PDS Tak Dipercaya Rakyat Hanya Raih 1,48 % Suara, Partai Kristen Di Indonesia Mati Suri
Senin, 24 Desember 2018
Faktakini.com, Jakarta - Hari Rabu, 17 April 2019, sebanyak 16 partai politik dijadwalkan bertarung memperebutkan kursi legislatif di DPR RI 2019-2024.
Dari 16 partai itu, sebelas merupakan partai nasionalis dan lima lainnya lebih kental dengan nuansa agamis.
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang, dan Partai Amanat Nasional. Kelimanya bercorak Islam, dan memperebutkan 220 juta lebih penduduk muslim Indonesia―terbanyak di dunia dalam satu negara.
Tak ada partai bernuansa Kristiani di sana. Padahal, dulu partai Kristen punya sepak terjang cukup baik dalam pemilu dan politik Indonesia.
Pada masa Orde Lama, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik sempat meramaikan Pemilu 1955.
Masuk ke Era Reformasi, Partai Damai Sejahtera pernah menyumbang 13 wakilnya di DPR RI dan membentuk satu fraksi yang mandiri.
Semasa berada di parlemen tahun 2004 sampai 2009, PDS tak bisa dikatakan nirprestasi. Ia mengupayakan sejumlah hal yang bertujuan mengokohkan pondasi pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Ini, tentu saja, melengkapi upaya mereka memastikan kepentingan umat Nasrani Indonesia tercapai terlebih dahulu.
Denny Tewu, salah seorang pendiri sekaligus Ketua Umum PDS 2010-2015, mengklaim PDS telah berhasil mewarnai perpolitikan Indonesia.
“Misalnya, anggaran buat bimas (bimbingan masyarakat). Itu kan cukup besar, Rp 80 triliun per tahun. Tapi kenapa untuk Kristen dan bimas agama lain cuma Rp 5 miliar?” tutur Denny.
Menurutnya, kehadiran PDS yang tak cuma diisi caleg Kristen namun juga pemeluk agama minoritas lain, berhasil mengubah ketimpangan itu.
“‘Kita ini sama-sama lho di negara ini, jangan terlalu njomplang proporsinya.’ Kita perjuangkan. Itu kenaikannya sampai 1.000 persen,” ujar Denny kepada kumparan, Sabtu (22/12).
Itu belum termasuk kegetolan penolakan PDS terhadap sederet Rancangan UU yang tak bersifat universal serta mengancam kepentingan minoritas dan umat Nasrani.
Selain perannya dalam politik substansi, PDS juga punya pengaruh ke hal-hal yang lebih subtil. Misalnya, penggunaan salam “shalom” dalam acara kenegaraan, perayaan Natal di DPR, hingga jadwal rapat pansus DPR yang tak lagi dilaksanakan pada hari Minggu―waktu kebanyakan umat Kristen beribadah.
“Waktu kami (PDS) ada sih, mereka hormati itu. Tapi sesudah itu jalan lagi hari Minggu,” kata Denny, disertai tawa pendek.
Maka, yang menjadi pertanyaan: mengapa PDS dan partai Kristen lain―partai dengan misi jelas dan basis massa kuat―ditinggalkan pendukungnya dalam Pemilu 2009? Mengapa pula pada Pemilu 2014, partai-partai ini tak lolos persyaratan sehingga absen dari pemilu legislatif di tahun tersebut?
Jawabannya tak sesederhana “karena populasi Kristen di Indonesia cuma sedikit.”
Aturan atau Larangan?
Partai Damai Sejahtera terbentuk pada 28 Oktober 2001 sebagai partai berasaskan Pancasila yang bertujuan menjadi saluran aspirasi politik umat Kristen di Indonesia.
Sampai saat ini, PDS masih menjadi partai Kristen satu-satunya di Era Reformasi yang mampu masuk ke dalam jajaran legislator DPR RI usai meraih 2,14 persen suara di Pemilu Legislatif 2004.
Sayangnya, kesuksesan PDS masuk Senayan tahun 2004 tak mampu mereka ulangi pada pemilu-pemilu setelahnya. Pada 2009, pendapatan suara mereka ambyar dan tak memenuhi ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen suara sah.
PDS hanya mampu meraih 1.541.592 (1,48 persen) suara saja, turun hampir 1 juta suara dari pemilu lima tahun sebelumnya.
Sementara, suara Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI, partai Kristen selain PDS) justru lebih buruk. Mereka cuma mampu mengumpulkan 0,31 persen suara sah.
Nasib PDS pada 2014 lebih nahas lagi. Sempat lolos verifikasi awal beserta 24 partai lainnya, PDS tak lolos seleksi kedua yaitu verifikasi administrasi. Untuk mengikuti Pileg 2014, parpol yang tidak memenuhi ambang batas pada pemilu sebelumnya diwajibkan memenuhi beberapa syarat, seperti:
Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
Memiliki kepengurusan di 75 persen kabupaten/kota;
Memiliki kepengurusan di 50 persen kecamatan;
Menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan;
Memiliki anggota minimal 1.000 atau 1/1000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota;
Memiliki kantor partai hingga tingkat kabupaten, dan lain-lain.
Sahrianta Tarigan, mantan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PDS DKI Jakarta yang kini menjadi caleg Perindo, mengatakan perubahan UU Pemilu setiap menjelang pemilu menjadi kartu mati PDS dan partai-partai kecil lainnya untuk turut serta ke dalam pemilu legislatif.
“Sampel 1.000 orang per kabupaten/kota tidak memenuhi syarat. Ya nggak bisa lolos,” kata Sahrianta saat ditemui di Kantor DPW Perindo di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/12). “Soal kantor, memang di daerah-daerah PDS itu enggak ada kantornya.”
Kesulitan memenuhi persyaratan administrasi diakui pula oleh Denny Tewu. Ia menilai, aturan KPU tersebut lebih banyak mengandung mudarat ketimbang manfaat bagi demokrasi di Indonesia.
“Seperti di Aceh, menjadi anggota PDS bisa dianggap murtad. Padahal jadi anggota aja. Umpamanya pasang logo partai kami di sana, sudah langsung dilempari batu rumahnya,” cerita calon anggota DPD dari daerah pemilihan Sulawesi Utara itu.
“Ya sudah, kami mundur teratur, ikuti saja mekanismenya,” ujar Denny.
Setali Tiga Uang
Johanes, pemeluk Kristen taat berusia 25 tahun, menjawab ketus ketika ditanya soal eksistensi partai Kristen. Ia mengatakan tak akan memilih partai tersebut sekalipun mereka lolos sebagai peserta Pemilu Legislatif 2019 nanti.
“Ya ngapain? Orang sama aja,” ujarnya.
Tentu, tak semua umat Nasrani di Indonesia seperti Johanes. Di banyak gereja di Indonesia, kebutuhan umat terhadap partai Kristen yang mampu menjadi saluran aspirasi mereka, tak pernah benar-benar redup. Jerry Sumampouw, mantan Kepala Humas Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), mendengarnya langsung dari berbagai lapisan umat Kristen.
“Kerinduan akan adanya partai Kristen itu tinggi,” ujar Jerry kepada kumparan, Kamis (20/12), di Gedung PGI Oikumene, Salemba, Jakarta Pusat.
Meski begitu, menurut Jerry, permintaan tinggi di level masyarakat bukan jaminan partai Kristen akan mendapat dukungan manunggal dari masyarakat Kristen di Indonesia.
“Di ballik keinginan itu, ada harapan yang berbeda, karena mereka ingin melihat perubahan. Misal diskriminasi tidak ada lagi, korupsi tidak ada lagi, money politic tidak ada lagi.”
Hal-hal inilah, menurut Jerry, yang membuat PDS gagal meraup cukup suara di Pileg 2009. Politisi PDS yang berhasil masuk parlemen pada kurun waktu 2004-2009 dinilai tak cukup berprestasi.
“Saat itu PDS tidak bisa menampilkan diri sebagai partai yang berbeda. PDS juga gagal mengapresiasi kepentingan-kepentingan umat Kristen,” kata Jerry yang juga pengamat politik sekaligus Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI).
Misal, imbuhya, “Mau jadi calon kepala daerah harus bayar. Dia (PDS) menjadi sama dengan partai lain. Akhirnya orang merasa nggak bisa berharap dari partai ini.”
Lebih jauh, partai bernapaskan kekristenan juga sudah kehilangan momentum. Perolehan suara PDS yang minim di 2009 menjadi bukti. Sekalipun lolos pada Pemilu 2014, partai Kristen diragukan banyak pihak akan memenuhi ambang batas parlemen yang saat itu mencapai 3,5 persen suara nasional.
“Pada 2004, PDS masuk ke parlemen itu memang kairos-nya (momentum) Tuhan. Ketika bagi manusia mustahil, bagi Tuhan dan orang yang percaya, yang mustahil itu menjadi mungkin,” tutur Rimhot Turnip yang dulu menjabat wakil ketua Dewan Pimpinan Wilayah PDS DKI Jakarta.
“Saluran aspirasi politik ada. Umat Kristen merasa mendapat air di padang gurun (lewat PDS),” kata Rimhot saat bertemu kumparan.
Denny juga setuju bahwa konteks dan situasi-kondisi politik Indonesia yang membuat PDS masuk parlemen pada 2004 merupakan kairos yang amat sulit direplikasi. “Waktu itu kan isunya pas. Karena habis reformasi, lalu situasi di mana gereja-gereja lalu orang Kristen juga seperti nggak nyaman hidup di Indonesia,” ujarnya.
Denny menyebut, banyaknya ancaman bom ke gereja dan pendeta yang menjadi target menjadi momentum bagi umat Kristiani di Indonesia berharap ke PDS. “Semacam harus ada partai politik yang bisa menyuarakan aspirasi umat Kristen.”
Tak Lagi Gelap, Tak Lagi Hambar
Kini, partai Kristen di Indonesia kerap kali dianggap partai guram semata. PDS, yang punya suara lebih baik dari partai Kristen lain, tak henti-hentinya dilanda permasalahan internal sejak 2009. Kepengurusan resminya baru selesai diperkarakan pertengahan 2017, dengan Tilly Kasenda menjadi ketua umum yang sah sesuai putusan Kemenkumham.
Sementara itu, upaya untuk menyatukan sederet partai Kristen di bawah satu panji partai baru pada 2009 oleh Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo―perpanjangan Partai Kristen Indonesia yang lebur ke PDIP saat fusi partai Orde Baru) berakhir gagal. Masa depan partai Kristen di Indonesia menjadi semakin kabur.
Meski demikian, beberapa politisi Kristen di Indonesia tak khawatir dengan perkembangan partai agama mereka. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Bara Hasibuan, misalnya, menilai tak ada kebutuhan mutlak atas sebuah partai Kristen yang eksklusif.
“Saya nggak setuju dengan partai agama―agama apa pun. Saya nggak setuju dengan adanya partai Islam, juga partai Kristen. Saya konsisten,” ujar Bara Hasibuan yang menjabat Ketua Dewan Pimpinan Pusat PAN Bidang Hubungan Luar Negeri.
“Bagi saya lebih baik orang Kristen ada di mana-mana, mewarnai dan mendorong perubahan.”
Gagasan Bara juga disetujui Denny Tewu. Menurutnya, bukan Kristen sebagai partai yang menjadi penting, tapi nilai-nilai di dalamnya.
“Kan banyak kader kami yang sekarang diaspora, tapi visinya sama. Jadi ada di PDIP, ada di Gerindra, ada di mana-mana. Kami berjuang dengan nilai-nilai yang sama di mana pun kami berada,” kata Denny.
Rahayu Saraswati, Ketua DPP Gerindra Bidang Advokasi Perempuan Partai Gerindra, sependapat.
“Seperti saya yang anggota DPR dari Kristen, kami hadir bukan untuk menyatakan bahwa kami Kristen. Enggak. Kami hadir membawa warna tersendiri, memperjuangkan aspirasi. Jangan sampai ada hal-hal yang menyakiti saudara kita sendiri,” ujar Rahayu.
“Kami betul-betul menjadi garam dan terang,” katanya.
Sumber: Kumparan
Faktakini.com, Jakarta - Hari Rabu, 17 April 2019, sebanyak 16 partai politik dijadwalkan bertarung memperebutkan kursi legislatif di DPR RI 2019-2024.
Dari 16 partai itu, sebelas merupakan partai nasionalis dan lima lainnya lebih kental dengan nuansa agamis.
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang, dan Partai Amanat Nasional. Kelimanya bercorak Islam, dan memperebutkan 220 juta lebih penduduk muslim Indonesia―terbanyak di dunia dalam satu negara.
Tak ada partai bernuansa Kristiani di sana. Padahal, dulu partai Kristen punya sepak terjang cukup baik dalam pemilu dan politik Indonesia.
Pada masa Orde Lama, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik sempat meramaikan Pemilu 1955.
Masuk ke Era Reformasi, Partai Damai Sejahtera pernah menyumbang 13 wakilnya di DPR RI dan membentuk satu fraksi yang mandiri.
Semasa berada di parlemen tahun 2004 sampai 2009, PDS tak bisa dikatakan nirprestasi. Ia mengupayakan sejumlah hal yang bertujuan mengokohkan pondasi pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Ini, tentu saja, melengkapi upaya mereka memastikan kepentingan umat Nasrani Indonesia tercapai terlebih dahulu.
Denny Tewu, salah seorang pendiri sekaligus Ketua Umum PDS 2010-2015, mengklaim PDS telah berhasil mewarnai perpolitikan Indonesia.
“Misalnya, anggaran buat bimas (bimbingan masyarakat). Itu kan cukup besar, Rp 80 triliun per tahun. Tapi kenapa untuk Kristen dan bimas agama lain cuma Rp 5 miliar?” tutur Denny.
Menurutnya, kehadiran PDS yang tak cuma diisi caleg Kristen namun juga pemeluk agama minoritas lain, berhasil mengubah ketimpangan itu.
“‘Kita ini sama-sama lho di negara ini, jangan terlalu njomplang proporsinya.’ Kita perjuangkan. Itu kenaikannya sampai 1.000 persen,” ujar Denny kepada kumparan, Sabtu (22/12).
Itu belum termasuk kegetolan penolakan PDS terhadap sederet Rancangan UU yang tak bersifat universal serta mengancam kepentingan minoritas dan umat Nasrani.
Selain perannya dalam politik substansi, PDS juga punya pengaruh ke hal-hal yang lebih subtil. Misalnya, penggunaan salam “shalom” dalam acara kenegaraan, perayaan Natal di DPR, hingga jadwal rapat pansus DPR yang tak lagi dilaksanakan pada hari Minggu―waktu kebanyakan umat Kristen beribadah.
“Waktu kami (PDS) ada sih, mereka hormati itu. Tapi sesudah itu jalan lagi hari Minggu,” kata Denny, disertai tawa pendek.
Maka, yang menjadi pertanyaan: mengapa PDS dan partai Kristen lain―partai dengan misi jelas dan basis massa kuat―ditinggalkan pendukungnya dalam Pemilu 2009? Mengapa pula pada Pemilu 2014, partai-partai ini tak lolos persyaratan sehingga absen dari pemilu legislatif di tahun tersebut?
Jawabannya tak sesederhana “karena populasi Kristen di Indonesia cuma sedikit.”
Aturan atau Larangan?
Partai Damai Sejahtera terbentuk pada 28 Oktober 2001 sebagai partai berasaskan Pancasila yang bertujuan menjadi saluran aspirasi politik umat Kristen di Indonesia.
Sampai saat ini, PDS masih menjadi partai Kristen satu-satunya di Era Reformasi yang mampu masuk ke dalam jajaran legislator DPR RI usai meraih 2,14 persen suara di Pemilu Legislatif 2004.
Sayangnya, kesuksesan PDS masuk Senayan tahun 2004 tak mampu mereka ulangi pada pemilu-pemilu setelahnya. Pada 2009, pendapatan suara mereka ambyar dan tak memenuhi ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen suara sah.
PDS hanya mampu meraih 1.541.592 (1,48 persen) suara saja, turun hampir 1 juta suara dari pemilu lima tahun sebelumnya.
Sementara, suara Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI, partai Kristen selain PDS) justru lebih buruk. Mereka cuma mampu mengumpulkan 0,31 persen suara sah.
Nasib PDS pada 2014 lebih nahas lagi. Sempat lolos verifikasi awal beserta 24 partai lainnya, PDS tak lolos seleksi kedua yaitu verifikasi administrasi. Untuk mengikuti Pileg 2014, parpol yang tidak memenuhi ambang batas pada pemilu sebelumnya diwajibkan memenuhi beberapa syarat, seperti:
Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
Memiliki kepengurusan di 75 persen kabupaten/kota;
Memiliki kepengurusan di 50 persen kecamatan;
Menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan;
Memiliki anggota minimal 1.000 atau 1/1000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota;
Memiliki kantor partai hingga tingkat kabupaten, dan lain-lain.
Sahrianta Tarigan, mantan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PDS DKI Jakarta yang kini menjadi caleg Perindo, mengatakan perubahan UU Pemilu setiap menjelang pemilu menjadi kartu mati PDS dan partai-partai kecil lainnya untuk turut serta ke dalam pemilu legislatif.
“Sampel 1.000 orang per kabupaten/kota tidak memenuhi syarat. Ya nggak bisa lolos,” kata Sahrianta saat ditemui di Kantor DPW Perindo di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/12). “Soal kantor, memang di daerah-daerah PDS itu enggak ada kantornya.”
Kesulitan memenuhi persyaratan administrasi diakui pula oleh Denny Tewu. Ia menilai, aturan KPU tersebut lebih banyak mengandung mudarat ketimbang manfaat bagi demokrasi di Indonesia.
“Seperti di Aceh, menjadi anggota PDS bisa dianggap murtad. Padahal jadi anggota aja. Umpamanya pasang logo partai kami di sana, sudah langsung dilempari batu rumahnya,” cerita calon anggota DPD dari daerah pemilihan Sulawesi Utara itu.
“Ya sudah, kami mundur teratur, ikuti saja mekanismenya,” ujar Denny.
Setali Tiga Uang
Johanes, pemeluk Kristen taat berusia 25 tahun, menjawab ketus ketika ditanya soal eksistensi partai Kristen. Ia mengatakan tak akan memilih partai tersebut sekalipun mereka lolos sebagai peserta Pemilu Legislatif 2019 nanti.
“Ya ngapain? Orang sama aja,” ujarnya.
Tentu, tak semua umat Nasrani di Indonesia seperti Johanes. Di banyak gereja di Indonesia, kebutuhan umat terhadap partai Kristen yang mampu menjadi saluran aspirasi mereka, tak pernah benar-benar redup. Jerry Sumampouw, mantan Kepala Humas Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), mendengarnya langsung dari berbagai lapisan umat Kristen.
“Kerinduan akan adanya partai Kristen itu tinggi,” ujar Jerry kepada kumparan, Kamis (20/12), di Gedung PGI Oikumene, Salemba, Jakarta Pusat.
Meski begitu, menurut Jerry, permintaan tinggi di level masyarakat bukan jaminan partai Kristen akan mendapat dukungan manunggal dari masyarakat Kristen di Indonesia.
“Di ballik keinginan itu, ada harapan yang berbeda, karena mereka ingin melihat perubahan. Misal diskriminasi tidak ada lagi, korupsi tidak ada lagi, money politic tidak ada lagi.”
Hal-hal inilah, menurut Jerry, yang membuat PDS gagal meraup cukup suara di Pileg 2009. Politisi PDS yang berhasil masuk parlemen pada kurun waktu 2004-2009 dinilai tak cukup berprestasi.
“Saat itu PDS tidak bisa menampilkan diri sebagai partai yang berbeda. PDS juga gagal mengapresiasi kepentingan-kepentingan umat Kristen,” kata Jerry yang juga pengamat politik sekaligus Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI).
Misal, imbuhya, “Mau jadi calon kepala daerah harus bayar. Dia (PDS) menjadi sama dengan partai lain. Akhirnya orang merasa nggak bisa berharap dari partai ini.”
Lebih jauh, partai bernapaskan kekristenan juga sudah kehilangan momentum. Perolehan suara PDS yang minim di 2009 menjadi bukti. Sekalipun lolos pada Pemilu 2014, partai Kristen diragukan banyak pihak akan memenuhi ambang batas parlemen yang saat itu mencapai 3,5 persen suara nasional.
“Pada 2004, PDS masuk ke parlemen itu memang kairos-nya (momentum) Tuhan. Ketika bagi manusia mustahil, bagi Tuhan dan orang yang percaya, yang mustahil itu menjadi mungkin,” tutur Rimhot Turnip yang dulu menjabat wakil ketua Dewan Pimpinan Wilayah PDS DKI Jakarta.
“Saluran aspirasi politik ada. Umat Kristen merasa mendapat air di padang gurun (lewat PDS),” kata Rimhot saat bertemu kumparan.
Denny juga setuju bahwa konteks dan situasi-kondisi politik Indonesia yang membuat PDS masuk parlemen pada 2004 merupakan kairos yang amat sulit direplikasi. “Waktu itu kan isunya pas. Karena habis reformasi, lalu situasi di mana gereja-gereja lalu orang Kristen juga seperti nggak nyaman hidup di Indonesia,” ujarnya.
Denny menyebut, banyaknya ancaman bom ke gereja dan pendeta yang menjadi target menjadi momentum bagi umat Kristiani di Indonesia berharap ke PDS. “Semacam harus ada partai politik yang bisa menyuarakan aspirasi umat Kristen.”
Tak Lagi Gelap, Tak Lagi Hambar
Kini, partai Kristen di Indonesia kerap kali dianggap partai guram semata. PDS, yang punya suara lebih baik dari partai Kristen lain, tak henti-hentinya dilanda permasalahan internal sejak 2009. Kepengurusan resminya baru selesai diperkarakan pertengahan 2017, dengan Tilly Kasenda menjadi ketua umum yang sah sesuai putusan Kemenkumham.
Sementara itu, upaya untuk menyatukan sederet partai Kristen di bawah satu panji partai baru pada 2009 oleh Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo―perpanjangan Partai Kristen Indonesia yang lebur ke PDIP saat fusi partai Orde Baru) berakhir gagal. Masa depan partai Kristen di Indonesia menjadi semakin kabur.
Meski demikian, beberapa politisi Kristen di Indonesia tak khawatir dengan perkembangan partai agama mereka. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Bara Hasibuan, misalnya, menilai tak ada kebutuhan mutlak atas sebuah partai Kristen yang eksklusif.
“Saya nggak setuju dengan partai agama―agama apa pun. Saya nggak setuju dengan adanya partai Islam, juga partai Kristen. Saya konsisten,” ujar Bara Hasibuan yang menjabat Ketua Dewan Pimpinan Pusat PAN Bidang Hubungan Luar Negeri.
“Bagi saya lebih baik orang Kristen ada di mana-mana, mewarnai dan mendorong perubahan.”
Gagasan Bara juga disetujui Denny Tewu. Menurutnya, bukan Kristen sebagai partai yang menjadi penting, tapi nilai-nilai di dalamnya.
“Kan banyak kader kami yang sekarang diaspora, tapi visinya sama. Jadi ada di PDIP, ada di Gerindra, ada di mana-mana. Kami berjuang dengan nilai-nilai yang sama di mana pun kami berada,” kata Denny.
Rahayu Saraswati, Ketua DPP Gerindra Bidang Advokasi Perempuan Partai Gerindra, sependapat.
“Seperti saya yang anggota DPR dari Kristen, kami hadir bukan untuk menyatakan bahwa kami Kristen. Enggak. Kami hadir membawa warna tersendiri, memperjuangkan aspirasi. Jangan sampai ada hal-hal yang menyakiti saudara kita sendiri,” ujar Rahayu.
“Kami betul-betul menjadi garam dan terang,” katanya.
Sumber: Kumparan