama. Pada pertemuan ini, Kogoya mengirimkan pesan kepada Tim Satgas bahwa pihaknya baru akan mempertimbangkan kemungkinan pembebasan sandera setelah berkomunikasi dengan pimpinan OPM di Papua Nugini. Selang beberapa hari kemudian, Kogoya dan Kwalik mengeluarkan pernyataan lebih keras. Mereka menyatakan tak akan membebaskan para sandera, kecuali pemerintah mengakui kemerdekaan Republik Papua Barat.

Selanjutnya, pada 4 Maret 1996, Moses Weror, pemimpin dewan revolusi OPM mengumumkan bahwa pemimpin umat Katolik sedunia Paus Johanes Paulus II telah mengirimkan surat kepada Kelly Kwalik dan Kogoya. Paus, melalui suratnya meminta agar para sandera segera dibebaskan. Esokan harinya, Moses menyatakan keinginan untuk bernegosiasi dengan pemerintah. Sejumlah nama disebut oleh Moses, mulai dari Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR/DPR, Wahono dan Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Moses ingin nama-nama tersebut dihadirkan dalam negosiasi nantinya.

Pada upaya mediasi kali itu, Moses menyebut batas waktu pembebasan sandera adalah bulan September 1996, berbarengan dengan Sidang Majelis Umum PBB. Moses mengatakan, negosiasi ini akan menjadi negosiasi pamungkas yang menentukan nasib para sandera.

Setelah pertemuan dua hari dengan ICRD di Port Moresby, Papua Nugini, Moses memerintahkan Kwalik dan Kogoya untuk membebaskan para sandera. Moses beralasan, penyanderaan yang telah berlangsung lama telah berhasil menyita perhatian dunia internasional. Selain itu, Moses merasa puas lantaran ICRC berjanji akan membuka perwakilan di Irian Jaya.

Namun celaka bagi berbagai soal tentang negosiasi dan mediasi itu. Simon Allom, juru bicara Kogoya dan Kwalik menyatakan tak akan menuruti perintah Moses. Mereka bahkan menyatakan akan membunuh para sandera apabila tuntutan-tuntutan mereka --termasuk melibatkan empat tokoh OPM dalam negosiasi-- tak dipenuhi.

Insiden Terbunuhnya 16 Orang di Pucuk Senjata Otomatis Letda Sanurip

Tanggal 16 Maret 1996, seorang sandera, Abraham Wanggai dibebaskan. Pasca pembebasan Abraham, sebuah kabar mengejutkan diberitakan. Hampir satu bulan sejak pembebasan Abraham, tepatnya 15 April 1996, Letda Sanurip yang bertugas dalam operasi pembebasan sandera di Mapenduma menembak mati 16 orang. Tiga perwira Kopassus, delapan pasukan Kostrad serta lima warga sipil tewas diberondong senjata otomatis sang letnan.

Berbagai versi menyebut alasan dibalik penembakan yang dilakukan Letda Sanurip, mulai dari dirinya yang terjangkit malaria, stres hingga sakit hati pribadi. Entah apa alasan yang sebenarnya. Yang jelas, atas insiden itu, Letda Sanurip dijatuhi hukuman mati pada 23 April 1997.

Pada pekan kedua bulan Mei 1996, ICRC menyatakan mengundurkan diri dari agenda mediasi. Mereka mengaku tak dapat lagi bersikap netral. Sementara itu, salah satu helikopter yang mengawal tim ICRC dikabarkan jatuh setelah mengalami rusak mesin. Semua yang berada di heli itu tewas.

Dimulainya Operasi Mapenduma Akhiri Mediasi Alot Berbulan-bulan

Setelah pasang surut mediasi yang dilakukan selama berbulan-bulan, pemerintah Indonesia memutuskan untuk bersikap tegas. Dengan izin dari otoritas tertinggi di Jakarta serta persetujuan dari Inggris, Belanda dan Jerman --sebagai negara yang terlibat dalam proses negosiasi, dikirimlah delapan helikopter jenis Bell 412 dan Bolco 105 milik Dinas Penerbang AD.

Di dalam heli, Brigjen Prabowo Subianto yang ketika itu menjabat Komandan Kopassus memimpin pasukan pemukul berbaret merah.

Dalam upaya penyerbuan yang pertama, pasukan pemukul gagal menemukan gerombolan yang dituju --para sandera dan penyandera. Satuan pemburu jejak yang telah menguntit pergerakan gerombolan selama berbulan-bulan mau tak mau harus mempertajam penciuman mereka. Mereka kemudian berhasil menemukan keberadaan gerombolan dengan bantuan pesawat tanpa awak (RPVs) yang dilengkapi pemindai termal yang disewa dari Singapura.

"Sekarang ini tim sedang melakukan pengejaran GPK untuk memburu anggota GPK," kata Kasum ABRI Letjen Soeyono ketika itu.

Episode 129 hari penyanderaan itu diakhiri. Satu unit pemukul yang terdiri dari sembilan anggota Kopassus berhasil menghimpit gerombolan. Dari upaya ini, Kopassus berhasil menyelamatkan sembilan dari 11 sandera. Dua orang sandera lainnya, yakni Navy Panekenan dan Yosias Mathias Lasamuhu tewas dibacok OPM. Dari pihak OPM, delapan orang tewas dalam pertempuran jarak dekat, sedang dua lagi ditahan.

Operasi ini dirancang begitu matang. Dengan melibatkan kesatuan Marinir, Batalion 330 Kostrad dan Batalion Organik Kodam VIII Trikora sebagai pasukan penyekat. Pasukan ini stand by di titik-titik yang sudah ditentukan oleh geolog Wanadri, Tedy Kardin. Operasi pembebasan ini didukung oleh total 400 personel gabungan. Dari jumlah tersebut, lima orang tentara gugur akibat jatuhnya helikopter saat penyerbuan.

"Ini operasi gabungan yang melibatkan banyak kesatuan," ujar Prabowo.

Sumber: Okezone