WHO Masih Menetapkan Indonesia Sebagai Negara Dengan Status Gizi Buruk Alias Stunting

Selasa, 18 Desember 2018

Faktakini.com, Jakarta - Pemerintah harus buka mata terhadap perkembangan balita. Sampai hari ini, WHO (World Health Organization) masih menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk alias stunting.

Artinya, pertumbuhan balita kita belum normal, masih kerdil, pendek perkembangan fisik dan mengancam kesehatan anak. Ini menyebabkan kemiskinan. Pertumbuhan otak anak yang kurang gizi, tidak optimal akan berpengaruh pada kecerdasan masa depan.

Angka stunting bayi berusia di bawah lima tahun (balita) Indonesia masih mengerikan. Tahun 2015 sebesar 36,4%. Tahun ini, tak kunjung baik. Masih tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Ini membuat WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk.

Sumber katadata.co.id

“Pemerintah tak boleh tutup mata. Ketimpangan ekonomi mestinya menjadi prioritas pertama. Istilah Rocky Gerung, pemerintah harus cermat membaca skala prioritas. Beli susu apa beli aspal? Jangan habiskan duit di infrastruktur dengan melupakan masa depan anak, apalagi sampai menumpuk utang. Padahal, anak-anak inilah yang harus menanggung beban,” jelas H Agus Sholachul A’am Wahib kepada duta.co, Jumat (14/12/2018).

Dengan demikian, stunting Indonesia masih berada di atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20%. Prevalensi stunting/kerdil balita Indonesia ini terbesar kedua di kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%.

Guna menekan masalah gizi balita, pemerintah melakukan gerakan nasional pencegahan stunting dan kerjasama kemitraan multi sektor. Tim Nasional Percepatan Penanggulanan Kemiskinan (TNP2K) menerapkan 160 kabupaten prioritas penurunan stunting. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terdapat 15 kabupaten/kota dengan prevalensi stunting di atas 50%.


sumber katadata.co.id
Pertanian Turun Gunung
Dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan gizi masyarakat, serta penurunan masalah stunting, Kementerian Pertanian memiliki peran penting dan berkontribusi dalam penyediaan pangan yang cukup dan beragam, penyediaan infrastruktur pendukung produksi pangan, mendekatkan akses masyarakat terhadap pangan, pemberdayaan kelompok wanita untuk penyediaan pangan dan gizi keluarga.

Demikian dikatakan Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi dalam Seminar Nasional Food and Nutrition Security tentang Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan dan Gizi Masyarakat Indonesia di Mataram, Kamis (13/12/2018).

“Kontribusi lainnya adalah dengan menjaga stabilisasi pasokan, harga pangan strategis dan deteksi dini daerah rentan rawan pangan yang berpotensi stunting,” ungkap Agung.

Dalam seminar yang bertujuan untuk membuka wawasan tentang program-program pengentasan stunting di Indonesia, Agung juga mengatakan bahwa masalah stunting merupakan suatu lingkaran yang tidak terputus dengan salah satu kunci pengentasannya melalui penyediaan dan konsumsi gizi yang lebih baik bagi masyarakat.

“Kita perlu mencontoh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam peningkatan konsumsi ikan untuk mendorong konsumsi sayur, buah, dan daging sebagai upaya untuk peningkatan asupan gizi dan nutrisi,” ujar Agung.

Sejalan dengan pernyataan Kepala Badan Ketahanan Pangan, Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Siti Rohma Djalillah mengatakan bahwa permasalahan stunting merupakan suatu lingkaran yang tidak dapat diselesaikan sepotong-sepotong.

“Untuk itu perlu dilakukan sinergi antar program untuk pencapaian penurunan stunting di NTB,” ujarnya.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penetapan target angka kemiskinan di Nusa Tenggara Barat di bawah 10 persen pada tahun 2023. “Meskipun terdampak gempa pada beberapa bulan sebelumnya, target ini tetap diupayakan untuk dicapai,” tambah Siti Rohma.

Pada bagian lain Agung menyampaikan untuk dapat mengentaskan stunting, salah satu upaya yang diperlukan adalah dengan mewujudkan ketahanan pangan nasional.

“Ketahanan pangan nasional harus dimulai dengan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Kita harus cermat menentukan kebijakan terkait dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau,” ujar Agung.

“Jangan sampai mahalnya  distribusi menjadi penghambat mewujudkan ketahanan pangan dan gizi keluarga,” tegas Agung.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian telah melaksanakan kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Kegiatan ini untuk mengaktifkan 10,3 juta Ha lahan pekarangan  untuk pemenuhan konsumsi di tingkat rumah tangga.

Sepanjang tahun 2010-2018, telah dikembangkan 20.858 kelompok wanita dan melibatkan lebih dari 2,5 juta orang atau 1 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.

“Ke depannya, kegiatan (KRPL) ini akan kita masifkan dalam program Obor Pangan Lestari (OPAL) yang akan menjadi kekuatan dahsyat dalam mewujudkan ketahanan pangan dan keseimbangan nutrisi di Indonesia,” pungkas Agung.

Sumber: duta.co