Formulasi Pembebasan Ustadz Abubakar Ba'asyir

Selasa, 22 Januari 2019

Faktakini.com

FORMULASI PEMBEBASAN USTADZ ABU BAKAR BA’ASYIR

Oleh : Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H.

Tepat sehari selepas debat Presiden tahap pertama, muncul berita tentang pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (ABB). Menurut Yusril Ihza Mahendra (YIM) yang secara langsung bertemu dengan ABB di Lapas Gunung Sindur, Bogor bahwa ABB akan dibebaskan atas pertimbangan kemanusiaan yang telah disetujui Presiden. Pernyataan YIM tersebut dibenarkan oleh Presiden Jokowi, yang menyatakan ABB dibebaskan karena faktor usia dan kesehatan. Terkait hal itu, sampai dengan tulisan ini dibuat pada tanggal 19 Januari 2019, pemerintah belum menyebutkan mekanisme apa yang akan digunakan terkait pembebasan ABB.

Pasal 15 ayat (1) KUHP menentukan bahwa Terpidana dapat memperoleh pembebasan bersyarat apabila telah menjalankan 2/3 (dua pertiga) dari lamanya penjara yang dijatuhkan kepadanya. Lebih lanjut Pasal 14 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa pembebasan bersyarat merupakan hak Terpidana, dan pengaturannya secara teknis diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999, yang terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, serta Permenkumham Nomor  03 Tahun 2018.

Mengacu kepada informasi dari Penasihat Hukum ABB, Mahendradatta bahwa ABB telah mendapatkan remisi 20 (dua puluh) bulan sehingga ABB telah memenuhi syarat untuk mendapatkan hak pembebasan bersyarat. ABB divonis 15 tahun atau setara dengan 180 bulan, yang kemudian dikurangkan 20 bulan sebagai remisinya, yang menjadikan sisa masa hukumannya tinggal 160 bulan. Dikarenakan ABB telah menjalani hukuman selama 9 tahun atau setara 108 bulan maka ABB telah menjalani lebih dari 2/3 dari 160 bulan. Namun Pasal 84 huruf d Permenkumham Nomor 03 Tahun 2018 memberikan syarat tembahan yaitu Terpidana terorisme mesti menyesal atas kesalahannya dan berikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal mana ditolak ABB karena beliau merasa tidak bersalah dan hanya mau berikrar setia kepada agama Islam.

Menghadapi kebuntuan tersebut, YIM menyarankan kepada Pemerintah untuk mengartikan setia kepada Islam sama halnya dengan setia kepada NKRI. Terlepas dari hal itu, apabila memang benar pembebasan ABB semata-mata karena alasan kemanusiaan, Presiden dapat menggunakan kewenangan konstitusionalnya sebagaimana Pasal 14 UUD 1945: “(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Grasi berarti pengampunan Presiden kepada terpidana berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010), sedangkan rehabilitasi berarti pemulihan hak seseorang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili yang tidak sesuai dengan hukum berlaku yang dilakukan Presiden (secara indikatif dapat mengacu kepada pengertian yang tercantum pada Pasal 1 angka 23 KUHAP). Amnesti bertujuan menghapus semua akibat dari tindak pidana kepada seseorang, yang berbeda dengan abolisi yang hanya meniadakan penuntutan sebagaimana tercantum pada Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti Dan Abolisi.

Kembali kepada alasan kemanusiaan yang diutarakan Presiden bahwa hal tersebut terhubung dengan mekanisme pemberian Grasi, seperti tercantum pada Pasal 6A undang-Undang Grasi “Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak untuk mengajukan permohonan grasi”. Akan tetapi pemberian Grasi ini terbentur dengan kenyataan ABB menolak mengajukan permohonan, termasuk dalam memberikan persetujuan apabila permohonan diajukan keluarganya. Dengan alasan bahwa memohon Grasi sama halnya dengan mengakui kesalahan melakukan tindak pidana Terorisme, yang selama ini secara tegas dibantahnya.

Di sisi lain sulit bagi Presiden untuk memberikan rehabilitasi, sebab apabila hal tersebut diberikan maka sama saja Negara mengakui kesalahannya dalam mengadili ABB. Berbeda dengan Amnesti dan abolisi, yang tidak mensyaratkan adanya pengakuan bersalah baik dari ABB seperti pemberian Grasi maupun pengakuan bersalah dari Negara seperti pemberian Rehabilitasi. Hanya saja pemberian Amnesti dan Abolisi mesti didasari adanya kepentingan Negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Tentang Amnesti Dan Abolisi. Khusus untuk Abolisi, sama sekali tidak dapat diterapkan dalam kasus ini karena perkaranya tidak lagi berada pada fase penuntutan, melainkan telah berkekuatan hukum tetap (Res judicata).

Memang terdapat jalan instan untuk memberi landasan hukum atas pembebasan ABB yaitu dengan merevisi Permenkumham Nomor 3 Tahun 2008. Revisi ditujukan pada ‘Ikrar setia kepada NKRI”, akan tetapi hal tersebut menjadi opsi riskan dan sangat tidak populis bagi pemerintah yang selama ini gencar mengampanyekan “NKRI harga mati dan menolak khilafah”. Oleh karenanya apabila Presiden sungguh-sungguh hendak membebaskan ABB atas dasar kemanusiaan, mau tidak mau Presiden mesti menggunakan kewenangan konstitutionalnya.

Kewenangan konstitusional yang tepat untuk digunakan Presiden adalah pemberian Amnesti. Tidak disangkal pemberian Amnesti merupakan pilihan sulit, karena mesti memenuhi syarat adanya kepentingan Negara. Meskipun demikian, pemberian Amnesti ini masih jauh lebih baik daripada pemberian rehabilitasi yang mensyaratkan pengakuan bersalah Negara dalam mengadili ABB. Dalam  hal pemberian Amnesty posisi Negara tetap berada di atas karena hanya menghapuskan akibat dari tindak pidana ABB, sedangkan dalam pemberian rehabilitasi posisi Negara berada di bawah karena harus memberikan pengakuan bersalah dalam mengadili ABB.

Mengenai syarat adanya kepentingan Negara, Undang-Undang Amnesti Dan Abolisi tidak memberikan arti apa yang dimaksud dengan kepentingan Negara. Pada kasus pemberontakan pada zaman orde lama, Presiden Soekarno memberikan Amnesti dan abolisi melalui Keppres Nomor 449 Tahun 1961 dengan pertimbangan bahwa para pemberontak telah insyaf dan kembali kepangkuan Republik Indonesia. Kemudian dalam kasus Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan, alasan yang digunakan Presiden adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara, pembangunan nasional, memperkokoh hak azasi manusia, serta persatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana tercantum pada Keppres Nomor 80 Tahun 1998. Jadi jelaslah pemaknaan kepentingan Negara dikembalikan kepada Presiden sebagai pihak yang berwenang memberikan Amnesti.

Dihubungkan dengan kenyataan usia ABB yang telah menginjak 80 (delapan puluh) tahun dan dengan kondisi kesehatan tidak stabil, menjadi relevan pertimbangan kemanusiaan untuk dijadikan alasan adanya kepentingan Negara. Sebab sebagai bangsa yang beradab Negara mesti memastikan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana amanah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”. Dengan demikian, sudah sepatutnya Presiden sebagai pihak yang hendak membebaskan ABB segera memberikan Amnesti kepadanya. Jangan sampai Menteri Hukum Dan HAM terpaksa melanggar hukum atau mencabut peraturan yang dibuatnya sendiri.