Framing Lembaga Survei (Memahami Betapa Jahatnya Survei Yang Tidak Jujur)

Selasa, 19 Maret 2019

Faktakini.com

FRAMING LEMBAGA SURVEI
(Memahami Betapa Jahatnya Survei Yang Tidak Jujur)

Oleh : Nasrudin Joha

Framing adalah membingkai sebuah peristiwa, atau dengan kata lain framing digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan atau media massa ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Pada mulanya, framing hanya dipergunakan untuk mengetahui narasi apa yang dibangun oleh media dalam membingkai sebuah peristiwa.

Tetapi belakangan framing juga dilakukan pada survei. Jahatnya, survei tidak terikat dengan fakta. Survei hanya terikat dengan data, dan data itu mutlak hak eksklusif dan otoritas lembaga survei.

Pada framing media, Anda tidak mungkin mendapati berita yang diframing dari konten yang tidak faktual. Framing, tidak mungkin berdiri tanpa basis fakta. Framing hanya berfungsi membelokan opini pembaca, bukan membuat fakta hoax.

Misalnya saja, fakta Saeni menjual makanan di Warung Tegal secara terbuka saat ramadhan yang ditertibkan Satpol PP di kota Serang. Faktanya ada, tidak mungkin dimanipulasi. Media, hanya memframing tindakan Saeni yang tidak menghormati bulan Ramadhan berubah menjadi isu hak asasi Saeni yang berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Dibuatlah wawancara bagaimana kehidupan Saeni yang heroik, musti bertaruh nyawa untuk menyambung hidup. Kesimpulan akhir, pembaca akan diajak membuat kesimpulan dan opini kejam sekali Satpol PP yang menertibkan Saeni. Padahal, Saeni sedang bertaruh hidup untuk menyambung nyawa. Fakta Saeni tidak menghormati orang yang berpuasa di bulan Ramadhan hilang.

Framing media dengan menyuguhkan sosok Saeni yang menjadi pahlawan ini tetap berasal dari fakta. Fakta bahwa Saeni jual makanan warteg secara terbuka saat bulan Ramadhan.

Framing pada dunia jurnalistik itu lumrah, karena setiap media memiliki visi. Anda tidak perlu aneh, jika suguhan jurnalisme kompas selalu 'tidak ramah' pada aspirasi Islam. Anda juga bisa paham, betapapun berat bagi republika, pada isu tertentu republika akhirnya tetap berpihak terhadap aspirasi Islam. Pemberitaan Reuni 212 contohnya.

Bagaimana dengan framing survei ? Apakah itu berasal dari fakta yang bisa diverifikasi ? Disinilah letak jahatnya lembaga survei yang bisa memiliki status 'pelacur intelektual'.

Coba Anda perhatikan : saat lembaga survei koor membuat survei capres tertentu menang telak atas capres lainnya, sesungguhnya lembaga ini sedang bekerja melakukan 'framing' untuk mengokohkan keyakinan dan opini publik bahwa capres tertentu akan menjadi pemenang.

Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh SMRC, LSI, dan banyak lagi yang secara koor mengabarkan Jokowi memiliki elektabilitas tinggi, menang survei ketimbang Prabowo dengan berbagai varian prosentase, sesungguhnya lembaga ini sedang bekerja melakukan 'framing' dalam mengokohkan keyakinan dan opini publik bahwa capres Jokowi akan menjadi pemenang.

Bedanya, framing media itu masih nyambung dan berdasarkan fakta berita. Publik masih bisa melakukan uji validitas fakta. Sementara lembaga survei ? Tidak ada fakta yang dijadikan rujukan, lembaga survei hanya mendasarkan hasil survei dari data eksklusif yang hanya mereka yang memiliki dan menguasai. Publik, tidak memiliki akses untuk memverifikasi otentitas data primer yang dibagikan rujukan survei. Opsinya cuma dua : percaya silahkan, tidak percaya monggo.

Padahal, jika diuji dengan fakta bagaimana mungkin Jokowi unggul survei ? Didunia maya juga didunia nyata, faktanya Jokowi kalah jauh dari Prabowo. Sederhana saja, kunjungan Jokowi selalu sepi -kontras dengan Prabowo- yang selalu ramai dan dielu-elukan rakyat.

Lantas, apa jaminannya jika data primer yang dijadikan dasar survei itu tidak subjektif. Misalkan saja, ternyata yang disurvei LSI Deny JA itu sumbernya adalah survei terhadap kader PDIP dan Nasdem yang diambil samplingnya secara acak di berbagai daerah yang kemudian diklaim survei ilmiah dengan margin error tertentu. Bukankah wajar jika hasil survei yang menang Jokowi ? Padahal, apakah penduduk bumi ini hanya terdiri dari orang PDIP dan Nasdem ? Itulah culasnya lembaga survei.

Lembaga survei sedang mengkondisikan keadaan, yang jika ini berhasil -meskipun Pilpres curang- akan dibenarkan oleh benak publik yang terpengaruh angka-angka survei. Putusan KPU, jika kelak tidak fair hasilnya seolah real sebab akan dibenarkan karena sejalan dengan angka-angka survei yang telah dirilis. Ini berbahaya !

Saya tidak menuduh semua lembaga survei tidak jujur. Tapi dalam kasus survei Jokowi, sulit untuk menolak kesimpulan bahwa sedang terjadi pengkondisian opini publik melalui Framing Survei. Survei yang terjadi bukanlah menculik bagian tubuh sapi untuk mengukur rasa 'daging sapi'. Tapi survey terhadap kutu di tubuh sapi, yang kelak diklaim sebagai 'rasa daging sapi'.

Namun, ada efek domino dariraming survei ini. Karena terlalu melawan fakta dan logika publik, justru framing survei yang kelewatan ini mendapat penentangan publik.

Pada kasus survei yang selalu mengunggulkan Jokowi, telah memantik perlawanan publik tidak saja dari kubu BPN Prabowo. Segenap rakyat yang masih waras, yang mampu mengindera dengan jelas bahwa rakyat pada faktanya sudah tidak menghendaki Jokowi, melakukan perjuangan lebih militan untuk membungkam framing lembaga survei.

Artinnya, framing survei yang kelewatan, terlalu banyak micin ini, memantik perlawanan akal sehat rakyat yang bersatu padu ingin membuktikan bahwa Jokowi faktanya kalah, bahkan telak. Jika kondisi ini mewabah dan menjadi gejala umum, maka 'rencana curang' yang menggunakan framing lembaga survei untuk melakukan pengkondisian akan hancur berantakan. Sebab, curang itu berhasil jika selisihnya tipis. Tapi jika selisih kekalahan Jokowi telak, ikhtiar curang dengan modus apapun akan menuai kegagalan.

Mengapa ? Sederhana saja, pemimpin itu berkontestasi untuk memimpin rakyat, bukan memimpin angka angka survei. Kasus Ahok di Pilkada DKI Jakarta menjadi bukti otentik, seberapa kuat framing survei nyatanya kalah telak dengan suara rakyat. Jika sudah begitu, rencana curang urung dilakukan karena dihantui ketakutan pada rakyat yang marah dan akan mencincang siapapun yang berbuat curang. [].