Zeng Wei Jian: Sumpah Pocongnya Wiranto

Rabu, 27 Februari 2019

Faktakini.com

SUMPAH POCONGNYA WIRANTO
by Zeng Wei Jian


Saya ikut aksi mahasiswa sekitar Desember 1997. Situasi semakin panas. Antrian sembako. Rumor bank collaps. Tuntutan Pa Harto mundur semakin keras.

Terkait Dalang Tragedi Mei 98, Dua puluh tahun kemudian, Jenderal Wiranto ngajak Pa Prabowo dan Pa Kivlan Zein sumpah pocong.

Pa Kivlan Zein kesal. Dia bilang sumpah pocong bukan ajaran agama. Itu sesat. Dia tantang balik Jenderal Wiranto untuk debat.

Komandan Don Dasco dari Gerindra mengingatkan Jenderal Wiranto tentang Sumpah Prajurit. Bukannya Sumpah Pocong.

Kembali ke masa lalu. Tanggal 12 Mei 1998, Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT) menggelar Mimbar Bebas. Sekitar 6 ribu mahasiswa hadir. Setelah itu, mereka bergerak ke luar kampus dan long march menuju Gedung MPR/DPR.

Dua lapis polisi dengan tameng dan pentung menghadang di depan kantor Walikota Jakarta Barat.

Sekitar pukul 13.30 bala bantuan pasukan tiba. Dipimpin Letkol Satu Pol Agus Tri Heriyanto, Komandan Kompi II Yon B Resimen I Brimob dan dibantu Letnan Dua Pol Pariyo.

Polisi melarang mahasiswa bergerak. Negosiasi terus berlangsung. Polisi tegas. Pukul 15.30, polisi merilis batas waktu agar mahasiswa membubarkan diri hingga jam 4. Jumlah mahasiswa saat itu tinggal seribu orang. Sisanya sudah pulang.

Pukul 16.30 datang pasukan dari Polda Metrojaya berkekuatan satu kompi di bawah pimpinan Kol Drs Arthur Damanik.

Saat mahasiswa bergerak kembali masuk kampus, seseorang yang mengaku Alumni Trisakti bernama "Mashud" merilis provokasi. Mahasiswa mengejar Mashud yang kemudian berlindung di belakang barisan aparat.

Sekitar pukul 17.15, bentrok mulai pecah. Mahasiswa melempari pasukan pengaman. Dorong-dorongan terjadi. Tembakan peringatan dirilis. Kapolres dan Dandim Jakbar Letkol Amril berteriak, "Hentikan tembakan..!!".

Menurut kronologi versi SMUT, oknum aparat ada yang meledek dan menertawakan gerakan mahasiswa. Yang diledek sempat terpancing dan menyerang. Tapi segera diredam satgas mahasiswa Trisakti.

Pada saat yang sama, aparat langsung menyerang dengan tembakan dan gas air mata. Pasukan bermotor seragam cokelat Brimob mengejar mahasiswa sampai pintu gerbang. Sebagian dari pasukan itu naik ke atas jembatan layang Grogol.

SMUT juga menyatakan, antara pukul 17.05-18.30 aparat merilis tembakan membabi-buta.

Aparat di atas jembatan layang melontarkan tembakan ke arah mahasiswa di dalam kampus. Sementara yang di bawah jembatan bergerak maju ke pintu gerbang dan menyerbu dengan formasi dua baris; "jongkok dan berdiri".

Di situ, enam orang mahasiswa tewas.

Ketika peristiwa penembakan pecah, Fadli Zon sedang rapat informal di rumah Mbak Tutut di Jalan Yusuf Adiwinata 14. Sesdalopbang Letjen TNI Hendropriyono ada di sana.

Jurnalis dari Koran Republika menghubungi Fadli Zon via handphone dan menyampaikan kabar enam mahasiswa tewas ditembak aparat.

Suasana pertemuan langsung berubah. Riuh dan tegang. Semua orang mencari informasi. Fadli Zon mengatakan peristiwa ini akan memicu aksi-aksi mahasiswa lebih besar.

Mbak Tutut segera menghubungi Pa Harto yang saat itu sedang berada di Kairo.

Esoknya tokoh-tokoh reformasi seperti Amien Rais, Megawati, Ali Sadikin, Emil Salim, Kwik Kian Gie, Hariman Siregar, WS Rendra dan sebagainya mendatangi Kampus Trisaksi. Mereka orasi, baca puisi dan gelar mimbar bebas.

Jelang pukul 12 siang, massa semakin banyak dan tak terkendali. Mereka mencegat dan membakar kendaraan yang melintas. Kerusuhan dimulai.

Esok harinya, Fadli Zon naik panser dari UKI ke Makostrad Gambir untuk menghadap Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto. Ternyata di ruang tunggu sudah banyak tamu. Antara lain Buyung Nasution, Ruhut Sitompul, Iqbal Assegaf (Ketua GP Ansor), dan Dr. Din Syamsuddin.

Seharian Letjen TNI Prabowo ikut Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoedin memantau situasi Jakarta. Baru ba'da Magrib, dia kembali ke Makostrad.

Pa Prabowo langsung menerima semua tamu. Di ruangan itu ada Muchdi PR, Kivlan Zen, Adityawarman Thaha, Adnan Buyung, Bambang Wijoyanto, Setiawan Jodi, Rendra, Fahmi Idris, Maher Algadrie, Farid Prawiranegara, Hasyim Joyohadikusumo, Fadli Zon dan lain-lain.

Adnan Buyung membuka pertemuan. Dia mengatakan rakyat sudah tidak menghendaki Pa Harto berkuasa. "Kita bentum Dewan Presidium," katanya.

Menurut Mayor Jenderal Kivlan Zein, para tokoh itu minta Letnan Jenderal Prabowo sebagai Panglima Kostrad ambil-alih keamanan. Sama seperti saat Pa Harto pasca Supersemar. Keduanya sama-sama menjabat Panglima Kostrad.

Letnan Jenderal Prabowo menolak dengan alasan situasi 1965 dan 1998 berbeda. Masih ada Panglima ABRI, KSAD dan Wakil KSAD di atas Panglima Kostrad.

Selain menarik polisi hanya jaga pos-pos polisi, Jenderal Wiranto meninggalkan Jakarta yang sedang chaoz.

Dia menjadi Inspektur Upacara serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Malang pada hari Kamis tanggal 14 Mei 1998.

Semua jenderal yang punya pasukan diperintahkan ikut. Letnan Jenderal Prabowo menyarankan sebaliknya. Jakarta sedang genting, seharusnya para komandan pasukan bersiaga di ibukota.

Jenderal Wiranto menolak saran ini. Selain itu, menurut Mayor Jenderal Kivlan Zein, blunder lain dilakukan Jenderal Wiranto yaitu tidak mengizinkan Mabes ABRI meminjamkan pesawat Hercules untuk membawa pasukan Kostrad dari Jawa Timur dan Makassar ke Jakarta.

“Karena Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Pangdam Jaya kekurangan pasukan dan meminta ke Kostrad, maka Kostrad menyiapkan pasukan tersebut,” tulis Kivlan.

Pada 16 Mei 1998 di Wisma Yani, Menteng, Jakarta, Jenderal Wiranto didampingi Kassospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono dan Assospol Kassospol Mayjen Mardiyanto menerima Ketua Umum NU Gus Dur.

Pada pertemuan tersebut, Jenderal Wiranto mengajak NU supaya membantu ABRI memulihkan situasi nasional dan cari solusi terbaik menghadapi kemelut yang sedang panas.

Gus Dur menyatakan dukungannya. Kemudian Jenderal Wiranto menugaskan Mayor Jenderal Mardiyanto untuk membuat pernyataan pers. Isinya ada lima butir. Salah satunya menyatakan NU sangat setuju keinginan Pak Harto untuk lengser keprabon.

Konsep pernyataan pers yang belum diteken Jenderal Wiranto itu sampai ke tangan Letjen Prabowo. Kemudian disampaikan ke Pak Harto malam harinya.

Tanggal 18 Mei sore hari, beberapa perwira tinggi menghadap Pak Harto di Cendana, secara terpisah; Pangkostrad Letjen Prabowo, Pangdam Jaya Mayjen Sjafri’e, KSAD Jenderal Subagyo HS, dan Panglima ABRI Jenderal Wiranto.

Pa Harto menanyakan kesiapan KSAD Jenderal Subagyo HS melaksanakan perintah memulihkan keamanan.

Jenderal Subagyo HS menyatakan Panglima ABRI yang mestinya mengemban tugas tersebut.

Akhirnya Pa Harto menyerahkan Inpres No.16/1998 kepada Jenderal Wiranto selaku Panglima Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional.

Jenderal Wiranto membicarakan soal ini dengan Kassospol Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono di Mabes TNI Merdeka Barat.

“Kalau begitu saya ikut jenderal,” kata Letnan Jenderal Yudhoyono sambil menyalami Wiranto.

Tanggal 21 Mei, Presiden Suharto menyatakan berhenti. Mbak Tutut membantu menuliskan pidato pernyataan berhenti tersebut dengan tulisan tangan.

Malam harinya, Fadli Zon datang ke rumah Letjen TNI Prabowo untuk menyarankan supaya dia menghadap Presiden Habibie.

Pa Prabowo bersama Muchdi PR berangkat ke rumah Presiden Habibie di Patra Kuningan. Pulang dari sana, Muchdi PR menuju Jalan Suwiryo bertemu dengan Hartono Mardjono, Din Syamsuddin, KH Kholil Ridwan, Ahmad Sumargono di kantor IPS. Semuanya lega setelah Muchdi PR menceritakan jalannya pertemuan dengan Presiden Habibie.

Tapi besoknya, tanggal 22 Mei 1998, Letnan Jendral TNI Prabowo Subianto justeru diberhentikan dari posisi Panglima Kostrad dan diberi jabatan baru Komandan Sesko ABRI di Bandung.

Sejak itu, Prabowo Subianto jadi sasaran hujat selama berbulan-bulan. Semua yang "berbau" Prabowo disingkirkan.

THE END