Makna Tersirat Kampanye Monumental Prabowo Di Ranah Minangkabau
Rabu, 3 April 2019
Faktakini.com
MAKNA TERSIRAT KAMPANYE MONUMENTAL PRABOWO DI RANAH MINANGKABAU.
Oleh : Anton Permana.
Kota Padang lumpuh total selasa kemaren. Bukan karena bencana gempa atau banjir. Tetapi Ranah Minangkabau kedatangan sosok figur yg mempunyai historikal sejarah dengan masyarakat Munangkabau. Yaitu Letjend (Pur) Prabowo Subianto. Calon Presiden RI 2019 berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Padang penuh sesak oleh ratusan ribu masyarakat, bahkan media lokal jamin jumlah masyarakat berkumpul di Padang hari itu tembus angka 1 juta jiwa lebih. Macet puluhan kilometer, dari tengah malam ribuan mobil sdh bergerak dari santero sumatera barat, bahkan ada yg dari propinsi tengga seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Batam, dan Sumatera Utara.
Flight penerbangan full, karena juga banyak perantau yg sengaja pulang kampung (bahkan dari Malaysia dan Singapore) untuk ikut serta memeriahkan kampanye mantan Danjen Koppasus itu.
Merinding dan takjub melihat lautan manusia yang begitu sangat antusias menanti kedatangan Sang Kandidat.
Mengapa ini bisa terjadi di Minangkabau ? Padahal Prabowo adalah bukan incumbent ? Prabowo tidak punya uang untuk mobilisasi, beri doorprize, beri nasi bungkus, serta tangan aparatur untuk penggalangan massa ? Terapi masyarakat Minang begitu gegap gempita ‘berpondoh-pondoh’ datang ke Padang dgn biaya sendiri, beli dan buat baju sendiri ? Sangat jauh berbeda dengan kandidat petahana yang beberapa kali membatalkan kedatangannya karena tahu diri pasti akan jadi cemoohan masyarakat Minangkabau. Maruf Amin saja, yang ulama memperpendek waktu kedatangannya di Sumbar dari 3 hari menjadi satu hari saja melihat fakta di lapangan yang dingin sambutan dari masyarakat walau diback up 10 KaDa sekalipun.
Hal ini menarik untuk kita bahas bersama, kenapa hal ini bisa terjadi. Padahal segala daya upaya telah dilakukan Jokowi terhadap Sumbar. Berikut penulis mengajak kita semua menyelami dan menganalisi secara mendalam.
1. Masyarakat Minangkabau itu kental dengan agama dan adat istiadatnya. Falsafah ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) telah menyatu dalam setiap butiran darah orang Minangkabau. DNA Minangkabau itu adalah Islam. Adat budaya Minangkabau pun tunduk kepada Islam.
Jadi, ketika rezim Jokowi tidak ramah terhadap Islam, kepada symbol symbol Islam, baik itu tokoh ulamanya, ajarannya, cara beribadahnya, maka hal ini akan sangat menyakiti hati masyatakat Minangkabau.
Walaupun Habieb Riziq Syihab bukan orang Minang, walaupun DKI jauh dari Sumatera Barat, walaupun Neno Warisman dihadang bukan di Padang, Alvian Tanjung dipenjarakan, tetapi bagi orang Minangkabau selagi mereka Islam, pejuang dakwah, mereka adalah saudara (dunsanak). Ibarat satu tubuh, apabila satu bahagian merasa sakit (tercubit) maka bahagian yang lainpun akan juga merasa tersakiti.
Fakta fenomena tindakan represif rezim Jokowi terhadap Islam sudah sangat terang benderang bagi masyarakat Minangkabau. Makanya jangan heran, ketika aksi 411, 212, ribuan ‘urang awak’ ini juga aktif bergerak ikut berpartisipasi penuh dimanapun mereka berada. Bahkan ada yang sampai carter pesawat dengan biaya sendiri berangkat dari Padang menuju Jakarta.
Bagi orang Minangkabau, menggangu Islam serta ulamanya, berarti menggangu masyarakat Minangkabau.
2. Sejarah membuktikan, bahwa dari rahim ranah Minangkabau telah lahir para pejuang hebbat pendiri negara ini. Mulai dari massa sebelum kemerdekaan, fase persiapan kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan.
Nama dan wajah putera-puteri asal Minangkabau cukup dominan mewarnai sejarah berdirinya bangsa ini. Sebut saja Moh Hatta (salah satu proklamator), Tan Malaka, St Syahrir (3 orang dari 4 orang pemegang tongkat revolusi berasal dari Minangkabau selain Soekarno), Moh Yamin (Yang ikut menggodok dan merumuskan UUD 1945 dan Pancasila), Muhammad Natsir (Cendikiawan muslim yg melahirkan konsep negara kesatuan NKRI atau dikenal dengan ‘Mosi Integral Natsir), H Agoes Salim (Diplomat ulung yg berjuang dimeja perundingan PBB serta menguasai 14 bahasa), Tuanku Imam Bonjol, Siti Manggopoh, serta banyak lagi kalau mau disebutkan.
Artinya apa. Secara genetis, otomatis gen darah pejuang sudah mengalir dalam darah masyarakat Minangkabau. Ketika kedaulatan bangsa dan negaranya terusik, maka masyarakat Minangkabau akan tampil bersama-sama tanpa pandang usia. Fakta sejarah juga membuktikan bagaimana ketika negara sedang darurat waktu agresi Belanda berhasil merebut ibu kota Jogjakarta ketika itu, Soekarno-Hatta ditanggkap dan diasingkan, namun dengan sigap PDRI di bentuk dan didirikan di Minangkabau. Penunjukan dan pendirian PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Minangkabau bukan sembarangan. Pasti ada dasar dan alasan sangat kuat kenapa di Minangkabau didirikan. Tak salah seorang gubernur Jepang dalam sebuah bukunya menjuluki Minangkabau sebagai ‘benteng republik Indonesia’. (Kenzo. 1950 : 201).
Relevansinya dengan sekarang adalah, dimata dan pikiran mayoritas masyarakat Minangkabau negara Indonesia dalam keadaan darurat dalam semua bidang. Kalau meminjam istilah Lemhannas tentang Asta Gatra, negara Indonesia lemah bahkan rawan dari 8 indikator ketahanan nasional itu (Geografi, Demografi, Sumber Kekayaan Alam, Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Semakin hilangnya kedaulatan negara dalam mengelola kekayaan alam, hutang negara yg menggunung, import pangan yg membunuh masa depan petani, TKA aseng yg sengaja dibiarkan, kondisi ekonomi yg semakin sulit, biaya hidup mahal, listrik mahal, sembako mahal, BBM mahal, subsidi dicabut, penegakan hukum diskriminatif, dan yang terparah juga adalah, semakin rusak parahnya harmonisasi kehidupan dan persaudaraan ditengah masyarakat, karena para penista agama, dan PKI merajalela seolah dibiarkan rezim ini untuk leluasa berbuat apa saja.
Kondisi faktual seperti ini, sudah terjadi terang benderang ditemgah masyarakat. Dan bagi masyarakat Minangkabau hal ini tidak bisa dibiarkan, harus dihentikan dengan cara ganti presiden dan ganti kepemimpinan pemerintahan nasional secara konstitusional melalui Pemilu. Karena pasangan kandidat hanya dua pasang, maka pilihan dan harapan itu jatuh pada sosok Prabowo - Sandi.
3. Masyarakat Minangkabau mempunyai benang merah sejarah yg spesifik dgn orang tua Prabowo yaitu Bapak Soemitro Djojohadikusumo. Ketika terjadi pergolakan PRRI.
Kenapa penulis tidak buat ‘pemberontakan’ PRRI ? Karena penulis membaca tulisa desertasi almarhum Brigjend (Purn) Safroedin Bahar ttg penelitiannya terkait pemberontakan-pemberontakan di Indonesia. Dalam hasil penelitian ini disimpulkan bahwa yang berupa pemberontakan murni di Indonesia itu hanya PKI.
Dengan argumentasi, hanya PKI yang secara sistematis, menyeluruh, ideologis, ingin merobah Indonesia menjadi negara Komunis. Hanya pemberontakan PKI yg pemberontakannya melibatkan semua unsur negara dan rakyat Indonesia. Sampai pembunuhan sadis kepada para Jendral TNI, ulama, santri, pejabat daerah, tokoh masyarakat, dan rakyat tak berdosa. PKI juga teraviliasi dgn tangan negara asing seperti Uni Soviet dan China ketika itu.
Jauh berbeda dgn PRRI maupun DI/ TII. Dimana konflik ini terjadi karena konflik personal individu antara Soekarno dgn teman temannya semasa berjuang merebut kemerdekaan. Dan khusus PRRI, ini terjadi karena bentuk protes keras kepada Soekarno yg ketika itu sangat full power sentralistik dan sangat dominan dikuasai dan di stir oleh PKI. Dan PRRI ketika itu protes agar daerah diberikan otonomi untuk membangun daerahnya. Apa yg diperjuangkan PRRI inilah yg pada reformasi 1998 lalu terwujud.
Namun karena hasutan PKI, Soekarno mengeskalasi konflik personal itu dgn mengirimkan 12 bataliyon tentara dibawah komandan Kol. Ahmad Yani ke Minangkabau. Berapa ribu orang Minangkabau di bantai dan dibunuh Soekarno ketika itu. Sehingga luka sejarah ini sangat berbekas dalam bagi masyarakat Minangkabau, karena merasa di khianati dan dizalimi Soekarno yang telah dihantarkannya menjadi Presiden Indonesia ketika itu. Protes PRRI ini akhirnya juga terbukti dgn memberontaknya PKI lima tahun setelah itu, sampai Kol Ahmad Yani yg awalnya memimpin pasukan membantai orang Minangkabau, akhirnya juga dibunuh PKI pada tahun 1965.
Ketika PRRI ini Soemitro berjuang bersama-sama masyarakat Minangkabau menentang arogansi Soekarno yang dikendalikan oleh PKI ketika itu. Nahh ketika proses inilah Prabowo sempat berinteraksi, tinggal dan hidup di Minangkabau tepatnya di ampalu Kabupaten Limopuluah Kota. Hubungan historikal sejarah dan genetis inilah yang membuat Prabowo sangat diterima oleh masyarakat Minangkabau. Karena Prabowo bukan lagi dianggap orang lain oleh orang Minangkabau.
4. Budaya Minangkabau yg egaliter, kritis, dan logis menjadi sel immunitas kecerdasan yang dahsyat. Maksudnya adalah, segala bentuk mega pencitraan Jokowi selama ini di media dianggap angin lalu bagi orang Minang, malah dianggap murahan.
Karena apa, ada pepatah Minangkabau ‘ alun takikeh alah takalam’ yg artinya, baru melihat sekilas sudah paham apa yang terjadi. Maksudnya adalah, orang Minangkabau terbiasa melihat sesuatu fenomena itu tidak saja secara kasat mata. Tetapi sangat dalam dan filosofis. Ada makna yang tasurek (tersurat), tasirek (tersirat), dan tasuruak (tersembunyi).
Jadi jangan heran, kalau berkomunikasi dgn orang Minangkabau atau berinteraksi dgn orang Minang, mereka quick respon dan cepat tanggap dgn setiap kejadian.
Tidak mudah untuk mengambil hati orang Minangkabau apalagi simpatinya. Jadi apa yg dimainkan oleh Jokowi timnya selama ini di Minangkabau tak akan berpengaruh, karena bagi orang Minangkabau itu semua basi dan tipu daya pencitraan. Fakta kejadian dilapangan (logika) lebih dominan mempengaruhi gaya berpikir orang Minangkabau
5. Tahun 2019 ini adalah momen yang pas dan tepat bagi Prabowo. Dimana tingkat kejengkelan masyarakat terhadap rezim ini sudah pada puncaknya. Masyarakat sudah butuh pembaharuan yang monumental. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang kuat, tangguh, cerdas, dan idealis. Sosok ini ada pada Prabowo. Kalau istilah pepatah Minangkabau itu, pemimpin itu haruslah takah (gagah), tageh (tangguh berwibawa-kharismatik), tokoh (cerdas dan berpengalaman). Artinya, Performance planga-plongo Jokowi selama ini adalah aib memalukan bagi masyarakat Minangkabau. Sangat jauh dari standar pemimpin yang di idamkan masyarakat Minangkabau.
Bukti masyarakat Minangkabau itu egaliter tidak feodal juga adalah, dukungan para KaDa kepada Jokowi sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi masyarakat Minangkabau. Kepala Daerah bagi urang awak hanya untuk urusan admistrasi dan proyek pemerintahan semata baru terasa pengaruhnya. Tapi kalau untuk intervensi pilihan politik, urang awak sangat merdeka dan anti di intervensi atau diatur walau oleh kepala daerah sekalipun.
Jadi, kampanye monumental Prabowo ke ranah Minangkabau adalah bagaikan muara puncak dari akumulasi gelora semangat masyarakat Minangkabau yg terpendam selama ini. Maka wajar, kampanye nya terasa sangat emosional dan menggetarkan. Prabowo pun kalau dilihat dari mimik wajahnya juga merasakan hal yang sama dengan suasana kebatinan masyarakat Minangkabau.
Dan semoga dan insyaAllah hal ini menjadi tanda baik bagi kemenangan Prabowo-Sandi pada 17 April 2019 nanti... Aammiinn...
Jakarta, 03 Maret 2019.
Faktakini.com
MAKNA TERSIRAT KAMPANYE MONUMENTAL PRABOWO DI RANAH MINANGKABAU.
Oleh : Anton Permana.
Kota Padang lumpuh total selasa kemaren. Bukan karena bencana gempa atau banjir. Tetapi Ranah Minangkabau kedatangan sosok figur yg mempunyai historikal sejarah dengan masyarakat Munangkabau. Yaitu Letjend (Pur) Prabowo Subianto. Calon Presiden RI 2019 berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Padang penuh sesak oleh ratusan ribu masyarakat, bahkan media lokal jamin jumlah masyarakat berkumpul di Padang hari itu tembus angka 1 juta jiwa lebih. Macet puluhan kilometer, dari tengah malam ribuan mobil sdh bergerak dari santero sumatera barat, bahkan ada yg dari propinsi tengga seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Batam, dan Sumatera Utara.
Flight penerbangan full, karena juga banyak perantau yg sengaja pulang kampung (bahkan dari Malaysia dan Singapore) untuk ikut serta memeriahkan kampanye mantan Danjen Koppasus itu.
Merinding dan takjub melihat lautan manusia yang begitu sangat antusias menanti kedatangan Sang Kandidat.
Mengapa ini bisa terjadi di Minangkabau ? Padahal Prabowo adalah bukan incumbent ? Prabowo tidak punya uang untuk mobilisasi, beri doorprize, beri nasi bungkus, serta tangan aparatur untuk penggalangan massa ? Terapi masyarakat Minang begitu gegap gempita ‘berpondoh-pondoh’ datang ke Padang dgn biaya sendiri, beli dan buat baju sendiri ? Sangat jauh berbeda dengan kandidat petahana yang beberapa kali membatalkan kedatangannya karena tahu diri pasti akan jadi cemoohan masyarakat Minangkabau. Maruf Amin saja, yang ulama memperpendek waktu kedatangannya di Sumbar dari 3 hari menjadi satu hari saja melihat fakta di lapangan yang dingin sambutan dari masyarakat walau diback up 10 KaDa sekalipun.
Hal ini menarik untuk kita bahas bersama, kenapa hal ini bisa terjadi. Padahal segala daya upaya telah dilakukan Jokowi terhadap Sumbar. Berikut penulis mengajak kita semua menyelami dan menganalisi secara mendalam.
1. Masyarakat Minangkabau itu kental dengan agama dan adat istiadatnya. Falsafah ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) telah menyatu dalam setiap butiran darah orang Minangkabau. DNA Minangkabau itu adalah Islam. Adat budaya Minangkabau pun tunduk kepada Islam.
Jadi, ketika rezim Jokowi tidak ramah terhadap Islam, kepada symbol symbol Islam, baik itu tokoh ulamanya, ajarannya, cara beribadahnya, maka hal ini akan sangat menyakiti hati masyatakat Minangkabau.
Walaupun Habieb Riziq Syihab bukan orang Minang, walaupun DKI jauh dari Sumatera Barat, walaupun Neno Warisman dihadang bukan di Padang, Alvian Tanjung dipenjarakan, tetapi bagi orang Minangkabau selagi mereka Islam, pejuang dakwah, mereka adalah saudara (dunsanak). Ibarat satu tubuh, apabila satu bahagian merasa sakit (tercubit) maka bahagian yang lainpun akan juga merasa tersakiti.
Fakta fenomena tindakan represif rezim Jokowi terhadap Islam sudah sangat terang benderang bagi masyarakat Minangkabau. Makanya jangan heran, ketika aksi 411, 212, ribuan ‘urang awak’ ini juga aktif bergerak ikut berpartisipasi penuh dimanapun mereka berada. Bahkan ada yang sampai carter pesawat dengan biaya sendiri berangkat dari Padang menuju Jakarta.
Bagi orang Minangkabau, menggangu Islam serta ulamanya, berarti menggangu masyarakat Minangkabau.
2. Sejarah membuktikan, bahwa dari rahim ranah Minangkabau telah lahir para pejuang hebbat pendiri negara ini. Mulai dari massa sebelum kemerdekaan, fase persiapan kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan.
Nama dan wajah putera-puteri asal Minangkabau cukup dominan mewarnai sejarah berdirinya bangsa ini. Sebut saja Moh Hatta (salah satu proklamator), Tan Malaka, St Syahrir (3 orang dari 4 orang pemegang tongkat revolusi berasal dari Minangkabau selain Soekarno), Moh Yamin (Yang ikut menggodok dan merumuskan UUD 1945 dan Pancasila), Muhammad Natsir (Cendikiawan muslim yg melahirkan konsep negara kesatuan NKRI atau dikenal dengan ‘Mosi Integral Natsir), H Agoes Salim (Diplomat ulung yg berjuang dimeja perundingan PBB serta menguasai 14 bahasa), Tuanku Imam Bonjol, Siti Manggopoh, serta banyak lagi kalau mau disebutkan.
Artinya apa. Secara genetis, otomatis gen darah pejuang sudah mengalir dalam darah masyarakat Minangkabau. Ketika kedaulatan bangsa dan negaranya terusik, maka masyarakat Minangkabau akan tampil bersama-sama tanpa pandang usia. Fakta sejarah juga membuktikan bagaimana ketika negara sedang darurat waktu agresi Belanda berhasil merebut ibu kota Jogjakarta ketika itu, Soekarno-Hatta ditanggkap dan diasingkan, namun dengan sigap PDRI di bentuk dan didirikan di Minangkabau. Penunjukan dan pendirian PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Minangkabau bukan sembarangan. Pasti ada dasar dan alasan sangat kuat kenapa di Minangkabau didirikan. Tak salah seorang gubernur Jepang dalam sebuah bukunya menjuluki Minangkabau sebagai ‘benteng republik Indonesia’. (Kenzo. 1950 : 201).
Relevansinya dengan sekarang adalah, dimata dan pikiran mayoritas masyarakat Minangkabau negara Indonesia dalam keadaan darurat dalam semua bidang. Kalau meminjam istilah Lemhannas tentang Asta Gatra, negara Indonesia lemah bahkan rawan dari 8 indikator ketahanan nasional itu (Geografi, Demografi, Sumber Kekayaan Alam, Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Semakin hilangnya kedaulatan negara dalam mengelola kekayaan alam, hutang negara yg menggunung, import pangan yg membunuh masa depan petani, TKA aseng yg sengaja dibiarkan, kondisi ekonomi yg semakin sulit, biaya hidup mahal, listrik mahal, sembako mahal, BBM mahal, subsidi dicabut, penegakan hukum diskriminatif, dan yang terparah juga adalah, semakin rusak parahnya harmonisasi kehidupan dan persaudaraan ditengah masyarakat, karena para penista agama, dan PKI merajalela seolah dibiarkan rezim ini untuk leluasa berbuat apa saja.
Kondisi faktual seperti ini, sudah terjadi terang benderang ditemgah masyarakat. Dan bagi masyarakat Minangkabau hal ini tidak bisa dibiarkan, harus dihentikan dengan cara ganti presiden dan ganti kepemimpinan pemerintahan nasional secara konstitusional melalui Pemilu. Karena pasangan kandidat hanya dua pasang, maka pilihan dan harapan itu jatuh pada sosok Prabowo - Sandi.
3. Masyarakat Minangkabau mempunyai benang merah sejarah yg spesifik dgn orang tua Prabowo yaitu Bapak Soemitro Djojohadikusumo. Ketika terjadi pergolakan PRRI.
Kenapa penulis tidak buat ‘pemberontakan’ PRRI ? Karena penulis membaca tulisa desertasi almarhum Brigjend (Purn) Safroedin Bahar ttg penelitiannya terkait pemberontakan-pemberontakan di Indonesia. Dalam hasil penelitian ini disimpulkan bahwa yang berupa pemberontakan murni di Indonesia itu hanya PKI.
Dengan argumentasi, hanya PKI yang secara sistematis, menyeluruh, ideologis, ingin merobah Indonesia menjadi negara Komunis. Hanya pemberontakan PKI yg pemberontakannya melibatkan semua unsur negara dan rakyat Indonesia. Sampai pembunuhan sadis kepada para Jendral TNI, ulama, santri, pejabat daerah, tokoh masyarakat, dan rakyat tak berdosa. PKI juga teraviliasi dgn tangan negara asing seperti Uni Soviet dan China ketika itu.
Jauh berbeda dgn PRRI maupun DI/ TII. Dimana konflik ini terjadi karena konflik personal individu antara Soekarno dgn teman temannya semasa berjuang merebut kemerdekaan. Dan khusus PRRI, ini terjadi karena bentuk protes keras kepada Soekarno yg ketika itu sangat full power sentralistik dan sangat dominan dikuasai dan di stir oleh PKI. Dan PRRI ketika itu protes agar daerah diberikan otonomi untuk membangun daerahnya. Apa yg diperjuangkan PRRI inilah yg pada reformasi 1998 lalu terwujud.
Namun karena hasutan PKI, Soekarno mengeskalasi konflik personal itu dgn mengirimkan 12 bataliyon tentara dibawah komandan Kol. Ahmad Yani ke Minangkabau. Berapa ribu orang Minangkabau di bantai dan dibunuh Soekarno ketika itu. Sehingga luka sejarah ini sangat berbekas dalam bagi masyarakat Minangkabau, karena merasa di khianati dan dizalimi Soekarno yang telah dihantarkannya menjadi Presiden Indonesia ketika itu. Protes PRRI ini akhirnya juga terbukti dgn memberontaknya PKI lima tahun setelah itu, sampai Kol Ahmad Yani yg awalnya memimpin pasukan membantai orang Minangkabau, akhirnya juga dibunuh PKI pada tahun 1965.
Ketika PRRI ini Soemitro berjuang bersama-sama masyarakat Minangkabau menentang arogansi Soekarno yang dikendalikan oleh PKI ketika itu. Nahh ketika proses inilah Prabowo sempat berinteraksi, tinggal dan hidup di Minangkabau tepatnya di ampalu Kabupaten Limopuluah Kota. Hubungan historikal sejarah dan genetis inilah yang membuat Prabowo sangat diterima oleh masyarakat Minangkabau. Karena Prabowo bukan lagi dianggap orang lain oleh orang Minangkabau.
4. Budaya Minangkabau yg egaliter, kritis, dan logis menjadi sel immunitas kecerdasan yang dahsyat. Maksudnya adalah, segala bentuk mega pencitraan Jokowi selama ini di media dianggap angin lalu bagi orang Minang, malah dianggap murahan.
Karena apa, ada pepatah Minangkabau ‘ alun takikeh alah takalam’ yg artinya, baru melihat sekilas sudah paham apa yang terjadi. Maksudnya adalah, orang Minangkabau terbiasa melihat sesuatu fenomena itu tidak saja secara kasat mata. Tetapi sangat dalam dan filosofis. Ada makna yang tasurek (tersurat), tasirek (tersirat), dan tasuruak (tersembunyi).
Jadi jangan heran, kalau berkomunikasi dgn orang Minangkabau atau berinteraksi dgn orang Minang, mereka quick respon dan cepat tanggap dgn setiap kejadian.
Tidak mudah untuk mengambil hati orang Minangkabau apalagi simpatinya. Jadi apa yg dimainkan oleh Jokowi timnya selama ini di Minangkabau tak akan berpengaruh, karena bagi orang Minangkabau itu semua basi dan tipu daya pencitraan. Fakta kejadian dilapangan (logika) lebih dominan mempengaruhi gaya berpikir orang Minangkabau
5. Tahun 2019 ini adalah momen yang pas dan tepat bagi Prabowo. Dimana tingkat kejengkelan masyarakat terhadap rezim ini sudah pada puncaknya. Masyarakat sudah butuh pembaharuan yang monumental. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang kuat, tangguh, cerdas, dan idealis. Sosok ini ada pada Prabowo. Kalau istilah pepatah Minangkabau itu, pemimpin itu haruslah takah (gagah), tageh (tangguh berwibawa-kharismatik), tokoh (cerdas dan berpengalaman). Artinya, Performance planga-plongo Jokowi selama ini adalah aib memalukan bagi masyarakat Minangkabau. Sangat jauh dari standar pemimpin yang di idamkan masyarakat Minangkabau.
Bukti masyarakat Minangkabau itu egaliter tidak feodal juga adalah, dukungan para KaDa kepada Jokowi sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi masyarakat Minangkabau. Kepala Daerah bagi urang awak hanya untuk urusan admistrasi dan proyek pemerintahan semata baru terasa pengaruhnya. Tapi kalau untuk intervensi pilihan politik, urang awak sangat merdeka dan anti di intervensi atau diatur walau oleh kepala daerah sekalipun.
Jadi, kampanye monumental Prabowo ke ranah Minangkabau adalah bagaikan muara puncak dari akumulasi gelora semangat masyarakat Minangkabau yg terpendam selama ini. Maka wajar, kampanye nya terasa sangat emosional dan menggetarkan. Prabowo pun kalau dilihat dari mimik wajahnya juga merasakan hal yang sama dengan suasana kebatinan masyarakat Minangkabau.
Dan semoga dan insyaAllah hal ini menjadi tanda baik bagi kemenangan Prabowo-Sandi pada 17 April 2019 nanti... Aammiinn...
Jakarta, 03 Maret 2019.