Wacana Wiranto Soal Hoax Dijerat UU Terorisme Dinilai Berlebihan Oleh Peneliti Terorisme

Kamis, 21 Maret 2019

Faktakini.com, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, menganggap penyebaran informasi bohong alias hoaks sama dengan terorisme.

Dia menilai keduanya sama-sama mengancam dan membuat masyarakat jadi takut, sehingga dia mewacanakan penggunaan Undang-Undang Terorisme untuk menangani teror hoaks.

Menanggapi itu, Peneliti Terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, menyebut Wiranto berlebihan. Bahkan sarat dengan otoriter.

"Saya ingin tertawa dengar komentar Menkopolhukam Wiranto. Itu sudah terlalu jauh. Mendengar pernyataan tersebut, pikiran saya melayang ke masa lalu, masa orde baru yang kelam bagi perjalanan demokrasi kita, sebuah masa di mana negara dikelola secara otoriter dan militeristik," kata Khairul Fahmi dihubungi VIVA, Kamis, 21 Maret 2019.

Menurut Fahmi, analogi-analogi yang disampaikan oleh Wiranto, seperti masyarakat takut berangkat ke tempat pemungutan suara untuk mencoblos karena terancam oleh berita hoaks, itu tidak masuk akal. Fahmi bahkan menilai Wiranto gagal memahami UU tentang Terorisme.

"Undang-Undang No 5 tahun 2018 tentang pemberantasan terorisme sendiri jelas mendefinisikan bahwa terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, timbulkan kerusakan/kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan," kata Fahmi.

Fahmi menyadari terdapat 'grey area' dalam motif di UU Terorisme ?yang memungkinkan jadi multitafsir.

Pertama, motif politik. Kedua, motif gangguan keamanan. Namun definisi tersebut, lanjut dia, telah jelas membatasi bentuk ancaman, perbuatan, dan dampaknya yang masuk kategori sebagai teror.

"Lalu ada masalah lain. Kita memang belum punya payung hukum yang rigid dan memadai untuk mengurus soal hoaks ini. Memang ada UU ITE, tapi itupun tak memadai, bahkan cenderung mudah disalahgunakan dan berpotensi abuse of power karena banyaknya pasal karet dalam undang-undang itu," ujar Fahmi.

Jadi hoaks sama sekali tidak sama dengan ancaman teror. Setidaknya itu bukan kelompok perbuatan pidana seperti diatur dalam UU Pemberantasan Terorisme.

Fahmi menyadari fenomena hoaks menggila di tengah-tengah penyelenggaraan pemilu, sampai Kementerian Komunikasi dan Informatika kerepotan meredam hoaks tersebut.

Kendati demikian, ditekankan dia, kerepotan pemerintah itu justru letak masalahnya. Pemerintah, kata Fahmi, menunjukkan kegagalan dan ketidakmampuan dalam pengelolaan, baik antisipasi maupun penindakannya.

"Mudah diduga, pemerintah panik. Pernyataan bahwa penyebaran konten hoaks bisa ditindak berdasar UU Terorisme itu solusi panik, solusi yang menunjukkan ketakutan berlebihan atas hal-hal yang belum tentu terjadi. Saya justru melihat arah baru penegakan hukum atas hoaks itu bisa lebih menakutkan, mengkhawatirkan dan meresahkan daripada konten dan sebaran hoaknya sendiri," kata Fahmi.

Apabila dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilu, dia menyebut, ada kecemasan yang diperlihatkan pemerintah. Padahal tak semestinya pemerintah menunjukkan hal tersebut.

"Jadi menurut saya pernyataan Menkopolhukam Wiranto itu tak perlu ada karena justru meresahkan masyarakat. Buka karena ancaman hukuman bagi pelaku penyebaran hoaks, tapi karena pemerintah cemas menghadapi potensi gangguan keamanan penyelenggaraan pemilu. Tidak menenangkan sama sekali," kata Fahmi.

Sumber: Viva