Dr Abdul Chair Ramadhan: Kajian Indikasi Kecurangan Pilpres 2019

Jum'at, 1 Maret 2019

Faktakini.com

KAJIAN INDIKASI KECURANGAN PILPRES 2019

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.

Ketua Umum HRS Center
PENDAHULUAN
Pilpres tahun 2019 diyakini oleh sejumlah pihak akan terjadi kecurangan, sebagaimana terjadi
pada Pilpres tahun 2014 yang lalu. Pada waktu itu, Prabowo-Hatta menuding KPU melakukan
kecurangan terstruktur, sistematis dan masif dengan pengabaian Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) sebagai sumber penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Pengabaian itu
berujung manipulasi data DPT dan akhirnya berdampak sistemik hingga menimbulkan terjadinya
kecurangan dalam proses pilpres yang menguntungkan Jokowi-JK.

Prabowo-Hatta juga mecurigai tingginya jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) adalah
strategi mobilisasi massa untuk memenangkan Jokowi-JK.

Pendapat adanya indikasi kecurangan tidak dapat dipandang sebelah mata, menurut penulis peluang terjadinya kecurangan menunjuk pada regulasi yang membuka ruang penambahan jumlah pemilih.

Dalam implementasinya
ternyata sangat sulit dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Klaim penambahan pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap yang sampai dengan saat ini belum jelas keberadaannya, menimbulkan suatu dugaan akan adanya rekayasa “transfer suara”, sehingga
terjadi penggelembungan perolehan suara tidak sah.

Penambahan jumlah pemilih sangat diragukan keakuratannya dan tentunya termasuk kepastian pemberian suara di TPS adalah suatu model klaim suara pada saat perhitungan suara secara nasional.

Pemilih dimaksud adalah
penyandang disabilitas yang ramai disebut “orang gila”, atau lebih dikenal dengan sebutan “Orang
Dengan Gangguan Kejiwaan” (ODGK).
Padahal, peristilahan tersebut tidak dikenal dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata laksana Pemilihan Umum.

Dapat
dikatakan, penyebutan yang demikian adalah bentuk “penyesatan” informasi publik dan dengannya terjadi pengalihan perhatian untuk kepentingan taktis penggelembungan suara
dengan jumlah yang cukup fantastis.

Hal ini sesuai dengan pemberitaan adanya penambahan DPT sebanyak 31 juta pemilih.

Kondisi demikian memerlukan deteksi dini, dan langkah antisipasi
terhadap berbagai kemungkinan yang akan timbul baik pra pemungutan suara maupun pasca
pengumuman suara oleh KPU yang berujung pada persengketaan di Mahkamah Konstitusi.

PERMASALAHAN

1. Penyandang Disabilitas
Adanya penambahan pemilih bukan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum1
, namun didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan
hak. (Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 ayat 1 dan ayat 2).

Penyandang Disabilitas diakui sebagai subjek hukum (Pasal 9 huruf b), dan memiliki hak untuk memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum. (Pasal 13 huruf c).

Berdasarkan ketentuan
adanya hak Penyandang Disabilitas dalam pemilihan umum, maka menjadi persoalan serius, seberapa banyak jumlah Penyandang Disabilitas berdasarkan klasifikasinya dan ternyata
sampai dengan saat ini keberadaan jumlah Penyandang Disabilitas yang layak untuk memberikan suaranya pada Pemilu 2019 belum ada kejelasannya.

Menurut PKPU No.11
Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum,
disebutkan bahwa Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) - yang berisikan data penduduk yang memenuhi persyaratan sebagai Pemilih pada saat Pemilu diselenggarakan -
harus memuat informasi tentang jenis disabilitas (Pasal 6 huruf l.)

Lebih lanjut, Pemilih yang sedang terganggu jiwa/ingatannya memerlukan pembuktian surat
keterangan dokter sebagaimana diatur dalam Pasal 4 secara mutatis mutandis para
Penyandang Disabilitas, khususnya Disabilitas Mental tidak memerlukan surat keterangan dokter yang menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak sedang terganggu jiwa / ingatannya.

Dengan lain perkataan, untuk dapat didiskualifikasi sebagai pemilih harus terlebih dahulu adanya surat keterangan dokter yang menerangkan bahwa yang
bersangkutan memang sedang terganggu jiwa/ingatannya.

Menjadi pertanyaan, kepada
siapakah kewajiban permintaan surat keterangan dokter dimaksud? Norma hukum demikian,
menimbulkan ketidakpastian hukum, sepatutnya secara a contrario pemilih dari kalangan Disabiltas Mental yang berhak untuk memilih harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter, bukan sebaliknya.

(1 Dalam UU Pemilu tidak terdapat norma hukum yang mengatur tentang penyandang Disabilitas Mental sebagai
pemilih Pemilu.

Tegasnya, penyandang Disabilitas Mental tidak dikenal dan oleh karenanya tidak termasuk sebagai pemilih Pemilu, bagi Pileg maupun Pilpres. UU Pemilu hanya mengenal dan mengakui pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih, sebagaimana disebut dalam Pasal 356 ayat (1) UU Pemilu)

 Selain itu, apakah ada jaminan bahwa Penyandang Disabilitas yang
diklaim telah didata kemudian dapat dipastikan seberapa banyak yang telah memberikan
suaranya dalam Pemilu, khususnya Pilpres.
Mengingat penyandang Disabilitas Mental (Tuna Grahita) tidak disebut sebagai pemilih Pemilu
dalam UU Pemilu, maka menimbulkan pertanyaan serius, apa landasan hukum PKPU yang
mengatur tentang penyandang Disabilitas Mental sebagai pemilih Pemilu. Terlebih lagi dalam

Butir Mengingat PKPU tidak ada disebut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

2. Alat Bukti Elektronik
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka pembuktian pada saat sidang di Mahkamah Konstitusi terkait adanya dugaan kecurangan dalam perhitungan perolehan suara Pemilu, khususnya Pilpres.

PKPU No.11 Tahun 2018 sebagai dasar hukum keberadaan Sistem Informasi Data Pemilih
(Sidalih) - sistem elektronik dan teknologi informasi yang digunakan untuk proses kerja penyelenggara Pemilu atau Pemilihan dalam menyusun, mengkoordinasi, mengumumkan
dan memelihara data Pemilih – sangat terkait dengan keberadaan UU ITE.

Dengan demikian,
dokumen elektronik
2 yang terdapat dalam Sidalih, baik Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah (Pasal 5
ayat 1 UU ITE). Kerberlakuan alat bukti menurut UU ITE juga mencakup Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik perhitungan suara yang direkapitulasi oleh KPU.

Terkait adanya
indikasi penggelembungan jumlah pemilih dan ketika terjadi gugatan atas adanya dugaan kecurangan Pemilu di Mahkamah Konsitutusi, maka persoalannya adalah menunjuk pada
keberadaan jumlah pemilih yang sebelumnya telah melalui proses pendataan sebagaimana
diatur dalam PKPU No.11 Tahun 2018.

(2 Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.)

3. Modus Kecurangan
Pertambahan jumlah pemilih yang tidak dapat dijelaskan dan diverifikasi keberadaannya,
menjadi pertanda kuat adanya penggelembungan suara pada saat proses perhitungan suara.

Penggelembungan suara dimaksud bukan diartikan dimanfaatkan pada saat pemberian suara
di TPS, melainkan akan tranfer ke dalam sistem informasi elektronik KPU.

Melihat jumlah TPS
yang demikian banyak, yakni 801.838 TPS, maka jika rata-rata per TPS (maksimal 300 pemilih) terjadi penambahan pemilih melalui sistem informasi elektronik sebanyak 10% didapatkan angka sekitar 24 juta suara.

Dalam rangka pembuktian memastikan adanya penambahan yang tidak sah tersebut, tentulah sangat menyulitkan, mengingat jumlah TPS yang demikian banyak.

Seandainya pun dapat dibuktikan adanya kecurangan dimaksud,
maka angka yang dipermasalahkan harus siqnifikan berpengaruh terhadap kekalahan salah
satu Paslon.

Maksudnya, perolehan suara tidak sah tersebut harus menyebabkan perolehan suara pihak lawan berada di bawah perolehan suara sah penggugat.

Inilah kesulitan yang sangat nyata untuk membuktikan kecurangan yang dilakukan pihak lawan.

Selain itu, harus pula dibuktikan bahwa kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis dan
massif berdampak sistemik bagi perolehan suara. Hal tersebut menjadi acuan dalam putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada Pilpres tahuun 2014 yang lalu.

Terkait dengan indikasi penggelembungan suara, maka kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif harus pula dibuktikan dari proses pendataan yang kemudian menjadi DPT dan
kemudian dibuktikan pula penyebarannya secara terorganisir yang berakibat sistemik.

REKOMENDASI

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rekomendasi guna mengantisipasi terjadinya kecurangan pada Pilpres yang sebentar lagi kita laksanakan.

Berbagai permasalahan
sebagaimana diuraikan sebelumnya, harus disikapi dengan pendekatan sistemik pula.

Setidaknya terdapat tiga langkah yang harus dilakukan secara komprehensi, yakni pertama, melakukan verifikasi data pemilih terhadap DPT yang mengalami penambahan jumlah pemilih, termasuk
tetapi tidak terbatas penyandang disabilitas. KPU harus membuka data pertambahan pemilih
untuk selanjutnya dilakukan veifikasi aktual.

Kedua, KPU harus mengumumkan berapa banyak pengadaan Surat Suara yang dibutuhkan untuk Pilpres dan juga perincian pendistribusian kesemua TPS baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Terhadap pendistribusian Surat Suara tersebut, maka akan diketahui kesesuaiannya dengan kebutuhan riil dilapangan. Adapun terhadap
sisa Surat Suara harus pula diketahui oleh masing-masing kontestan dan harus pula dipastikan

tidak terjadi penyalahgunaan sisa Surat Suara dimaksud. Ketiga, sangat diperlukan adanya sinergitas diantara elemen yang terkait dengan Badan Pemenangan Nasional.

Untuk kepentingan
ini diperlukan banyaknya relawan pada masing-masing wilayah yang ditengarai rawan adanya
kecurangan, seperti daerah yang mengalami penambahan pemilih termasuk khususnya pemilih
Disabilitas Mental atau yang diistilahkan oleh PKPU Tuna Grahita. Relawan yang dimaksudkan disini, bukan saja bertindak sebagai Saksi di TPS, namun juga mampu melakukan verifikasi terhadap adanya penambahan pemilih yang patut diragukan. Khusus, Tuna Grahita harus
dipastikan seberapa banyak yang melakukan pemberian suara dari data yang ada.

Verifikasi ini berguna dalam hal terjadi transfer suara saat perhitungan KPU melalui sistem elektronik yang juga
ditengarai tidak aman dari aksi sedot data maupun penggelembungan suara.

Dalam rangka optimalisasi sinergitas terkait fungsi pencegahan dan penanggulangan diperlukan adanya suatu
gerakan keumatan secara nasional guna menampung giat-giat strategis dimaksudkan.