Hillary Rajai Survei Trump Yang Menang Pilpres AS, Prabowo - Sandi Juga Diprediksi Menang Pilpres 2019

Selasa, 12 Februari 2019

Faktakini.com, Jakarta - Hasil survei tak bisa dijadikan pedoman, hasil Pilpres di Amerika Serikat tahun 2016 telah membuktikannya. Karena itu pendukung dan buzzer paslon Petahana di Pilpres 2019 yang terus menyombongkan "hasil survei" Sesungguhnya sedang memamerkan kebodohannya, karena Prabowo - Sandi paslon pilihan Ijtima' Ulama juga memiliki peluang besar untuk memenangkannya.

Donald Trump menyampaikan pidato kemenangannya, situs berita Quartz sudah bersiap “menyambut” penguasa baru di Gedung Putih itu. Situs tersebut menulis artikel bertajuk “America’s Requiem, a Quartz Cocktail to Drink if Donald Trump Wins”.

Ya, America’s Requiem, Upacara Pemakaman Amerika, itulah resep koktail yang dibuat Quartz untuk “merayakan” kemenangan Donald Trump yang tak terduga. Campurkan Campari, Aperol, gin, Cynar, Fernet Branca, Lillet Blanc, dan 15 tetes Angostura, tambahkan es, lalu aduk. Tenggak dan rasakan getirnya America’s Requiem.

Siapa yang menyangka Trump dengan mantranya, Make America Great Again, bisa menjungkirbalikkan semua ramalan setelah babak belur dihajar kabar soal komentar-komentarnya yang tak senonoh soal perempuan. “Semua jajak pendapat memenangkan Hillary Clinton. Tak ada satu pun yang memenangkan Donald Trump, bahkan Fox News sekalipun,” kata Austin Daily, mahasiswa Universitas Katolik dan pendukung Trump.

Beberapa jam sebelumnya, puluhan pendukung Hillary Clinton, calon presiden dari Partai Demokrat, sudah bersiap di depan Gedung Putih untuk merayakan kemenangan.

Tapi jam demi jam berlalu, peluang Hillary menjadi Presiden Amerika perempuan pertama dalam sejarah makin tipis. Sekitar pukul 22.00 waktu Washington, DC, Andrew Nazdin dan teman-temannya dari lembaga Avaaz sadar bahwa mereka harus mengubah rencana 180 derajat.

Dari semula pesta, berubah menjadi protes menentang sentimen kebencian yang kerap ditebar Donald Trump selama berkampanye. “Di mana-mana di seluruh dunia, makin sering politikus sayap kanan menebarkan kebencian,” kata Nazdin kepada Washington Post.

Tak jauh dari rombongan Nazdin, Naja Nelson, mahasiswi Universitas George Washington, kehilangan kata-kata. Dia masih sulit mencerna kekalahan Hillary, calon presiden yang dia dukung. Seperti Nazdin dan kawan-kawannya, Naja khawatir, kemenangan Donald Trump jadi bahan bakar bagi para penebar kebencian.

“Aku khawatir keadaan akan berbalik lagi seperti tahun-tahun lalu. Rasisme memang tak pernah benar-benar pergi, tapi kini orang-orang rasis itu bakal mendapatkan angin…. Kita tahu, Klu Klux Klan mendukung Donald Trump,” kata Naja, murung.

* * *

Selama bertahun-tahun, Allan Lichtman jadi “dukun peramal” pemilihan Presiden Amerika. Ramalan profesor sejarah di American University ini tak pernah meleset. Padahal dia menujum jauh-jauh hari sebelum pencoblosan, tanpa memakai jajak pendapat, juga tanpa analis statistik yang rumit.

Profesor Lichtman hanya mengandalkan analis terhadap 13 pernyataan dari setiap calon presiden. Tapi, untuk pemilihan Presiden Amerika tahun ini, Lichtman masih kesulitan meramal hasilnya. Ada sejumlah ketidakpastian, menurut dia, yang membuat pemilihan tahun ini sulit diramal. “Kasus seperti ini langka,” kata dia. Selangka kesalahan massal yang dibuat oleh lembaga-lembaga jajak pendapat di Amerika.

Para pendukung Donald Trump di Manhattan, New York, merayakan kemenangan, Rabu, 9 November 2016.
Foto: Reuters

Survei itu sebagian berupa sains, sebagian lagi merupakan seni.”

Robert Jones, peneliti di PRRI di Washington

Di antara semua lembaga yang membuat ramalan soal peluang Hillary dan Donald Trump, Nate Silver adalah pengecualian. The Upshot yang dibuat oleh The New York Times meramal, peluang Hillary untuk menang sekitar 85 persen, bahkan HuffPost Pollster menghitung, peluang Hillary menuju Gedung Putih 98 persen. Artinya, nyaris “mission: impossible” bagi Trump untuk menjadi Presiden Amerika.

Hanya Nate yang memberikan sedikit angin segar untuk tim Trump. Satu dari tiga kemungkinan, Nate meramal, Donald Trump bisa jadi pemenangnya. Sebelum jadi analis politik, Nathaniel “Nate” Silver yang pintar matematika ini pernah bekerja sebagai analis bisbol untuk sejumlah media. “Trump hanya tiga poin di belakang Clinton…. Dan dalam jajak pendapat, kesalahan tiga poin itu sering terjadi,” kata Nate, dikutip Huffington Post, pekan lalu.

Namanya jajak pendapat, sebanyak apa pun respondennya, sehebat apa pun model statistiknya, hasil akhirnya tetap kemungkinan, bukan kepastian. Kesalahan meramal seperti yang terjadi pada pemilihan Presiden Amerika bukan kali ini saja terjadi. Lembaga-lembaga jajak pendapat juga salah menghitung apa yang bakal terjadi saat rakyat Inggris menentukan apakah mereka tetap bersama Uni Eropa atau keluar.

“Saat pemungutan suara, survei menempatkan kami 10 poin di belakang pendukung Uni Eropa. Tapi kenyataannya kami menang,” kata Nigel Farage, pemimpin Partai Independen, pendukung utama keluarnya Inggris dari Uni Eropa, kepada CNN. Dia menduga, para peramal itu salah lantaran banyak orang yang tak terhitung dalam jajak pendapat memberikan suara dalam referendum.


Reaksi pendukung Hillary Clinton di Manhattan setelah kekalahan calonnya, Rabu, 9 November 2016.
Foto: Reuters

Farage yang menyokong Donald Trump menduga, para pendukung Trump malu-malu mengakui bahwa mereka mendukung calon kontroversial itu. Walhasil, “kebohongan” inilah yang membuat survei tak akurat. Inilah yang disebut Efek Bradley—diberi nama berdasarkan Tom Bradley, kandidat Gubernur California pada 1982.

Pada 1982, Tom Bradley, seorang keturunan Afrika, bertarung memperebutkan kursi Gubernur California. Lembaga-lembaga survei yakin Tom-lah yang akan jadi pemenangnya. Sebagian besar prediksi itu tak akurat. Tapi Robert Jones, peneliti di PRRI di Washington, tak yakin ada Efek Bradley pada survei pemilihan Presiden Amerika tahun ini.

“Tak ada bukti bahwa para pendukung Donald Trump berbohong saat dimintai pendapat,” kata Robert kepada CNN. Menurut Robert, selalu ada ketidakpastian dalam jajak pendapat. “Survei itu sebagian berupa sains, sebagian lagi merupakan seni.

Foto: Pendukung Hillary Clinton di New York tertunduk lesu setelah kekalahan calon mereka, Rabu, 9 November 2016.
Foto: Reuters

Sumber: Detik