Paris Rusuh, Pemerintah Akhirnya Tunda Kenaikan Harga BBM Diesel

Rabu, 5 Desember 2018

Faktakini.com, Jakarta -
Prancis menunda kenaikan harga bahan bakar diesel yang menjadi pemicu protes.

Kenaikan pajak terhadap diesel digagas Presiden Emmanuel Macron sebagai langkah perlindungan terhadap lingkungan hidup, namun dianggap memberatkan.

Sebelumnya, pertemuan kelompok moderat 'Rompi Kuning' dengan Perdana Menteri Prancis dibatalkan setelah adanya 'ancaman mati' dari para pegiat radikal, sementara seorang perempuan tewas terkena tabung gas air mata yang terlontar ke apartemennya.
Pertemuan kalangan moderat 'gilet jaunes' atau rompi kuning dengan PM Edouard Philippe berlangsung Selasa (4/12) ini.
Namun sejumlah anggota tim perunding ini mengatakan mereka mendapat ancaman pembunuhan dari kalangan pengunjuk rasa garis keras, menuntut mereka untuk tidak melakukan perundingan dengan pemerintah.

Paris rusuh protes BBM, ratusan pelaku 'akan diadili lewat jalur cepat'

Bentrokan di Paris: 'Protes warga Prancis bukan hanya soal harga BBM'

Mengapa orang Prancis tidak menunjukkan rasa semangat

Sabtu (01/12) lalu, seorang perempuan berusia 80 tahun meninggal akibat hantaman tabung gas air mata yang terlontar ke jendela apartemennya di kota Marseille, tidak jauh dari lokasi bentrokan antara aparat kepolisian dan para pengunjuk rasa.

Sementara, kalangan pengemudi ambulans swasta di Prancis turut bergabung dalam protes menentang pemerintah sejak Senin lalu. Mereka antara lain memblokir salah satu jalan bundaran di Paris di dekat gedung parlemen.

Sejumlah pemrotes menutup jalan di kawasan selatan Prancis, menolak kebijakan pemerintah terkait BBM.

Bentrokan antara ribuan pengunjuk rasa dan pasukan kepolisian di Paris, Prancis, dan bergulir di beberapa kota besar lainnya, diawali demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak, khususnya diesel.

Presiden Emmanuel Macron mendasarkan kebijakannya pada niat untuk membatasi penggunaan diesel demi lingkungan yang lebih bersih.
Namun kekisruhan itu dinilai juga dipicu isu lain seperti pajak dan biaya hidup masyarakat yang terus meningkat.

Tewasnya perempuan manula di Marseille menambah jumlah korban setelah sebelumnya tiga orang meninggal sejak unjukrasa itu digelar dua pekan lalu, kata kepolisian Prancis.

Kementrian dalam negeri Prancis mengatakan sekitar 136.000 orang yang melibatkan diri dalam unjuk rasa pada Minggu lalu, yang menyebut sebagai Gerakan Rompi Kuning.

Polisi Prancis mengusir pengunjuk rasa di sudut kota Lyon, Prancis, dengan menggunakan gas air mata, 3 Desember 2018.

Membuat rugi warga di desa dan kota kecil

Kenaikan pajak BBM seberapapun itu menyulitkan warga terutama yang tinggal di desa dan kota kecil, kata pengamat sosial politik Pranois, Francois Raillon.

"Mereka yang marah berada di pedalaman perancis, tinggal di kampung atau kota kecil, di mana jasa umum tak ada sehingga mereka harus pakai mobil sendiri, untuk menikmati dinas pemerintah yang jaraknya agak jauh, sehingga perlu ongkos tinggi untuk pergi ke tempat yang melayani keperluan mereka," kata Raillon kepada BBC News Indonesia.

"Untuk bekerja pun mereka tinggal di kampung tapi tiap hari harus pergi ke kota terdekat untuk bekerja, dengan ongkos yang sangat tinggi. Dari dulu mereka begitu sehingga mobil menentukan, jadi BBM menjadi beban yang berat bagi mereka," kata Raillon.
Bagi mereka yang tinggal di kota besar, penggunaan kendaraan berkurang karena adanya transportasi umum seperti kereta dan bus.

"Contohnya Paris, orang tak punya mobil karena fasiltias transportasi umum lancar. Naik sepeda, bisa saja, sedangkan kota kecil dan kampung tak menikmati transportasi umum. Ada bus, tapi tak ada kereta, jadi jarak 20- 30 km harus pakai mobil, padahal pendapatan orang kampung rendah," katanya lagi.

Disebut sebagai gerakan 'gilets jaunes' atau rompi kuning karena mereka mengenakan rompi kuning cerah, yang merupakan bagian dari kelengkapan wajib setiap mobil dalam peraturan Prancis .

Wali Kota Paris, Anne Hidalgo, mengatakan kepada media Prancis bahwa kerusuhan di Paris, Sabtu lalu, diperkirakankan telah menimbulkan kerusakan dengan nilai antara €3-4 juta (sekitar Rp50-65 miliar).
Hari Senin (3/12), juru bicara gerakan "rompi kuning", Christophe Chalençon, menyerukan agar para pejabat pemerintah mengundurkan diri, untuk digantikan oleh "seorang komandan sejati, seperti Jenderal de Villiers".
Jenderal Pierre de Villiers adalah mantan kepala Angkatan Bersenjata Prancis yang mengundurkan diri setelah menolak keputusan Presiden Emmanuel Macron yang melakukan pemotongan anggaran.

Bagaimana tanggapan pemerintah Prancis?

Presiden Prancis Emmanuel Macron menggelar rapat darurat kabinet untuk membahas masalah keamanan, sementara Perdana Menteri Edouard Philippe menemui para pemimpin oposisi pada hari Senin.

Pemimpin sayap kanan, Marine Le Pen, yang berada dalam pertemuan itu, memperingatkan bahwa Macron bisa menjadi presiden pertama negara itu yang memberi perintah tembak kepada pengunjuk rasa dalam 50 tahun terakhir.

Presiden Prancis Emmanuel Macron (tengah) didampingi para menteri terkait mendatangi sejumlah jalan di kota Paris setelah kerusuhan melanda kawasan itu, 2 Desember 2018.

Le Pen mengatakan pemerintah Macron harus mencabut kebijakan kenaikan BBM, menurunkan harga gas dan listrik, serta mencabut pembekuan upah minimum dan pensiun minimum.

Sementara, Menteri Keuangan Bruno Le Maire bertemu dengan perwakilan bisnis untuk membahas dampak unjuk rasa terhadap ekonomi negara itu.
"Dampaknya parah sekali dan terus dirasakan sampai sekarang," kata Le Maire kepada Kantor berita AFP.

Negara membunuhku': poster kematian yang dipasang pengunjukrasa di sudut kota Paris, 2 Desember 2018.

Sejumlah pengecer mengaku mengalami penurunan penjualan sekitar 20-40% selama unjuk rasa, sementara beberapa pemilik restoran mengklaim kehilangan keuntungan 20-50% dari pendapatan mereka, tambahnya.
Seorang pengunjuk rasa mengatakan kepada Kantor berita Reuters: "(Reformasi) akan menghantam kami secara finansial dan menghancurkan perusahaan kami. Kami harus memecat pekerja, itu pasti."

Apakah unjuk rasa akan berakhir?

Unjuk rasa masih terus berlangsung hingga hari Senin.

Sekitar 50 orang anggota "rompi kuning" sempat memblokir akses ke depot bahan bakar besar di pelabuhan Fos-sur-Mer, di dekat kota Marseille, sehingga dikhawatirkan berdampak peda penyaluran BBM di wilayah itu.
Sementara itu, sejumlah siswa dari sekitar 100 sekolah menengah di seluruh negeri menggelar unjuk rasa menentang reformasi pendidikan dan ujian.

Belum jelas apakah kelompok siswa dan pekerja kesehatan itu bagian dari unjuk rasa gerakan "rompi kuning".

Sumber: BBC News Indonesia