Jelang Pemilu 2019, Hari Tenang di Media Sosial, Perlukah?
Ahad, 24 Maret 2019
Faktakini.com
*Hari Tenang di Media Sosial, Perlukah?*
Menjelang masa pemilihan umum 17 April mendatang, Kominfo mengusulkan diadakannya hari tenang di media sosial selayaknya hari tenang di dunia nyata. Dengan demikian, pengguna medsos dilarang memposting apapun terkait politik ala demokrasi, yakni menebar opini, like atau share hal yang berkaitan dengan pemilu, terutama topik mengenai paslon nomor satu ataupun nomor dua. Bahkan, akan ada sanksi bagi pengguna sosmed yang melanggar aturan tersebut, diantaranya penghapusan postingan oleh sistem hingga pembekuan akun.
Menelaah hal tersebut, dapat kita temukan dua hal penting di balik usulan tersebut, yakni potensi besar media sosial bagi perpolitikan Indonesia dan juga pelanggaran hak berpendapat masyarakat.
Pertama, mengenai potensi besar dari media sosial, memang tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia memang menjadi salah satu Negara aktif dalam penggunaan media sosial di dunia. Sebagimana salah satu hasil survey global web index ditemukan fakta bahwa ada kenaikan pengguna internet sekitar 13 % sejak Januari 2018 hingga Januari 2019, dengan demikian ada penambahan jumlah pengguna internet hingga 17 juta orang dalam setahun. Sehingga, dari data tersebut dapat disimpulkan lebih dari 150 juta orang Indonesia menjadi pengguna aktif internet atau sosial media.
Hal tersebut tentu menjadikan media sosial tidak lagi dianggap sebelah mata. Dengan kata lain, ada potensi besar yang bisa diberdayakan dalam penggunaan media sosial. Maka tidak heran jika kemudian muncul usulan untuk membuat aturan baku terkait penggunaan sosial media, terlebih menjelang hari pemilihan umum mendatang. Usulan tersebut berkaitan erat dengan kehawatiran akan adanya opini besar yang digiring oleh salah satu kubu. Maka usulan tersebut pun menghasilkan pro dan kontra di masyarakat.
Bagimana tidak, usulan tersebut dirasa membatasi hak berpendapat masyarakat. Padahal Indonesia menyatakan diri sebagai Negara demokrasi yang mengusung paham kebebasab, salah satunya kebebasan berpendapat. Demikianlah hukum dalam demokrasi, dimana aturan dapat bebas dibuat dan diubah sebagaimana penguasa, pembuat kebijakan. Hukum yang diterapkan hanya yang mampu memberikan keuntungan bagi yang memiliki kepentingan semata. Keadilanpun nyatanya hanya omong kososng. Kebebasan berpendapat hanya diberikan pada mereka yang sepemahaman dengan penguasa, sebaliknya penguasa akan membungkam apapun kebenaran yang ada saat kebenara itu dirasa dapat merugikan kepemimpinannya.
Dengan demikian, pengaturan media sosial boleh saja dilakukan. Tentunya dengan aturan yang benar, yaitu berasal dari Yang Maha Benar, Alloh SWT. Aturan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah hukum syara. Dalam penerapannya, apabila ditemukan postingan atau konten dalam media sosial yang melanggar hukum syara, maka pengunggah atau pemilik akun harus segera dihukum dengan hukuman yang membuat jera. Sehingga dampak sosial mendia dapat membawa pada dampak positif, bukan negatif. Wallahu’alam.
Bella Septiani Faryan, S.Pd.
Aktivis Muslimah Kota Banjar
http://pikiranumat.com/hari-tenang-di-media-sosial-perlukah/
Faktakini.com
*Hari Tenang di Media Sosial, Perlukah?*
Menjelang masa pemilihan umum 17 April mendatang, Kominfo mengusulkan diadakannya hari tenang di media sosial selayaknya hari tenang di dunia nyata. Dengan demikian, pengguna medsos dilarang memposting apapun terkait politik ala demokrasi, yakni menebar opini, like atau share hal yang berkaitan dengan pemilu, terutama topik mengenai paslon nomor satu ataupun nomor dua. Bahkan, akan ada sanksi bagi pengguna sosmed yang melanggar aturan tersebut, diantaranya penghapusan postingan oleh sistem hingga pembekuan akun.
Menelaah hal tersebut, dapat kita temukan dua hal penting di balik usulan tersebut, yakni potensi besar media sosial bagi perpolitikan Indonesia dan juga pelanggaran hak berpendapat masyarakat.
Pertama, mengenai potensi besar dari media sosial, memang tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia memang menjadi salah satu Negara aktif dalam penggunaan media sosial di dunia. Sebagimana salah satu hasil survey global web index ditemukan fakta bahwa ada kenaikan pengguna internet sekitar 13 % sejak Januari 2018 hingga Januari 2019, dengan demikian ada penambahan jumlah pengguna internet hingga 17 juta orang dalam setahun. Sehingga, dari data tersebut dapat disimpulkan lebih dari 150 juta orang Indonesia menjadi pengguna aktif internet atau sosial media.
Hal tersebut tentu menjadikan media sosial tidak lagi dianggap sebelah mata. Dengan kata lain, ada potensi besar yang bisa diberdayakan dalam penggunaan media sosial. Maka tidak heran jika kemudian muncul usulan untuk membuat aturan baku terkait penggunaan sosial media, terlebih menjelang hari pemilihan umum mendatang. Usulan tersebut berkaitan erat dengan kehawatiran akan adanya opini besar yang digiring oleh salah satu kubu. Maka usulan tersebut pun menghasilkan pro dan kontra di masyarakat.
Bagimana tidak, usulan tersebut dirasa membatasi hak berpendapat masyarakat. Padahal Indonesia menyatakan diri sebagai Negara demokrasi yang mengusung paham kebebasab, salah satunya kebebasan berpendapat. Demikianlah hukum dalam demokrasi, dimana aturan dapat bebas dibuat dan diubah sebagaimana penguasa, pembuat kebijakan. Hukum yang diterapkan hanya yang mampu memberikan keuntungan bagi yang memiliki kepentingan semata. Keadilanpun nyatanya hanya omong kososng. Kebebasan berpendapat hanya diberikan pada mereka yang sepemahaman dengan penguasa, sebaliknya penguasa akan membungkam apapun kebenaran yang ada saat kebenara itu dirasa dapat merugikan kepemimpinannya.
Dengan demikian, pengaturan media sosial boleh saja dilakukan. Tentunya dengan aturan yang benar, yaitu berasal dari Yang Maha Benar, Alloh SWT. Aturan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah hukum syara. Dalam penerapannya, apabila ditemukan postingan atau konten dalam media sosial yang melanggar hukum syara, maka pengunggah atau pemilik akun harus segera dihukum dengan hukuman yang membuat jera. Sehingga dampak sosial mendia dapat membawa pada dampak positif, bukan negatif. Wallahu’alam.
Bella Septiani Faryan, S.Pd.
Aktivis Muslimah Kota Banjar
http://pikiranumat.com/hari-tenang-di-media-sosial-perlukah/