Sejarah NU Di Tanah Betawi
Rabu, 12 Desember 2018
Faktakini.com
*NU DI BETAWI*
http://m.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/08/07/nspfog12-nu-di-betawi
http://www.muslimedianews.com/2016/10/guru-marzuki-ulama-betawi-yang-produktif.html?m=1
Berdirinya organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) di tanah Betawi memang unik. Kisah yang saya dengar dari KH Saifuddin Amsir bahwa Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara yang diminta untuk mendirikan NU di Jakarta di tanah Betawi tidak serta-merta menerima permintaan tersebut.
Ia memberikan syarat, jika para perempuan dan santri perempuan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, yang dipimpin Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari tidak menutup auratnya secara benar, sesuai syariat, ia menolak pendirian dan kehadiran NU di tanah Betawi.
Ia kemudian mengutus orang kepercayaannya ke Tebu Ireng untuk melihatnya secara langsung. Dari hasil pengamatan orang kepercayaannya ini ia mendapatkan informasi bahwa para perempuan dan santri perempuan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, menutup auratnya dengan benar, sesuai syariat.
Atas informasi ini, Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara menerima pendirian NU di tanah Betawi dan ia menjadi pendiri dari NU Jakarta.
Permintaan pendirian NU kepada Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara di tanah Betawi langsung dari Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari.
Permintaan kepadanya tentu tidak sembarangan, mempertimbangkan juga pengaruh dan ketokohannya sebagai salah seorang ulama terkemuka di Betawi pada masa itu.
Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara yang merupakan alumnus Makkah dijuluki sebagai "Gurunya Ulama Betawi."
Ia memiliki pondok pesantren yang terkenal di tanah Betawi pada masa itu. Pendidikan yang berkualitas menjadikan para orang tua di Betawi menjadikan pondok pesantrennya sebagai pilihan utama agar anak-anaknya kelak dapat menjadi ulama terkemuka.
Terbukti, murid-murid yang didiknya kemudian banyak yang menjadi ulama Betawi terkemuka. Dalam satu keterangan ada sekitar 41 ulama Betawi terkemuka bahkan lebih.
Di antaranya adalah :
Mu`allim Thabrani Paseban (kakek dari KH Maulana Kamal Yusuf)
KH Abdullah Syafi`i (pendiri perguruan Asy-Syafi’iyyah)
KH Thohir Rohili (pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah)
KH Noer Alie (pahlawan nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi)
KH Achmad Mursyidi (pendiri perguruan Al-Falah)
KH Hasbiyallah (pendiri perguruan Al-Wathoniyah)
KH Ahmad Zayadi Muhajir (pendiri perguruan Az-Ziyadah)
Guru Asmat (Cakung)
KH Mahmud (pendiri Yayasan Perguruan Islam Almamur/Yapima, Bekasi)
KH Muchtar Thabrani (pendiri YPI Annuur, Bekasi)
KH Chalid Damat (pendiri perguruan Al-Khalidiyah), dan KH Ali Syibromalisi (pendiri perguruan Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan, Jakarta).
Dalam buku yang berjudul Catatan Kenangan Ber-NU di Kampung Sendiri: Tinjauan Kritis Terhadap Keberadaan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta yang ditulis oleh Amarullah Asbah (Bang Uwo) dijelaskan bahwa selain Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara, ulama Betawi lainnya yang memiliki kontribusi terhadap NU di tanah Betawi pada masa-masal awal di antaranya adalah Guru Manshur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Madjid Pekojan, dan Guru Amin.
Kontribusi dan posisi guru-guru Betawi tersebut bukan hanya penting pada pendirian dan perjalanan awal NU di tanah Betawi, melainkan juga memiliki fungsi tersendiri bagi sang pendiri NU, Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari, yaitu sebagai tempat berkonsultasi.
Dikisahkan, pada suatu kesempatan, Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari berkunjung ke kediaman Guru Manshur Jembatan Lima di Sawah Lio, Jakarta Barat.
Pada kunjungan tersebut, Hadhratussyaikh menyampaikan keinginannya kepada Guru Manshur Jembatan Lima untuk mundur dari NU.
Namun, Guru Manshur Jembatan Lima menyarankan agar Hadhratussyaikh tidak mundur dari NU, apa pun keadaan dan kondisi NU yang dianggap tidak sedang sejalan dengan yang diharapkannya.
Hadhratussyaikh menerima saran tersebut dan tetap berada di NU sampai akhir hayatnya.
Kisah ini saya dapatkan dari KH Saifuddin Amsir yang mendapatkan kisah ini langsung dari KH Abdul Rasyid Ramli (Muallim Rasyid Kampung Mangga) yang ketika itu menjadi saksi dari pertemuan Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari dengan Guru Manshur Jembatan Lima, di saat usianya masih remaja dan sedang berguru kepada Guru Manshur Jembatan Lima.
Bukan hanya golongan ulama yang memiliki kontribusi terhadap NU di tanah Betawi, para cendekiawan, tokoh pergerakan, dan pengusaha Betawi pun turut andil. Seperti KH Abdul Manaf, kakek dari mantan gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, turut membantu keberadaan PB NU di Jakarta.
Menurut Bang Uwo, isu kebetawian selalu melekat dalam perjalanan NU di Jakarta.
Selalu saja muncul pada setiap terjadinya gejolak internal ataupun dalam konferensi wilayah.
"Yang harus jadi imam, yang pimpin NU DKI Jakarta harus orang Betawi dong." Kalimat-kalimat seperti itu sering terdengar.
Bang Uwo berpendapat bahwa hal itu merupakan pembenaran yang rasional, bukankah kepemimpinan NU tingkat wilayah (DKI Jakarta) umumnya dijabat oleh putra daerah, apa salahnya dengan kalimat yang terlontar itu? Justru hal itu juga merupakan pembenaran terhadap Bhineka Tunggal Ika. Ia berpendapat kalimat-kalimat ini merupakan stigma positif bagi kaum Betawi. Disebabkan, partisipasi kaum Betawi terhadap perkembangan NU di Jakarta, di tanah Betawi, sejak awal berdiri sampai sekarang dan sampai kapan pun tidaklah dapat dikesampingkan begitu saja.
https://www.arrahmah.co.id/2016/04/subhanallah-ini-ulama-betawi-yang-mahsur-mengajar-dan-menjadi-imam-di-masjidil-haram.html?m=1
http://www.nu.or.id/post/read/41210/kiai-syaifudin-amsir-bercerita-kiai-dan-santri-betawi
Faktakini.com
*NU DI BETAWI*
http://m.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/08/07/nspfog12-nu-di-betawi
http://www.muslimedianews.com/2016/10/guru-marzuki-ulama-betawi-yang-produktif.html?m=1
Berdirinya organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) di tanah Betawi memang unik. Kisah yang saya dengar dari KH Saifuddin Amsir bahwa Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara yang diminta untuk mendirikan NU di Jakarta di tanah Betawi tidak serta-merta menerima permintaan tersebut.
Ia memberikan syarat, jika para perempuan dan santri perempuan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, yang dipimpin Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari tidak menutup auratnya secara benar, sesuai syariat, ia menolak pendirian dan kehadiran NU di tanah Betawi.
Ia kemudian mengutus orang kepercayaannya ke Tebu Ireng untuk melihatnya secara langsung. Dari hasil pengamatan orang kepercayaannya ini ia mendapatkan informasi bahwa para perempuan dan santri perempuan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, menutup auratnya dengan benar, sesuai syariat.
Atas informasi ini, Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara menerima pendirian NU di tanah Betawi dan ia menjadi pendiri dari NU Jakarta.
Permintaan pendirian NU kepada Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara di tanah Betawi langsung dari Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari.
Permintaan kepadanya tentu tidak sembarangan, mempertimbangkan juga pengaruh dan ketokohannya sebagai salah seorang ulama terkemuka di Betawi pada masa itu.
Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara yang merupakan alumnus Makkah dijuluki sebagai "Gurunya Ulama Betawi."
Ia memiliki pondok pesantren yang terkenal di tanah Betawi pada masa itu. Pendidikan yang berkualitas menjadikan para orang tua di Betawi menjadikan pondok pesantrennya sebagai pilihan utama agar anak-anaknya kelak dapat menjadi ulama terkemuka.
Terbukti, murid-murid yang didiknya kemudian banyak yang menjadi ulama Betawi terkemuka. Dalam satu keterangan ada sekitar 41 ulama Betawi terkemuka bahkan lebih.
Di antaranya adalah :
Mu`allim Thabrani Paseban (kakek dari KH Maulana Kamal Yusuf)
KH Abdullah Syafi`i (pendiri perguruan Asy-Syafi’iyyah)
KH Thohir Rohili (pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah)
KH Noer Alie (pahlawan nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi)
KH Achmad Mursyidi (pendiri perguruan Al-Falah)
KH Hasbiyallah (pendiri perguruan Al-Wathoniyah)
KH Ahmad Zayadi Muhajir (pendiri perguruan Az-Ziyadah)
Guru Asmat (Cakung)
KH Mahmud (pendiri Yayasan Perguruan Islam Almamur/Yapima, Bekasi)
KH Muchtar Thabrani (pendiri YPI Annuur, Bekasi)
KH Chalid Damat (pendiri perguruan Al-Khalidiyah), dan KH Ali Syibromalisi (pendiri perguruan Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan, Jakarta).
Dalam buku yang berjudul Catatan Kenangan Ber-NU di Kampung Sendiri: Tinjauan Kritis Terhadap Keberadaan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta yang ditulis oleh Amarullah Asbah (Bang Uwo) dijelaskan bahwa selain Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara, ulama Betawi lainnya yang memiliki kontribusi terhadap NU di tanah Betawi pada masa-masal awal di antaranya adalah Guru Manshur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Madjid Pekojan, dan Guru Amin.
Kontribusi dan posisi guru-guru Betawi tersebut bukan hanya penting pada pendirian dan perjalanan awal NU di tanah Betawi, melainkan juga memiliki fungsi tersendiri bagi sang pendiri NU, Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari, yaitu sebagai tempat berkonsultasi.
Dikisahkan, pada suatu kesempatan, Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari berkunjung ke kediaman Guru Manshur Jembatan Lima di Sawah Lio, Jakarta Barat.
Pada kunjungan tersebut, Hadhratussyaikh menyampaikan keinginannya kepada Guru Manshur Jembatan Lima untuk mundur dari NU.
Namun, Guru Manshur Jembatan Lima menyarankan agar Hadhratussyaikh tidak mundur dari NU, apa pun keadaan dan kondisi NU yang dianggap tidak sedang sejalan dengan yang diharapkannya.
Hadhratussyaikh menerima saran tersebut dan tetap berada di NU sampai akhir hayatnya.
Kisah ini saya dapatkan dari KH Saifuddin Amsir yang mendapatkan kisah ini langsung dari KH Abdul Rasyid Ramli (Muallim Rasyid Kampung Mangga) yang ketika itu menjadi saksi dari pertemuan Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy`ari dengan Guru Manshur Jembatan Lima, di saat usianya masih remaja dan sedang berguru kepada Guru Manshur Jembatan Lima.
Bukan hanya golongan ulama yang memiliki kontribusi terhadap NU di tanah Betawi, para cendekiawan, tokoh pergerakan, dan pengusaha Betawi pun turut andil. Seperti KH Abdul Manaf, kakek dari mantan gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, turut membantu keberadaan PB NU di Jakarta.
Menurut Bang Uwo, isu kebetawian selalu melekat dalam perjalanan NU di Jakarta.
Selalu saja muncul pada setiap terjadinya gejolak internal ataupun dalam konferensi wilayah.
"Yang harus jadi imam, yang pimpin NU DKI Jakarta harus orang Betawi dong." Kalimat-kalimat seperti itu sering terdengar.
Bang Uwo berpendapat bahwa hal itu merupakan pembenaran yang rasional, bukankah kepemimpinan NU tingkat wilayah (DKI Jakarta) umumnya dijabat oleh putra daerah, apa salahnya dengan kalimat yang terlontar itu? Justru hal itu juga merupakan pembenaran terhadap Bhineka Tunggal Ika. Ia berpendapat kalimat-kalimat ini merupakan stigma positif bagi kaum Betawi. Disebabkan, partisipasi kaum Betawi terhadap perkembangan NU di Jakarta, di tanah Betawi, sejak awal berdiri sampai sekarang dan sampai kapan pun tidaklah dapat dikesampingkan begitu saja.
https://www.arrahmah.co.id/2016/04/subhanallah-ini-ulama-betawi-yang-mahsur-mengajar-dan-menjadi-imam-di-masjidil-haram.html?m=1
http://www.nu.or.id/post/read/41210/kiai-syaifudin-amsir-bercerita-kiai-dan-santri-betawi