Fakta Majunya Indonesia Saat PDIP 10 Tahun (2004 - 2014) Tidak Berkuasa
Kamis, 25 April 2019
Faktakini.com, Jakarta - Kalah menang dalam Pilpres adalah hal biasa. PDIP pun telah mengalami masa-masa kelam saat selama 10 tahun jadi oposisi.
Masa setelah 2004 adalah pergulatan sesungguhnya partai besutan Megawati Soekarnoputri karena kalah di pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Megawati baru menang lagi pada Pilpres 2014 melalui "petugas partainya", Jokowi.
SBY sendiri merajai Pilpres selama dua kali beruntun, 2004 dan 2009 mengalahkan Megawati. Dan menang dengan kemenangan telak. Tidak tipis apalagi dipenuhi dengan dugaan kecurangan masif seperti di Pilpres 2014 dan 2019.
Ada lima pasangan yang maju kala Pilpres 2004 itu. Mereka adalah: Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Ahmad Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Di putaran pertama, SBY-JK unggul dengan 33,58 persen suara atau meraup 36.070.622. Tempat kedua adalah Megawati-Hasyim dengan perolehan suara 28.186.780 atau 26,24 persen.
Karena tidak ada pasangan yang meraih suara lebih dari 50 persen pada putaran pertama, dua pasangan teratas kemudian bertarung di putaran kedua. Hasilnya SBY-JK menang telak dengan selisih cukup jauh yakni: 69.266.350 (60,62%) melawan 44.990.704 (39,38%).
Berselang lima tahun kemudian atau tahun 2009, SBY kembali maju sebagai calon presiden. Namun kali ini dia menggandeng pasangan berbeda, Boediono.
Mantan wakilnya, Jusuf Kalla, berubah menjadi lawan karena maju bersama Wiranto. Satu lawan lagi yakni pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.
Meski diikuti oleh tiga pasangan calon, Pilpres 2009 hanya berjalan satu putaran. Sebab, SBY-Boediono meraih suara signifikan dibandingkan dua pasangan lawannya. Kala itu, SBY-Boediono meraup suara 73.874.562 (60,80%), jauh meninggalkan lawannya Megawati-Prabowo yang meraih suara 32.548.105 (26,79%) dan JK-Wiranto 15.081.814 (12,41%).
Beberapa keberhasilan Indonesia saat PDIP berada diluar pemerintahan itu antara lain:
1.Kekuatan Ekonomi Nomor 10 Dunia 2014, versi Bank Dunia, dengan indikator PDB dan daya beli. Hal ini menunjukkan bahwa progress pembangunan Indonesia secara UMUM, sudah berada di jalur yang benar. Jika Indonesia mau menjadi negara HEBAT pada 2025, atau 2035, atau 2045, maka fondasi dasar yang saat ini sudah ada, harus dipertahankan. Sejumlah program yang benar dilanjutkan, yang kurang diperbaiki. Butuh terobosan-terobosan dari pemerintahan selanjutnya, untuk meningkatkan pembangunan ekonomi kita.
2.Masuk dalam G-20 Negara Ekonomi Terkuat Dunia pada 2009. Inilah prestasi besar Indonesia, masuk ke dalam jajaran negara-negara dengan ekonomi terbesar dunia. Prestasi pada point 1 di atas adalah lanjutan dari prestasi sebelumnya. Ketika masuk dalam G-20, saat itu Indonesia baru berada pada posisi ke-19 terbesar dunia, yang kemudian terus bergerak ke posisi 16, dan terakhir posisi ke-10. Bukan hal mudah mencapai posisi tersebut, di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global pada 2008, yang efeknya masih terasa sampai sekarang.
3.Melunasi Utang IMF dan tidak lagi tergantung kepada lembaga tersebut. Anda mungkin sepaham bahwa banyak pihak menganggap IMF sebagai drakula ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada 1998, IMF-lah yang dianggap sebagai juru selamat dengan memberikan utang. Namun, Indonesia menjadi amat tergantung kepada lembaga itu, dan terkekang padahampir semua sektor ekonomi. Pemerintahan SBY melihat ketergantungan itu sebagai hal negatif dan memutusnya secara tuntas pada 2005 lalu.
4.SBY juga membubarkan kelompok negara CGI (Sebelumnya bernama IGGI) yang biasa memberikan utang dengan syarat-syarat yang membebani dan mengekang Indonesia. Selama puluhan tahun CGI/IGGI menekan dan ikut serta mengatur jalannya pemerintahan Indonesia.
5.Menurunkan Rasio Utang Luar Negeri... nah yang ini yang sering menjadi perdebatan panjang. Utang Indonesia bertambah! Begitu teriakan nyaringnya. Padahal, justru rasionya berkurang drastis. Dulu, rasio utang kita selalu di atas 50% dari PDB. TIDAK SEHAT. Sama tidak sehatnya dengan negara kaya seperti Amerika dan Jepang, yang rasio utangnya di atas 100%. Kedua negara itu, bahkan “BELAJAR” kepada Indonesia bagaimana menjaga rasio utang berada di bawah 30%. Saat ini rasio utang kita berada pada kisaran 23%. SEHAT.
6.Pendapatan Perkapita Naik, Kelas Menengah Naik. Jumlah pendapatan perkapita orang Indonesia naik signifikan dalam 10 tahun terakhir. Angkanya dari US$1000 pada 2004, menjadi US$3700 pada 2014 ini. Kenaikan itu seiring sejalan dengan naiknya jumlah kelas menengah Indonesia dari 37% menjadi 56%. Berbagai kenaikan itulah yang menyebabkan Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar nomor 10 dunia, karena daya beli orang Indonesia (khususnya kelas menengah) naik berkali-kali lipat.
7.Akhiri Konflik di Aceh. Ketika masih berpasangan dengan Yusuf Kalla, pemerintahan SBY berhasil menghentikan konflik di Aceh. Sampai sekarang, selama masa pemerintahan SBY, Aceh aman tenteram. Konflik yang sudah berlangsung selama lebih dari 30 tahun berakhir dengan damai. Rakyat Aceh mengakui betapa pemerintahan SBY menjadi salah satu faktor vital penyebab terjadinya perdamaian itu.
8.Pemberantasan Korupsi yang massif. Yuk sedikit beda sudut pandangnya. Ada yang mengatakan, korupsi merajalela. Kenapa disebut merajalela, karena makin banyak yang tertangkap. Dulu.... jarang sekali yang tertangkap, padahal korupsi sudah sejak lama merajalela. Justru sekaranglah, pada era SBY-lah, pemberantasan korupsi yang merajalela. Menteri ditangkap, dipenjara. Ketua partai penguasa, ditangkap dan dipenjara. Gubernur dan walikota/bupati juga ditangkap dan dipenjara karena korupsi. Tidak pandang bulu. Bahkan sampai akhir pemerintahannya, SBY terus mendukung KPK menangkapi pejabat korup (terakhir menteria agama Surydharma Ali yang ditangkap.) Pemberantasan korupsi di Indonesia mendapatkan apresiasi dari negara lain, dan mereka belajar dari KPK.
9.Pemberantasan terorisme yang efektif. Coba hitung berapa kali aksi teror besar terjadi selama pemerintahan SBY? Sudah jarang kan! Bahkan dalam 5 tahun terakhir, tak ada aksi teror besar terjadi. Kita sudah lebih aman jalan-jalan ke tempat umum dari ancaman teror. Padahal pada 2002-2004, kita berkali-kali diteror bom. Pemerintahan SBY melalui POLRI menerapkan strategi yang tepat dalam memberantas terorisme. Yang juga mendapatkan apresiasi dari negara lain. Terbukti banyak negara yang belajar ke sini.
10. Reschedul Kontrak Karya Tambah. Ini menjadi salah satu PR pemerintahan Indonesia pada setiap periode. Kontrak karya menyangkut sumber daya alam Indonesia. Pemerintah SBY menerapkan kebijakan khusus terkait kontrak karya, yang lebih menguntungkan buat Indonesia. Tidak radikal seperti harapan aktivis, tapi lebih baik dibanding pemerintahan sebelumnya. Yang paling rame dibicarakan terkait masalah ini adalah larangan ekspor bahan mentah mineral, yang membuat banyak negara dan perusahaan asing kebakaran jenggot.
Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengklaim, partainya selalu menyampaikan kritik yang konstruktif terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Riza membandingkan sikap Gerindra dengan PDIP saat menjadi oposisi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun.
"Ya mohon maaf, dulu PDIP waktu oposisi apa aja yang diiniin Pak SBY pokoknya semua salahlah, kira-kira gitu," kata Riza di Resto Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (21/4/2018).
Politikus PDIP Masinton Pasaribu yang hadir dalam diskusi tersebut memberikan tanggapan.
Masinton mengklaim, dulu PDIP tak hanya melempar kritik, tetapi juga memberikan solusi alternatif jika ada kebijakan SBY yang dianggap tidak tepat.
"Kalau kami ketika jadi oposisi 10 tahun Pak SBY ya, kami selalu, ketika ada kebijakan yang kami anggap belum sesuai dengan kepentingan rakyat, kami pasti kritik dan berikan solusi alternatif," tegasnya.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Roy Suryo juga menyindir Masinton. Menurutnya, saat zaman pemerintahan SBY, PDIP sangat dramatis dalam mengkritik. Contohnya terlihat saat pemerintahan SBY menaikkan harga bahan bakar minyak.
"Tapi kangen loh kita dulu. Naik dulu BBM naik sampai nangis Mbak Rieke, Bang Masinton. Kangen kita kayak gitu. Sekarang BBM naik banget, enggak nangis-nangis," ungkapnya.
"Oh nggak, itu harusnya tugas oposisi untuk melakukan kritik," timpal Masinton.
"Kalau sekadar nangis sih nggak memberikan solusi," lanjut Roy lagi.
Masuk dalam perdebatan, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera memberi nilai enam untuk pemerintahan Jokowi. Untuk itu, PKS berupaya menghadirkan Presiden baru di ajang Pilpres 2019.
"Jokowi luar biasa, tapi nilainya enam, kami ingin yang delapan. Makanya 2019 tetap ganti presiden," ucapnya.
Mendengar hal tersebut, Masinton menyanggah pernyataan Mardani. Menurutnya, rakyat Indonesia memberi nilai tinggi atas kinerja pemerintahan Jokowi.
"Luar biasa kok, Mardani kasih enam. Bagi rakyat, nilainya sembilan," kata Masinton.
Mardani keberatan atas nilai sembilan itu. Sekali lagi, Mardani menjelaskan alasan pemerintahan Jokowi layak mendapat angka enam sebagai Presiden RI.
"Saya ulangi sederhana. Tiap bulan masyarakat bayar listrik mahal, 1 kWh itu Rp 1.400-an. Manajemen energi kita belum rapi. Malaysia beli telur Rp 11 ribu sekilo, kita Rp 23 ribu. PKS bersama Gerindra siap di 2019," tandas Mardani.
Sumber: Merdeka, Detik Dll
Faktakini.com, Jakarta - Kalah menang dalam Pilpres adalah hal biasa. PDIP pun telah mengalami masa-masa kelam saat selama 10 tahun jadi oposisi.
Masa setelah 2004 adalah pergulatan sesungguhnya partai besutan Megawati Soekarnoputri karena kalah di pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Megawati baru menang lagi pada Pilpres 2014 melalui "petugas partainya", Jokowi.
SBY sendiri merajai Pilpres selama dua kali beruntun, 2004 dan 2009 mengalahkan Megawati. Dan menang dengan kemenangan telak. Tidak tipis apalagi dipenuhi dengan dugaan kecurangan masif seperti di Pilpres 2014 dan 2019.
Ada lima pasangan yang maju kala Pilpres 2004 itu. Mereka adalah: Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Ahmad Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Di putaran pertama, SBY-JK unggul dengan 33,58 persen suara atau meraup 36.070.622. Tempat kedua adalah Megawati-Hasyim dengan perolehan suara 28.186.780 atau 26,24 persen.
Karena tidak ada pasangan yang meraih suara lebih dari 50 persen pada putaran pertama, dua pasangan teratas kemudian bertarung di putaran kedua. Hasilnya SBY-JK menang telak dengan selisih cukup jauh yakni: 69.266.350 (60,62%) melawan 44.990.704 (39,38%).
Berselang lima tahun kemudian atau tahun 2009, SBY kembali maju sebagai calon presiden. Namun kali ini dia menggandeng pasangan berbeda, Boediono.
Mantan wakilnya, Jusuf Kalla, berubah menjadi lawan karena maju bersama Wiranto. Satu lawan lagi yakni pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.
Meski diikuti oleh tiga pasangan calon, Pilpres 2009 hanya berjalan satu putaran. Sebab, SBY-Boediono meraih suara signifikan dibandingkan dua pasangan lawannya. Kala itu, SBY-Boediono meraup suara 73.874.562 (60,80%), jauh meninggalkan lawannya Megawati-Prabowo yang meraih suara 32.548.105 (26,79%) dan JK-Wiranto 15.081.814 (12,41%).
Beberapa keberhasilan Indonesia saat PDIP berada diluar pemerintahan itu antara lain:
1.Kekuatan Ekonomi Nomor 10 Dunia 2014, versi Bank Dunia, dengan indikator PDB dan daya beli. Hal ini menunjukkan bahwa progress pembangunan Indonesia secara UMUM, sudah berada di jalur yang benar. Jika Indonesia mau menjadi negara HEBAT pada 2025, atau 2035, atau 2045, maka fondasi dasar yang saat ini sudah ada, harus dipertahankan. Sejumlah program yang benar dilanjutkan, yang kurang diperbaiki. Butuh terobosan-terobosan dari pemerintahan selanjutnya, untuk meningkatkan pembangunan ekonomi kita.
2.Masuk dalam G-20 Negara Ekonomi Terkuat Dunia pada 2009. Inilah prestasi besar Indonesia, masuk ke dalam jajaran negara-negara dengan ekonomi terbesar dunia. Prestasi pada point 1 di atas adalah lanjutan dari prestasi sebelumnya. Ketika masuk dalam G-20, saat itu Indonesia baru berada pada posisi ke-19 terbesar dunia, yang kemudian terus bergerak ke posisi 16, dan terakhir posisi ke-10. Bukan hal mudah mencapai posisi tersebut, di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global pada 2008, yang efeknya masih terasa sampai sekarang.
3.Melunasi Utang IMF dan tidak lagi tergantung kepada lembaga tersebut. Anda mungkin sepaham bahwa banyak pihak menganggap IMF sebagai drakula ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada 1998, IMF-lah yang dianggap sebagai juru selamat dengan memberikan utang. Namun, Indonesia menjadi amat tergantung kepada lembaga itu, dan terkekang padahampir semua sektor ekonomi. Pemerintahan SBY melihat ketergantungan itu sebagai hal negatif dan memutusnya secara tuntas pada 2005 lalu.
4.SBY juga membubarkan kelompok negara CGI (Sebelumnya bernama IGGI) yang biasa memberikan utang dengan syarat-syarat yang membebani dan mengekang Indonesia. Selama puluhan tahun CGI/IGGI menekan dan ikut serta mengatur jalannya pemerintahan Indonesia.
5.Menurunkan Rasio Utang Luar Negeri... nah yang ini yang sering menjadi perdebatan panjang. Utang Indonesia bertambah! Begitu teriakan nyaringnya. Padahal, justru rasionya berkurang drastis. Dulu, rasio utang kita selalu di atas 50% dari PDB. TIDAK SEHAT. Sama tidak sehatnya dengan negara kaya seperti Amerika dan Jepang, yang rasio utangnya di atas 100%. Kedua negara itu, bahkan “BELAJAR” kepada Indonesia bagaimana menjaga rasio utang berada di bawah 30%. Saat ini rasio utang kita berada pada kisaran 23%. SEHAT.
6.Pendapatan Perkapita Naik, Kelas Menengah Naik. Jumlah pendapatan perkapita orang Indonesia naik signifikan dalam 10 tahun terakhir. Angkanya dari US$1000 pada 2004, menjadi US$3700 pada 2014 ini. Kenaikan itu seiring sejalan dengan naiknya jumlah kelas menengah Indonesia dari 37% menjadi 56%. Berbagai kenaikan itulah yang menyebabkan Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar nomor 10 dunia, karena daya beli orang Indonesia (khususnya kelas menengah) naik berkali-kali lipat.
7.Akhiri Konflik di Aceh. Ketika masih berpasangan dengan Yusuf Kalla, pemerintahan SBY berhasil menghentikan konflik di Aceh. Sampai sekarang, selama masa pemerintahan SBY, Aceh aman tenteram. Konflik yang sudah berlangsung selama lebih dari 30 tahun berakhir dengan damai. Rakyat Aceh mengakui betapa pemerintahan SBY menjadi salah satu faktor vital penyebab terjadinya perdamaian itu.
8.Pemberantasan Korupsi yang massif. Yuk sedikit beda sudut pandangnya. Ada yang mengatakan, korupsi merajalela. Kenapa disebut merajalela, karena makin banyak yang tertangkap. Dulu.... jarang sekali yang tertangkap, padahal korupsi sudah sejak lama merajalela. Justru sekaranglah, pada era SBY-lah, pemberantasan korupsi yang merajalela. Menteri ditangkap, dipenjara. Ketua partai penguasa, ditangkap dan dipenjara. Gubernur dan walikota/bupati juga ditangkap dan dipenjara karena korupsi. Tidak pandang bulu. Bahkan sampai akhir pemerintahannya, SBY terus mendukung KPK menangkapi pejabat korup (terakhir menteria agama Surydharma Ali yang ditangkap.) Pemberantasan korupsi di Indonesia mendapatkan apresiasi dari negara lain, dan mereka belajar dari KPK.
9.Pemberantasan terorisme yang efektif. Coba hitung berapa kali aksi teror besar terjadi selama pemerintahan SBY? Sudah jarang kan! Bahkan dalam 5 tahun terakhir, tak ada aksi teror besar terjadi. Kita sudah lebih aman jalan-jalan ke tempat umum dari ancaman teror. Padahal pada 2002-2004, kita berkali-kali diteror bom. Pemerintahan SBY melalui POLRI menerapkan strategi yang tepat dalam memberantas terorisme. Yang juga mendapatkan apresiasi dari negara lain. Terbukti banyak negara yang belajar ke sini.
10. Reschedul Kontrak Karya Tambah. Ini menjadi salah satu PR pemerintahan Indonesia pada setiap periode. Kontrak karya menyangkut sumber daya alam Indonesia. Pemerintah SBY menerapkan kebijakan khusus terkait kontrak karya, yang lebih menguntungkan buat Indonesia. Tidak radikal seperti harapan aktivis, tapi lebih baik dibanding pemerintahan sebelumnya. Yang paling rame dibicarakan terkait masalah ini adalah larangan ekspor bahan mentah mineral, yang membuat banyak negara dan perusahaan asing kebakaran jenggot.
Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengklaim, partainya selalu menyampaikan kritik yang konstruktif terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Riza membandingkan sikap Gerindra dengan PDIP saat menjadi oposisi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun.
"Ya mohon maaf, dulu PDIP waktu oposisi apa aja yang diiniin Pak SBY pokoknya semua salahlah, kira-kira gitu," kata Riza di Resto Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (21/4/2018).
Politikus PDIP Masinton Pasaribu yang hadir dalam diskusi tersebut memberikan tanggapan.
Masinton mengklaim, dulu PDIP tak hanya melempar kritik, tetapi juga memberikan solusi alternatif jika ada kebijakan SBY yang dianggap tidak tepat.
"Kalau kami ketika jadi oposisi 10 tahun Pak SBY ya, kami selalu, ketika ada kebijakan yang kami anggap belum sesuai dengan kepentingan rakyat, kami pasti kritik dan berikan solusi alternatif," tegasnya.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Roy Suryo juga menyindir Masinton. Menurutnya, saat zaman pemerintahan SBY, PDIP sangat dramatis dalam mengkritik. Contohnya terlihat saat pemerintahan SBY menaikkan harga bahan bakar minyak.
"Tapi kangen loh kita dulu. Naik dulu BBM naik sampai nangis Mbak Rieke, Bang Masinton. Kangen kita kayak gitu. Sekarang BBM naik banget, enggak nangis-nangis," ungkapnya.
"Oh nggak, itu harusnya tugas oposisi untuk melakukan kritik," timpal Masinton.
"Kalau sekadar nangis sih nggak memberikan solusi," lanjut Roy lagi.
Masuk dalam perdebatan, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera memberi nilai enam untuk pemerintahan Jokowi. Untuk itu, PKS berupaya menghadirkan Presiden baru di ajang Pilpres 2019.
"Jokowi luar biasa, tapi nilainya enam, kami ingin yang delapan. Makanya 2019 tetap ganti presiden," ucapnya.
Mendengar hal tersebut, Masinton menyanggah pernyataan Mardani. Menurutnya, rakyat Indonesia memberi nilai tinggi atas kinerja pemerintahan Jokowi.
"Luar biasa kok, Mardani kasih enam. Bagi rakyat, nilainya sembilan," kata Masinton.
Mardani keberatan atas nilai sembilan itu. Sekali lagi, Mardani menjelaskan alasan pemerintahan Jokowi layak mendapat angka enam sebagai Presiden RI.
"Saya ulangi sederhana. Tiap bulan masyarakat bayar listrik mahal, 1 kWh itu Rp 1.400-an. Manajemen energi kita belum rapi. Malaysia beli telur Rp 11 ribu sekilo, kita Rp 23 ribu. PKS bersama Gerindra siap di 2019," tandas Mardani.
Sumber: Merdeka, Detik Dll