Dr Abdul Chair: Analisis Yuridis - Teoritis Perkara Ahmad Dhani Pada PN Surabaya

Rabu, 27 Maret 2019

Faktakini.com

*ANALISIS YURIDIS-TEORETIS PERKARA AHMAD DHANI PRASETYO PADA PN SURABAYA*


*DR. H. ABDUL CHAIR RAMADHAN, SH, MH.*


Proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Surabaya dengan Terdakwa Ahmad Dhani Prasetyo (ADP) telah memasuki tahap pemberian Keterangan Ahli. Keterangan Ahli merupakan salah satu Alat Bukti sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP. Secara khusus para Ahli Hukum Pidana yang telah dan akan dihadirkan baik oleh Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum tentunya menyampaikan soal-soal tentang unsur-unsur pasal yang didakwakan, yakni Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait dengan ucapan ADP "...ini...idiot-idiot ini..." dalam Video Vlog. Kata-kata itu dianggap sebagai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik kepada para pendemo (in casu Koalisi Elemen Bela NKRI) saat akan berlangsungnya acara "Deklarasi 2019 Ganti Presiden".

Pasal 27 (3) UU ITE menyebutkan : "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Norma dalam pasal ini mengandung perbuatan yang dilarang, yakni penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagai perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) yang salah satu pengertiannya "tanpa hak" sebagai unsur objektif (objective onrecht element) dan kesalahan dalam bentuk "kesengajaan" sebagai unsur subjektif (subjective onrecht element).

Sebagaimana diketahui penerapan Pasal 27 (3) UU ITE harus merujuk kepada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict. Pada Penjelasannya disebutkan : "Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)." Penjelasan tersebut terkait dan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 50/PUU-VI/2008 yang menjelaskan bahwa penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menegaskan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan sebuah norma baru karena harus (absolut) merujuk pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Selain itu, Pasal 310 KUHP menyebutkan unsur "agar diketahui oleh umum" dalam artian pencemaran atas kehormatan dan/atau nama baik seseorang menjadi pidana jika dimaksudkan oleh pelaku agar diketahui oleh umum. Seiring dengan itu, keberlakuan Pasal 310 KUHP harus dilakukan dengan cara atau jalan “menuduh”. Sepanjang pengetahuan penulis, menuduh adalah perkataan yang menyerang kehormatan dan/atau nama baik seseorang dimaksudkan agar supaya tersiar kabar di masyarakat sebagai berita bohong atau populer dengan istilah "hoaks."

Penerapan hukum terhadap perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada praktiknya membutuhkan adanya pengaduan (klacht delict) dan oleh karenanya hanya korban orang perseorangan - bukan perkumpulan orang atau pun badan hukum - yang dapat memberikan kesaksian di persidangan. Dikatakan demikian oleh karena hanya dirinya yang merasakan "penderitaan" atas penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, bukan orang lain. Fakta di persidangan menunjukkan bahwa pihak yang memberikan kesaksian sebagi korban ternyata lebih dari satu orang. Diketahui pula, sekumpulan orang yang mengatasnamakan Koalisi Elemen Bela NKRI  (pihak pendemo) diwakilkan oleh Eko Pudjiono yang melaporkan ADP kepada Kepolisian. Fakta persidangan ini patut menjadi petunjuk bagi Hakim, bahwa tidak adanya orang perseorangan sebagai korban. Menjadi jelas bahwa sebenarnya perkara ADP tidak layak untuk dimajukan ke Pengadilan. Ucapan ADP tidaklah termasuk penghinaan kepada seseorang dalam artian menyerang kehormatan dan/atau nama baik dengan jalan menuduh, sebab faktanya ADP tidak menyebut atau menunjuk orang perseorangan dalam Video Vlog.

Analisis berikutnya adalah menyangkut perihal pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana ini sangat terkait dan ditentukan oleh faktor kesalahan (schuld) seseorang untuk dapat atau tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain, kesalahan dalam hukum pidana memiliki peranan penting guna menentukan pertanggungjawaban pidana. Kesalahan merupakan unsur subjektif yang menunjuk adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya atau dalam sistem hukum anglo saxon disebut "mens rea".

Pada tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana didakwakan, kesalahan yang ditandai dengan adanya suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus) merupakan sebagai inti delik (bestandeel delict). Oleh karenanya harus dibuktikan Penuntut Umum di depan persidangan. Penuntut Umum harus mampu mengkonkritkan serta mengobjektifkan kesengajaan tersebut, sebab disebutkan secara expressive verbis. Lain halnya jika tidak disebutkan, maka ketika semua unsur terpenuhi, maka kesengajaan dianggap ada dan  terpenuhi. Namun, sepanjang pengalaman penulis dalam berbagai kesempatan sebagai Ahli Hukum Pidana dalam perkara ITE antara lain : Buni Yani, Alfian Tanjung, Jonru Ginting, Asma Dewi, Rini Sulistiawati, termasuk ADP pada PN Jakarta Selatan, Penuntut Umum tidak mampu menguraikan perihal kesengajaan tersebut. Hal ini harus menjadi catatan dan evaluasi bagi institusi Kejaksaan.

Secara normatif perbuatan tidak dapat menjadikan seseorang bersalah, melainkan pikirannyalah yang menjadikan perbuatan tersebut salah dan kemudian mengarahkan pelaku untuk mewujudkan perbuatan.  Dengan kata lain, terbentuknya kesalahan menurut hukum pidana ditentukan oleh sikap batin seseorang. Sikap batin inilah yang kemudian telah mendorong pikirannya untuk melakukan sesuatu perbuatan termasuk pula mengharapkan terjadinya akibat. Kesalahan selalu ditandai dengan adanya pikiran yang berujung melahirkan suatu tindakan atau juga timbulnya akibat yang dilarang oleh hukum pidana. Pada perkara ADP, kesalahan yang menunjuk adanya penggunaan pikiran secara salah tidak terpenuhi, sebab tidak ada petunjuk pada yang bersangkutan adanya kehendak menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Dikatakan demikian, ADP tidak menunjuk atau menyebut secara spesifik seseorang yang dimaksudkan. Tiada kehendak untuk mendorong dirinya dalam hal mewujudkan perasaannya.

Secara teoretik dan praktik, untuk menentukan adanya kehendak, tolok ukurnya adalah kesengajaan sebagai wujud penggunaan pikiran yang diarahkan untuk terjadinya tindak pidana. Pada setiap kehendak juga di dalamnya terkandung pengetahuan. Menurut doktrin “willen en wetens”, dalam diri seseorang haruslah mengetahui perbuatan dan akibat yang timbul. Pada Pasal 310 KUHP terdapat frasa “Barang siapa sengaja”, menurut doktrin apabila pembentuk undang-undang menyebutkan "dengan sengaja", maka di dalamnya terkandung 3 (tiga) corak/gradasi kesengajaan, dan tentunya bersifat alternatif apakah dengan maksud (als oogmerk), sadar kepastian (dolus directus) atau sadar kemungkinan (dolus eventualis). Selanjutnya pasal aquo menyebutkan “...yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum...” Dengan demikian, pasal ini telah membatasi kesengajaan itu adalah hanya  “dengan maksud”.

Lebih lanjut, dilihat dari perspektif kemampuan bertanggung jawab, maka terdapat dua faktor penting. Pertama, faktor akal pikiran untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang oleh hukum. Kedua, faktor perasaan atau kehendak yang menentukan kehendaknya dengan menyesuaikan kelakuannya dengan penuh kesadaran atau dilakukan secara bebas (tanpa tekanan/paksaan). Apabila mengacu kepada ajaran "willen en wettens",  maka perbuatan tersebut dikehendaki dan sekaligus diketahuinya. Terkait dengan hal ini terdapat tiga teori, yakni teori kehendak, teori pengetahuan dan teori gabungan. Menurut teori kehendak, suatu perbuatan dikatakan telah disengaja apabila perbuatan tersebut dikehendaki oleh pelaku. Di sini tidak dipersoalkan apakah pelaku mengetahui atau tidak bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan suatu akibat tertentu. Berlainan dengan teori kehendak, menurut teori pegetahuan bahwa suatu perbuatan dikatakan telah disengaja apabila perbuatan tersebut diketahui oleh pelaku dan diketahui pula akibat yang terjadi. Kemudian, teori gabungan yang menggabungkan kehendak dan pengetahuan.

Jika kita analisis perkataan ADP dengan "teori kehendak" (von Hippel) - yang menegaskan bahwa akibat suatu perbuatan itu memang dikehendaki dan menjadi  maksud dari perbuatan itu - tentulah tidak ada hubungan batin (in casu ADP) dengan perbuatannya, sebab yang bersangkutan tidak menghendaki ucapannya tersebut diarahkan kepada seseorang, kecuali disebutkan secara spesifik orang yang dimaksud. Begitu pun analisis dengan "teori membayangkan" (Frank) - yang menegaskan seseorang hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat - juga tidak terpenuhi, sebab dirinya tidak mengetahui dan tentunya tidak mengenali satu-persatu orang-orang yang mendemonya. Sebab, antara ADP dengan sekelompok orang tersebut berada dalam jarak yang tidak dekat dan dibatasi oleh bangunan.

Terlepas dari berbagai teori tersebut di atas dan sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya bahwa fakta di persidangan menunjukkan tidak adanya korban yang “menderita” secara langsung, menjadi petunjuk tiadanya akibat dari perkataan ADP dan oleh karenanya secara hukum ADP tidak dapat didakwakan telah melakukan perbuatan yang dapat dicelakan kepadanya serta telah sengaja (dengan maksud) melakukan penghinaan dan/atau mencemarkan nama baik seseorang.

Faktor kesalahan demikian menentukan untuk dapat tidaknya seseorang dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan, "Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila  pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya." Berdasarkan ketentuan ini, maka unsur kesalahan yang berdasarkan adagium yang terkenal,  “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld) atau  “perbuatan tidak membuat orang bersalah, kecuali jika terdapat sikap batin yang salah" (actus non facit reum, nisi mens sit rea) menjadi dasar bagi Hakim dalam menentukan pertanggungjawaban pidana.

Pada akhirnya Hakim yang akan memutuskan melalui tiga tahap. Pertama, tahap konstatir,  Hakim hanya mempertimbangkan terbukti tidaknya perbuatan (in casu perkataan "idiot") sebagai perbuatan melawan hukum (tanpa hak). Tegasnya membuktikan celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana. Kedua, tahap kualifisir, jika dalam tahap konstatir terpenuhi berdasarkan alat-alat bukti yang membuat Hakim berkeyakinan dan tidak ada keraguan sedikit pun bahwa perbuatan itu adalah tindak pidana dan terdakwa yang melakukannya. Kemudian, Hakim mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa secara komprehensif yang menunjuk pada kesengajaan sebagai pertanda kesalahan. Ketiga, tahap konstituir, pada tahap ini Hakim telah memandang pertimbangan konstatir dan kualifisir telah terpenuhi, maka yang dipertimbangkan berikutnya adalah dapat atau tidaknya terdakwa dipidananya.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa perkataan ADP tidak memenuhi unsur objektif dan unsur subjektif. Antara sikap batin ADP dengan perkataannya tidak terdapat hubungan sama sekali. ADP tidak menggunakan pikirannya secara salah dan dia tidak menggerakkannya kepada perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang ditujukan kepada orang perseorangan. Dirinya tidak bermaksud menghina atau mencemarkan nama baik seseorang, dan memang faktanya tidak ada korban. Demikian, semoga bermanfaat.

Jakarta, 26 Maret 2019.

Penulis : Dosen Tetap Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Posting Komentar untuk "Dr Abdul Chair: Analisis Yuridis - Teoritis Perkara Ahmad Dhani Pada PN Surabaya"