Klasifikasikan Hoax sebagai Teror, Ahli IT: Langkah Pemerintah Membahayakan
Kamis, 21 Maret 2019
Faktakini.com, Jakarta - Kebijakan pemerintah yang mengklasifikasikan pembuatan dan penyebaran hoax atau kabar bohong di jaringan internet sebagai bentuk teror dinilai membahayakan.
Menurut pegiat teknologi informasi Heru Sutadi, penerapan pula UU Terorisme, dan bukan UU ITE, untuk menindak pembuat dan penyebar hoaks, membuat aparat penegak hukum bisa bertindak di luar batas kewajaran.
"Diterapkannya UU Terorisme itu terlalu berlebihan, dan berbahaya. Berbahayanya, kalau sekarang misalnya, orang (pembuat dan penyebar hoax) yang dianggap teroris itu kabur, lantas ditembak, itu kan berbahaya," ujar Heru saat dihubungi VIVA pada Rabu, 20 Maret 2019.
Heru menyampaikan, dipandang dari segi hukum, pemerintah sebenarnya bisa lebih memanfaatkan UU ITE untuk menindak para pelaku hoax. Pasal 27 ayat (3) UU ITE dinilai sebagai ketentuan yang paling tepat untuk menindak para pelaku hoax.
"Kalau misalnya ada seseorang yang merasa dicemarkan nama baiknya, difitnah, sebenarnya gunakan UU ITE saja, pasal 27 ayat (3). Itu bisa dipakai. Hanya harus melapor ke kepolisian saja," katanya.
Meski dianggap sangat membahayakan oleh pemerintah, hoax tidak bisa disamakan sebagai aksi teror. Ada cara-cara yang dinilai elegan untuk menanggulanginya ketimbang cara sama yang dipakai terhadap teroris.
"Pembuat teror itu orang yang menghilangkan nyawa orang. Kalau menurut saya, hoax dan teror tidak akan bisa disamakan," ujar Heru.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto sebelumnya menegaskan bahwa kalangan yang menjadi penyebar berita bohong atau hoax menjelang pemilu 2019 akan dijerat Undang-Undang Terorisme.
Menurut mantan panglima TNI itu, penyebaran hoaks bisa pula dikategorikan sebagai teror psikologis karena membuat masyarakat merasa ketakutan karena berita bohong yang mereka buat.
"Terorisme itu kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk kemudian mereka takut ke TPS, itu sudah terorisme. Maka tentu kita gunakan Undang-Undang Terorisme," ujar Wiranto usai konferensi video pengamanan Pemilu di Kemenko Polhukam, Jakarta.
Foto: Heru Sutadi ahli IT
Sumber: Viva
Faktakini.com, Jakarta - Kebijakan pemerintah yang mengklasifikasikan pembuatan dan penyebaran hoax atau kabar bohong di jaringan internet sebagai bentuk teror dinilai membahayakan.
Menurut pegiat teknologi informasi Heru Sutadi, penerapan pula UU Terorisme, dan bukan UU ITE, untuk menindak pembuat dan penyebar hoaks, membuat aparat penegak hukum bisa bertindak di luar batas kewajaran.
"Diterapkannya UU Terorisme itu terlalu berlebihan, dan berbahaya. Berbahayanya, kalau sekarang misalnya, orang (pembuat dan penyebar hoax) yang dianggap teroris itu kabur, lantas ditembak, itu kan berbahaya," ujar Heru saat dihubungi VIVA pada Rabu, 20 Maret 2019.
Heru menyampaikan, dipandang dari segi hukum, pemerintah sebenarnya bisa lebih memanfaatkan UU ITE untuk menindak para pelaku hoax. Pasal 27 ayat (3) UU ITE dinilai sebagai ketentuan yang paling tepat untuk menindak para pelaku hoax.
"Kalau misalnya ada seseorang yang merasa dicemarkan nama baiknya, difitnah, sebenarnya gunakan UU ITE saja, pasal 27 ayat (3). Itu bisa dipakai. Hanya harus melapor ke kepolisian saja," katanya.
Meski dianggap sangat membahayakan oleh pemerintah, hoax tidak bisa disamakan sebagai aksi teror. Ada cara-cara yang dinilai elegan untuk menanggulanginya ketimbang cara sama yang dipakai terhadap teroris.
"Pembuat teror itu orang yang menghilangkan nyawa orang. Kalau menurut saya, hoax dan teror tidak akan bisa disamakan," ujar Heru.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto sebelumnya menegaskan bahwa kalangan yang menjadi penyebar berita bohong atau hoax menjelang pemilu 2019 akan dijerat Undang-Undang Terorisme.
Menurut mantan panglima TNI itu, penyebaran hoaks bisa pula dikategorikan sebagai teror psikologis karena membuat masyarakat merasa ketakutan karena berita bohong yang mereka buat.
"Terorisme itu kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk kemudian mereka takut ke TPS, itu sudah terorisme. Maka tentu kita gunakan Undang-Undang Terorisme," ujar Wiranto usai konferensi video pengamanan Pemilu di Kemenko Polhukam, Jakarta.
Foto: Heru Sutadi ahli IT
Sumber: Viva