KH Slamet Maarif Tersangka, Sugito: Mematikan Langkah Ulama Pro Prabowo
Selasa, 19 Februari 2019
Faktakini.com
MEMATIKAN LANGKAH ULAMA PRO PRABOWO
Oleh: Sugito Atmo Pawiro
SATU lagi ulama pro Capres Prabowo dijerat dengan ancaman pidana pemilu. Kali ini Ketua Persaudaraan Alumni 212, Al Ustadz Slamet Maarif (USM) harus menghentikan kiprahnya dalam mensosialisasikan calon presiden hasil Ijtimaq Ulama, Prabowo Subianto. USM terpaksa harus menjalani pemeriksaan oleh kepolisian menyusul laporan dugaan tindak pidana pemilu oleh Tim Kemenangan Nasional (TKN) Capres Jokowi, bulan lalu.
USM telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran kampanye pada kegiatan tabligh akbar PA 212 di Solo Raya, Minggu (13 Januari 2019) lalu. Versi pelapor, USM berkampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, sekaligus menggunakan masjid sebagai tempat kampanye.
Laporan TKN Jokowi terhadap aktor-aktor pro Prabowo, seperti biasa direspon cepat dan penuh semangat oleh jajaran Bawaslu. Jerat hukum pun segera ditebar, USM dianggap melanggar Pasal 280 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j tentang kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Setelah berkas laporannya diserahkan ke penyidik, 1 Februari lalu, polisi pun menetapkan Pasal 492 UU Pemilu (tentang kampanye di luar jadwal) dengan ancaman pidana penjara maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp12 juta, junto Pasal 521 UU Pemilu (kampanye di tempat terlarang). Ancaman hukumannya lebih keras, dua tahun penjara dan denda maksimal Rp24 juta.
Pokoknya, ulama seperti USM ini ngotot untuk dijerat dengan segala ketentuan hukum yang ada.
Mestinya Daluarsa
Terlepas benar-tidaknya dugaan tindak pidana pemilu yang ditujukan kepada USM ini, maka penerapan mekanisme penanganan kasus tindak pidana pemilu ini layak dipertanyakan. Jika laporan yang disampaikan Bawaslu kepada polisi untuk melakukan penyidikan kepada USM per 1 Februari 2019, maka sebenarnya paling lambat pada tanggal 15 Februari 2019, berkas penyidikan sudah dilimpahkan kepada Kejaksaan untuk penuntutan.
Namun demikian pada tanggal 18 Februari 2019, USM masih akan diperiksa polisi sebagai bagian dari rangkaian penyidikan terhadap perkaranya. Artinya, tenggat waktu penyidikan kasus ini sudah habis karena sudah melampaui ketentuan untuk melimpahkan berkas perkaranya ke penuntut umum. Fakta ini sebenarnya dengan sendirinya kasus USM sudah kadaluarsa. Oleh karena itu kewenangan polisi untuk meneruskan kasus dugaan pidana pemilu ini menjadi hapus.
Kesimpulan ini justru memiliki landasan yuridis. Jika kasus USM berangkat dari UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, maka pada Pasal 480 Ayat (1) UU Pemilu 2017 jelas dinyatakan bahwa polisi sudah harus melimpahkan berkas perkara ini kepada penuntut umum paling lambat 14 hari sejak laporan diterima dari Bawaslu. Jika telah melampaui batas waktu yang dimaksud UU ini, maka seharusnya dinyatakan kadaluarsa.
Yang mengherankan adalah mengapa polisi masih harus memeriksa USM sebagai tersangka. Padahal menurut Pasal 480 Ayat (1) UU Pemilu 2017 tersebut, pemeriksaan terhadap tindak pidana pemilu tanpa perlu menghadirkan tersangka.
Semua Jadi Target
Tampaknya tidak ada keleluasaan lagi bagi siapa pun tokoh yang berada di balik tim kampanye Prabowo untuk berkiprah. Semua menjadi target untuk dihentikan langkahnya sebagai strategi menghentikan masifnya dukungan rival petahana di berbagai daerah. Setelah Habib Bahar, Ahmad Dani, Dahnil Anzar Simanjuntak, Rocky Gerung, dan yang lebih dahulu Habieb Rizieq, maka celah hukum yang bisa dipergunakan untuk menghambat laju popularitas Prabowo dilakukan dengan mematikan tokoh-tokoh berpengaruh terhadap pemilih.
Semua sadar bahwa peranan para ulama sangat strategis dalam memenangkan pemilihan politik di negeri ini. Apalagi faktanya menunjukkan, ulama pula yang memotori aktivitas politik untuk memerdekakan bangsa ini dari kolonialisme. Perintah, himbauan dan ajakan para ulama akan sangat menentukan pilihan politik umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Realitas itu tidak terbantahkan.
Fakta pula bahwa Capres Prabowo Subianto sejak ijtimaq ulama, aksi Reuni 2012 umat Islam di Monas pada Desember tahun lalu, serta sejumlah pernyataan deklaratif ulama berpengaruh di organisasi massa yang memberikan dukungannya kepada Prabowo, maka gelembung dukungan (bubble) kepada Prabowo semakin membesar di seluruh tanah air. Realitas politik ini tentu saja mengkhawatirkan dan bikin ketar-ketir jajaran pendukung petahana.
Strategi menjerat ulama pendukung Prabowo menjadi pilihan. Setiap gerak para ulama dan tokoh publik yang pro Prabowo dibuntuti untuk mencari celah hukum guna menghentikan langkahnya. Jika hal ini berhasil maka masifnya sosialisasi pencapresan Prabowo dikalkulasi akan menurun. Bersamaan dengan itu kesan religiusitas petahana dipoles dengan berbagai publisitas.
Tampaknya langkah untuk menghentikan juru kampanye Prabowo lewat jalur hukum ini justru akan kontraproduktif, mengundang antipati, dan bahkan menjadi boomerang bagi elektabilitas junjungan mereka sendiri.***
://www.facebook.com/1399524101/posts/10213398485302135/
Faktakini.com
MEMATIKAN LANGKAH ULAMA PRO PRABOWO
Oleh: Sugito Atmo Pawiro
SATU lagi ulama pro Capres Prabowo dijerat dengan ancaman pidana pemilu. Kali ini Ketua Persaudaraan Alumni 212, Al Ustadz Slamet Maarif (USM) harus menghentikan kiprahnya dalam mensosialisasikan calon presiden hasil Ijtimaq Ulama, Prabowo Subianto. USM terpaksa harus menjalani pemeriksaan oleh kepolisian menyusul laporan dugaan tindak pidana pemilu oleh Tim Kemenangan Nasional (TKN) Capres Jokowi, bulan lalu.
USM telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran kampanye pada kegiatan tabligh akbar PA 212 di Solo Raya, Minggu (13 Januari 2019) lalu. Versi pelapor, USM berkampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, sekaligus menggunakan masjid sebagai tempat kampanye.
Laporan TKN Jokowi terhadap aktor-aktor pro Prabowo, seperti biasa direspon cepat dan penuh semangat oleh jajaran Bawaslu. Jerat hukum pun segera ditebar, USM dianggap melanggar Pasal 280 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j tentang kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Setelah berkas laporannya diserahkan ke penyidik, 1 Februari lalu, polisi pun menetapkan Pasal 492 UU Pemilu (tentang kampanye di luar jadwal) dengan ancaman pidana penjara maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp12 juta, junto Pasal 521 UU Pemilu (kampanye di tempat terlarang). Ancaman hukumannya lebih keras, dua tahun penjara dan denda maksimal Rp24 juta.
Pokoknya, ulama seperti USM ini ngotot untuk dijerat dengan segala ketentuan hukum yang ada.
Mestinya Daluarsa
Terlepas benar-tidaknya dugaan tindak pidana pemilu yang ditujukan kepada USM ini, maka penerapan mekanisme penanganan kasus tindak pidana pemilu ini layak dipertanyakan. Jika laporan yang disampaikan Bawaslu kepada polisi untuk melakukan penyidikan kepada USM per 1 Februari 2019, maka sebenarnya paling lambat pada tanggal 15 Februari 2019, berkas penyidikan sudah dilimpahkan kepada Kejaksaan untuk penuntutan.
Namun demikian pada tanggal 18 Februari 2019, USM masih akan diperiksa polisi sebagai bagian dari rangkaian penyidikan terhadap perkaranya. Artinya, tenggat waktu penyidikan kasus ini sudah habis karena sudah melampaui ketentuan untuk melimpahkan berkas perkaranya ke penuntut umum. Fakta ini sebenarnya dengan sendirinya kasus USM sudah kadaluarsa. Oleh karena itu kewenangan polisi untuk meneruskan kasus dugaan pidana pemilu ini menjadi hapus.
Kesimpulan ini justru memiliki landasan yuridis. Jika kasus USM berangkat dari UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, maka pada Pasal 480 Ayat (1) UU Pemilu 2017 jelas dinyatakan bahwa polisi sudah harus melimpahkan berkas perkara ini kepada penuntut umum paling lambat 14 hari sejak laporan diterima dari Bawaslu. Jika telah melampaui batas waktu yang dimaksud UU ini, maka seharusnya dinyatakan kadaluarsa.
Yang mengherankan adalah mengapa polisi masih harus memeriksa USM sebagai tersangka. Padahal menurut Pasal 480 Ayat (1) UU Pemilu 2017 tersebut, pemeriksaan terhadap tindak pidana pemilu tanpa perlu menghadirkan tersangka.
Semua Jadi Target
Tampaknya tidak ada keleluasaan lagi bagi siapa pun tokoh yang berada di balik tim kampanye Prabowo untuk berkiprah. Semua menjadi target untuk dihentikan langkahnya sebagai strategi menghentikan masifnya dukungan rival petahana di berbagai daerah. Setelah Habib Bahar, Ahmad Dani, Dahnil Anzar Simanjuntak, Rocky Gerung, dan yang lebih dahulu Habieb Rizieq, maka celah hukum yang bisa dipergunakan untuk menghambat laju popularitas Prabowo dilakukan dengan mematikan tokoh-tokoh berpengaruh terhadap pemilih.
Semua sadar bahwa peranan para ulama sangat strategis dalam memenangkan pemilihan politik di negeri ini. Apalagi faktanya menunjukkan, ulama pula yang memotori aktivitas politik untuk memerdekakan bangsa ini dari kolonialisme. Perintah, himbauan dan ajakan para ulama akan sangat menentukan pilihan politik umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Realitas itu tidak terbantahkan.
Fakta pula bahwa Capres Prabowo Subianto sejak ijtimaq ulama, aksi Reuni 2012 umat Islam di Monas pada Desember tahun lalu, serta sejumlah pernyataan deklaratif ulama berpengaruh di organisasi massa yang memberikan dukungannya kepada Prabowo, maka gelembung dukungan (bubble) kepada Prabowo semakin membesar di seluruh tanah air. Realitas politik ini tentu saja mengkhawatirkan dan bikin ketar-ketir jajaran pendukung petahana.
Strategi menjerat ulama pendukung Prabowo menjadi pilihan. Setiap gerak para ulama dan tokoh publik yang pro Prabowo dibuntuti untuk mencari celah hukum guna menghentikan langkahnya. Jika hal ini berhasil maka masifnya sosialisasi pencapresan Prabowo dikalkulasi akan menurun. Bersamaan dengan itu kesan religiusitas petahana dipoles dengan berbagai publisitas.
Tampaknya langkah untuk menghentikan juru kampanye Prabowo lewat jalur hukum ini justru akan kontraproduktif, mengundang antipati, dan bahkan menjadi boomerang bagi elektabilitas junjungan mereka sendiri.***
://www.facebook.com/1399524101/posts/10213398485302135/