Prabowo Diambang Rajai Pilpres, Anton Permana: 12 Tanda-Tanda Kekalahan Jokowi
Selasa, 9 April 2019
Faktakini.com
12 TANDA - TANDA KEKALAHAN J0K0WI
Oleh: Anton Permana
Pilpres tinggal menghitung hari. Tensi politik nasional semakin menggelegak. Suasana kebatinan bangsa Indonesia saat ini sedang berada pada suatu titik ephoria yang sangat emosional. Seolah tiada hari, tiada jengkal tanah di bumi nusantara ini lepas dari percakapan politik yg hangat.
Pertarungan jilid 2 antara Jokowi dan Prabowo saat ini sangat monumental. Namun tentu suasana Pilpres 2014 yg lalu jauh berbeda dengan Pilpres hari ini. Telah terjadi polarisasi dan pergeseran luar biasa di tengah masyarakat. 4,5 tahun rezim ini berkuasa telah melahirkan pusaran dinamika politik yang sangat tajam. Dimana rakyat tidak lagi ‘selugu’ 5 tahun yang lalu. Kecepatan arus informasi teknologi sangat cepat bahkan menumbangkan hegemoni media mainstream selama ini dalam penguasaan opini publik.
Kondisi politik pun jauh berubah. Jokowi yg seharusnya saat sekarang ini lebih superior, namun sekarang justru terbalik menjadi inferior. Bahkan ‘aura kekalahan’ mulai menyelimuti kubu Jokowi. Untuk itu penulis berikut ini mencoba menterjemahkan tanda-tanda kekalahan jokowi pada Pilpres 2019 ini sebagai berikut :
1. Jokowi sudah kehilangan legitimasinya sebagai pemimpin negara. Baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Lihatlah sekarang ini bagaimana amukan perlawanan masyarakat melalui meme, tulisan, ucapan, parodi lucu yg sebenarnya sangat tidak layak diterima oleh seorang pemimpin negara dari rakyatnya sendiri. Jutaan status di media sosial tak lebih dari hujatan, cacian, cemoohan, dan hinaan kepada Jokowi. Tindakan represif pemerintahaan jokowi melalui tangan aparat dengan pasal pasal karet UU ITE justru menjadi pemicu utama perlawanan rakyat.
Pelibatan infrastruktur dan fasilitas negara secara vulgar melahirkan antipati masyarakat. Apalagi drama intimidasi aparatur yg terang-terangan membuat masyarakat semakin marah. Khusus kelompok yg sebelumnya apatis dan golput.
Begitu juga di luar negeri. Sidang tahunan PBB yg seharusnya menjadi ajang bergengsi seluruh kepala negara di dunia, sdh 4 kali tidak dihadiri Jokowi. Belum lagi forum bergengsi internasional lainnya seperti OKI, G20, APEC, dst. Ini menandakan Jokowi ‘nervous’ banget dan gagap hadir di event internasional tersebut. Dan hal ini tentu semakin menjatuhkan kredibilitas Jokowi dimata dunia internasional yang sangat jauh berbeda dengan Presiden Indonesia sebelumnya.
2. Survey Litbang Kompas dan LIPI, juga sangat memukul telak agredasi jokowi. Kompas yg selama ini sangat mesra dgn jokowi, mengeluarkan sebuah hasil survey yg sangat mengejutkan dan juga merontokkan hasil survey lembaga lain baik sekelas LSI Denny JA sekalipun. Trade record lembaga survey borjuis rontok sudah dimata publik. Beda dgn Kompas. Sebagai media yg masih terjaga integritasnya, mungkin saja tak ada waktu lagi untuk berbulan madu dengan Jokowi karena kondisi realita politik masyarakat memang sudah jauh berubah, bahwa elektabilitas jokowi di bawah 50 persen dan juga dibawah elektabilitas prabowo-sandi.
Hasil survey Litbang Kompas ini juga diperkuat hasil riset resmi LIPI dua minggu yg lalu, bahwa Prabowo-Sandi sudah unggul melampaui elektabilitas Jokowi – Maruf. Yaitu 45 persen, dan Jokowi 40 persen. Sisanya belum menjawab tetapi dapat dipastikan cenderung memilih bukan Jokowi lagi.
3. Fakta kampanye di lapangan yang tidak bisa dipungkiri bahwa Jokowi sudah kehilangan magnet pesona hasil pencitraannya dan sudah ditinggalkan masyarakat. Teror kursi kosong, pembatalan kehadiran jokowi maupun maruf amin di beberapa daerah, menjadi realita bahwa tak ada lagi masyarakat militan pendukung Jokowi seperti tahun 2014 yg lalu.
Kalaulah tidak menggunakan mobilisasi massa oleh aparatur, kepala daerah pendukung, sampai Babinkamtibmas turun tangan, setiap kampanye dan kunjungan jokowi-maruf amin nyaris sepi dan kosong. Kampanye di kandang sendiri saja seperti di Semarang yg menghabiskan biaya 18 Milyar, plus mendatangkan group band papan atas Slank juga tak dapat berbuat apa-apa. Masyarakat yg hadir cuma ribuan dari target ratusan ribu. Padahal kegiatan ini di kandang banteng lho..?
Beda dengan suasana kampanye serta kunjungan pasangan 02 dimanapun berada. Penuh dengan sesak manusia berdesakan sampai ratusan ribu jiwa. Padahal tidak ada mobilisasi massa apalagi amplop dan nasi bungkus. Semua lahir dari partisipasi masyarakat yang sangat antusias militan. Bahkan emak-emak yg selama ini pasif berpolitik, sekarang justru tampil terdepan membanjiri setiap kampanye Prabowo-Sandi.
4. Dipilihnya Maruf Amin menggantikan Prof Mahfud MD adalah tanda awal blunder jokowi di Pilpres. Kebuntuan politik antara benturan kepentingan lintas parpol pendukung menjadikan jokowi terpaksa memilih maruf amin menggantikan Prof Mahfud MD. Padahal dari segi usia yg sdh uzur dan posisinya sebagai ulama sepuh, maruf amin justru menjadi bumerang bagi Jokowi. Ini juga terbukti di lapangan. Harapan maruf amin dapat meraup segmen suara ummat Islam kandas oleh ijitima’ ulama yang memilih Prabowo-Sandi. Anehkan.
Madura dan jawa timur yg menjadi basis Mahfud MD sangat marah dan emosional kepada jokowi. Sedangkan kita tahu, jawa timur adalah lumbung suara utama dalam setiap event Pemilu. Belum lagi segmen masyarakat kelas menengah yg jadi fans Mahfud MD. Semua akhirnya berbalik arah mendukung Prabowo-Sandi.
5. Pecahnya dukungan antara NU struktural (maruf amin, said aqil cs) dengan NU kultural (Gus Solah Cs) juga menjadi tanda kehancuran jokowi. Karena basis utama massa pemilih dari NU itu adalah berada dibawah komando NU kultural yang menguasai hampir 90 persen basis pesantren NU di seluruh nusantara. Sedangkan NU kultural juga sudah terang terangan mendukung Prabowo-Sandi. Melalui putusan holaqoh NU bulan lalu.
Sebaliknya NU struktural hanya membawahi struktur organisasi saja. Tidak mempunyai basis dan akar di masyarakat. NU struktural ibarat punya baju, tetapi tidak punya badan, tangan dan kaki dalam kaidah sebuah organisasi massa.
Ditambah Maruf Amin maju juga atas inisiatif sendiri bukan dari hasil musyawarah ulama NU. Sedangkan maju resmi dari hasil musyawarah saja, fakta sejarah membuktikan sdh dua orang calon wapres dari NU (Gus Solah, KH Hasyim Muzadi) selalu kalah dalam Pilpres sebelumnya.
6. OTT Ketua PPP Rommy oleh KPK juga merupakan tamparan keras buat Jokowi di tengah kapalnya yang oleng. Belum lagi beberapa teman dekat Jokowi bahkan Menteri Agama pun mulai diincar KPK atas keterkaitan temuan uang suap jabatan dalam laci meja kerjanya. Artinya apa, slogan ‘orang baik’ yang menjadi jargon kampanye jokowi hancur lebur sudah. Artinya apa, jokowi yg mencitrakan dirinya bersih dan baik terbukti hanya slogan pencitraan semata.
7. Isu perpecahan dan perkelahian sesama parpol pendukung di tubuh TKN yang terbuka kepada umum juga sangat berdampak dan menjadi bukti bahwa kalau di internal jokowi pun sdh banyak masalah. Bagaimana mau berjuang. Seperti PDIP ribut dgn PSI. Golkar Vs Nasdem. Dan PPP Vs PKB.
Perpecahan ini bertanda tidak ada lagi satu komando satu semangat perjuangan dalam tubuh TKN sendiri. Dan perpecahan dalam sebuah kontestasi politik adalah tanda tanda sebuah kekalahan. Perpecahan di internal seperti ini akan sangat mempengaruhi semangat juang dan daya ungkit tim pemenangan jokowi di lapangan. Mereka larut dalam pertengkaran dan saling menjatuhkan sesama kubunya.
8. Manuver Kapolri dengan telegramnya tentang 14 instruksi agar Polri Netral dalam Pemilu yg dikeluarkan pada tanggal 18 maret bulan yg lalu.
Ini menandakan, tekanan kuat dari msyarakat serta kritik keras dari para senior dan tokoh sepuh Polri akhirnya membuat Tito bergeming. Polri yg sebelumnya vulgar menjadi alat kekuasaan jokowi dalam penggalangan massa, sekarang mulai main ke tengah dan mengurangi aktifitas propagandanya di tengah masyarakat. Adapun gerakan galmas (penggalangan massa) di bawah yg masih berjalan sekarang itu tak lebih gerakan mandiri dari satuan wilayah masing masing. Tidak terintegrasi seperti biasanya. Polri secara institusional secara berlahan sudah mulai menarik dirinya ketitik aman dan netral.
Dan hal ini tentu juga menjadi pukulan keras bagi kubu jokowi. Karena secara perlahan ditinggalkan mesin utama pendukungnya.
9. Seluruh media massa selain Metro TV, juga mulai proporsional menayangkan iklan kampanye dan berita masing kandidat. Kalau biasanya sangat dominan jokowi, satu bulan terakhir ini mulai berimbang dan malah mulai berat ke Prabowo. Ini menandakan bahwa media massa pun tidak bisa melawan takdir alam. Bahwa sekarang ini jokowi bukan melawan prabowo lagi, tapi melawan gelombang perlawanan rakyat atau ‘People Power’.
Rakyat sudah tak bisa lagi dibendung untuk mengganti Presiden. Gelora militansi masyarakat sangat luar biasa di lapangan. Media massa yang selama ini tertekan dibawah kontrol kekuasaan, akhirnya secara halus juga melakukan perlawanan dgn mulai memberitakan secara proporsional setiap giat kampanye masing pasangan kandidat. Kecuali Metro TV yang masih setia jadi ‘corong’ utama pencitraan jokowi.
10. Blunder statemen emosional para jendral di kubu jokowi dalam mengungkit-ungkit isu lama tentang khilafah, penculikan, isu HAM, yang awalnya mau menyudutkan kubu Prabowo-Sandi, membuktikan kubu jokowi sudah berada dalam kepanikan tingkat tinggi. Apalagi ketika Wiranto berwacana mau mengkaitkan antara pelaku hoax dengan UU anti terorisme.
Semua ini semakin menambah antipati masyarakat kepada rezim jokowi. Masyarakat menganggap jokowi mau kembalikan Indonesia kezaman totalitanizem atau pemerintahan otoriter. Isu lama tentang khilafah, mengganti ideologi Pancasila, adalah isu basi yang sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan amunisi provokasi pemerintah kepada masyarakat.
Masyarakat sudah semakin cerdas dan melek politik. Blunder statemen dari para jendral seperti Luhut Binsar, Moeldoko ttg seruan perang total dan wiranto tentang UU anti terorisme, membuktikan sekelas jendral saja bisa menjadi tidak logis dan realistis karena kepanikan dan stres gara kondisi politik nasional yang mengepung petahana sekarang ini. Ini adalah tanda-tanda nyata kekalahan jokowi sudah diambang mata.
11. Mahalnya ketenangan, keharmonisan, dan kenyamanan di tengah masyarakat. Kondisi ekonomi yg semakin sulit, membuat emosional masyarakat rentan marah.
4,5 tahun rezim ini berkuasa, telah mencabik-cabik persaudaraan dan kekeluargaan di tengah masyarakat. Pembiaran terhadap pelaku penista agama Islam khususnya memantik semangat perlawanan umat Islam di Indonesia. Belum lagi berbagai kebijakan dan statemen kubu jokowi yg vulgar memusuhi umat Islam, adalah kesalahan fatal kubu jokowi mencari musuh di tengah negara yang mayoritas berpenduduk muslim terbesar didunia ini.
Jokowi telah melanggar 3 hal apa yg pernah disampaikan seorang pakar misionaris Belanda Snouck Hurgonje. Yaitu, “ Kalau ingin menguasai orang Islam jangan pernah ganggu 3 hal yaitu ; jangan ganggu urusan ibadahnya, jangan ganggu tempat ibadahnya, dan jangan ganggu tokoh dan ulamanya “.
Pesan ini ternyata terbukti. Yang menjadi pemicu kemarahan dan pemicu perlawanan umat Islam di Indonesia awalnya adalah ketika Jokowi seakan tutup mata dan membiarkan segala bentuk penistaan dan ujaran kebencian yg dilakukan kubunya (termasuk Ahok) kepada umat Islam. Belum lagi kriminalisasi kepada para ulama seperti Habieb Riziq, Ustad Alvian Tanjung, Ustad Khattah, dan banyak lagi lainnya.
Hanya pada rezim jokowi ini terjadi penghadangan dan persekusi kepada para da’i dan Ustad dalam berdakwah. Arogansi premanisme yg di back up oleh aparat kepada Ustad Abdul Somad, Felix Shiaw, Tengku Zulkarnain, bahkan Fahri Hamzah, telah menjadi puncak kegeraman ummat Islam Indonesia pada Jokowi. Dan sangat salah serta fatal, kalau jokowi menjadikan ummat Islam menjadi musuh utama pemerintahannya. Apalagi dgn fitnah provokasi isu basi khilafah dan anti Pancasila.
12. Debat keempat kandidat capres kemaren semakin memperjelas bahwa tanda kekalahan jokowi itu semakin dekat dan jelas. Jokowi kelihatan sangat grogi dan gagap. Berbeda dgn Prabowo yang lugas dan superior.
Klimaksnya adalah closing statemen Jokowi tentang sebuah arti tali persahabatan. Dimana secara ilmu komunikasi politik, statemen Jokowi itu adalah bahagian ‘code of conduct’ sinyal kekalahan atau semacam kibaran bendera putih Jokowi kepada Prabowo.
Statemen Jokowi ini pun seakan selaras dengan ekspresi wajah tokoh di kubu jokowi yg sengaja ditangkap kamera seperti eric tohir, megawati, dan moeldoko yang kelihatan begitu tegang dan sendu dingin tak bercahaya seperti biasa. Tentu sebagai penguasa sekarang ini, mereka lebih tahu bagaimana kondisi real didalam sebenarnya.
Namun apapun itu, sebagai manusia kita hanya diberikan Allah untuk membaca tanda-tanda dari sebuah fenomena. Apapun itu nanti hasilnya, hanya Allah yang Maha Tahu.
Semoga saja tanda tanda yang kita paparkan diatas memang menjadi kenyataan bahwa insyaAllah ditahun 2019 ini Indonesia akan mempunyai Presiden baru yang akan kembali menyatukan rakyat Indonesia yang tercabik cabik oleh provokasi jahat rezim dibawah panji merah putih. InsyaAllah. **
(Penulis adalah Alumni PPRA Lemhannas RI LVIII Tahun 2018).
Faktakini.com
12 TANDA - TANDA KEKALAHAN J0K0WI
Oleh: Anton Permana
Pilpres tinggal menghitung hari. Tensi politik nasional semakin menggelegak. Suasana kebatinan bangsa Indonesia saat ini sedang berada pada suatu titik ephoria yang sangat emosional. Seolah tiada hari, tiada jengkal tanah di bumi nusantara ini lepas dari percakapan politik yg hangat.
Pertarungan jilid 2 antara Jokowi dan Prabowo saat ini sangat monumental. Namun tentu suasana Pilpres 2014 yg lalu jauh berbeda dengan Pilpres hari ini. Telah terjadi polarisasi dan pergeseran luar biasa di tengah masyarakat. 4,5 tahun rezim ini berkuasa telah melahirkan pusaran dinamika politik yang sangat tajam. Dimana rakyat tidak lagi ‘selugu’ 5 tahun yang lalu. Kecepatan arus informasi teknologi sangat cepat bahkan menumbangkan hegemoni media mainstream selama ini dalam penguasaan opini publik.
Kondisi politik pun jauh berubah. Jokowi yg seharusnya saat sekarang ini lebih superior, namun sekarang justru terbalik menjadi inferior. Bahkan ‘aura kekalahan’ mulai menyelimuti kubu Jokowi. Untuk itu penulis berikut ini mencoba menterjemahkan tanda-tanda kekalahan jokowi pada Pilpres 2019 ini sebagai berikut :
1. Jokowi sudah kehilangan legitimasinya sebagai pemimpin negara. Baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Lihatlah sekarang ini bagaimana amukan perlawanan masyarakat melalui meme, tulisan, ucapan, parodi lucu yg sebenarnya sangat tidak layak diterima oleh seorang pemimpin negara dari rakyatnya sendiri. Jutaan status di media sosial tak lebih dari hujatan, cacian, cemoohan, dan hinaan kepada Jokowi. Tindakan represif pemerintahaan jokowi melalui tangan aparat dengan pasal pasal karet UU ITE justru menjadi pemicu utama perlawanan rakyat.
Pelibatan infrastruktur dan fasilitas negara secara vulgar melahirkan antipati masyarakat. Apalagi drama intimidasi aparatur yg terang-terangan membuat masyarakat semakin marah. Khusus kelompok yg sebelumnya apatis dan golput.
Begitu juga di luar negeri. Sidang tahunan PBB yg seharusnya menjadi ajang bergengsi seluruh kepala negara di dunia, sdh 4 kali tidak dihadiri Jokowi. Belum lagi forum bergengsi internasional lainnya seperti OKI, G20, APEC, dst. Ini menandakan Jokowi ‘nervous’ banget dan gagap hadir di event internasional tersebut. Dan hal ini tentu semakin menjatuhkan kredibilitas Jokowi dimata dunia internasional yang sangat jauh berbeda dengan Presiden Indonesia sebelumnya.
2. Survey Litbang Kompas dan LIPI, juga sangat memukul telak agredasi jokowi. Kompas yg selama ini sangat mesra dgn jokowi, mengeluarkan sebuah hasil survey yg sangat mengejutkan dan juga merontokkan hasil survey lembaga lain baik sekelas LSI Denny JA sekalipun. Trade record lembaga survey borjuis rontok sudah dimata publik. Beda dgn Kompas. Sebagai media yg masih terjaga integritasnya, mungkin saja tak ada waktu lagi untuk berbulan madu dengan Jokowi karena kondisi realita politik masyarakat memang sudah jauh berubah, bahwa elektabilitas jokowi di bawah 50 persen dan juga dibawah elektabilitas prabowo-sandi.
Hasil survey Litbang Kompas ini juga diperkuat hasil riset resmi LIPI dua minggu yg lalu, bahwa Prabowo-Sandi sudah unggul melampaui elektabilitas Jokowi – Maruf. Yaitu 45 persen, dan Jokowi 40 persen. Sisanya belum menjawab tetapi dapat dipastikan cenderung memilih bukan Jokowi lagi.
3. Fakta kampanye di lapangan yang tidak bisa dipungkiri bahwa Jokowi sudah kehilangan magnet pesona hasil pencitraannya dan sudah ditinggalkan masyarakat. Teror kursi kosong, pembatalan kehadiran jokowi maupun maruf amin di beberapa daerah, menjadi realita bahwa tak ada lagi masyarakat militan pendukung Jokowi seperti tahun 2014 yg lalu.
Kalaulah tidak menggunakan mobilisasi massa oleh aparatur, kepala daerah pendukung, sampai Babinkamtibmas turun tangan, setiap kampanye dan kunjungan jokowi-maruf amin nyaris sepi dan kosong. Kampanye di kandang sendiri saja seperti di Semarang yg menghabiskan biaya 18 Milyar, plus mendatangkan group band papan atas Slank juga tak dapat berbuat apa-apa. Masyarakat yg hadir cuma ribuan dari target ratusan ribu. Padahal kegiatan ini di kandang banteng lho..?
Beda dengan suasana kampanye serta kunjungan pasangan 02 dimanapun berada. Penuh dengan sesak manusia berdesakan sampai ratusan ribu jiwa. Padahal tidak ada mobilisasi massa apalagi amplop dan nasi bungkus. Semua lahir dari partisipasi masyarakat yang sangat antusias militan. Bahkan emak-emak yg selama ini pasif berpolitik, sekarang justru tampil terdepan membanjiri setiap kampanye Prabowo-Sandi.
4. Dipilihnya Maruf Amin menggantikan Prof Mahfud MD adalah tanda awal blunder jokowi di Pilpres. Kebuntuan politik antara benturan kepentingan lintas parpol pendukung menjadikan jokowi terpaksa memilih maruf amin menggantikan Prof Mahfud MD. Padahal dari segi usia yg sdh uzur dan posisinya sebagai ulama sepuh, maruf amin justru menjadi bumerang bagi Jokowi. Ini juga terbukti di lapangan. Harapan maruf amin dapat meraup segmen suara ummat Islam kandas oleh ijitima’ ulama yang memilih Prabowo-Sandi. Anehkan.
Madura dan jawa timur yg menjadi basis Mahfud MD sangat marah dan emosional kepada jokowi. Sedangkan kita tahu, jawa timur adalah lumbung suara utama dalam setiap event Pemilu. Belum lagi segmen masyarakat kelas menengah yg jadi fans Mahfud MD. Semua akhirnya berbalik arah mendukung Prabowo-Sandi.
5. Pecahnya dukungan antara NU struktural (maruf amin, said aqil cs) dengan NU kultural (Gus Solah Cs) juga menjadi tanda kehancuran jokowi. Karena basis utama massa pemilih dari NU itu adalah berada dibawah komando NU kultural yang menguasai hampir 90 persen basis pesantren NU di seluruh nusantara. Sedangkan NU kultural juga sudah terang terangan mendukung Prabowo-Sandi. Melalui putusan holaqoh NU bulan lalu.
Sebaliknya NU struktural hanya membawahi struktur organisasi saja. Tidak mempunyai basis dan akar di masyarakat. NU struktural ibarat punya baju, tetapi tidak punya badan, tangan dan kaki dalam kaidah sebuah organisasi massa.
Ditambah Maruf Amin maju juga atas inisiatif sendiri bukan dari hasil musyawarah ulama NU. Sedangkan maju resmi dari hasil musyawarah saja, fakta sejarah membuktikan sdh dua orang calon wapres dari NU (Gus Solah, KH Hasyim Muzadi) selalu kalah dalam Pilpres sebelumnya.
6. OTT Ketua PPP Rommy oleh KPK juga merupakan tamparan keras buat Jokowi di tengah kapalnya yang oleng. Belum lagi beberapa teman dekat Jokowi bahkan Menteri Agama pun mulai diincar KPK atas keterkaitan temuan uang suap jabatan dalam laci meja kerjanya. Artinya apa, slogan ‘orang baik’ yang menjadi jargon kampanye jokowi hancur lebur sudah. Artinya apa, jokowi yg mencitrakan dirinya bersih dan baik terbukti hanya slogan pencitraan semata.
7. Isu perpecahan dan perkelahian sesama parpol pendukung di tubuh TKN yang terbuka kepada umum juga sangat berdampak dan menjadi bukti bahwa kalau di internal jokowi pun sdh banyak masalah. Bagaimana mau berjuang. Seperti PDIP ribut dgn PSI. Golkar Vs Nasdem. Dan PPP Vs PKB.
Perpecahan ini bertanda tidak ada lagi satu komando satu semangat perjuangan dalam tubuh TKN sendiri. Dan perpecahan dalam sebuah kontestasi politik adalah tanda tanda sebuah kekalahan. Perpecahan di internal seperti ini akan sangat mempengaruhi semangat juang dan daya ungkit tim pemenangan jokowi di lapangan. Mereka larut dalam pertengkaran dan saling menjatuhkan sesama kubunya.
8. Manuver Kapolri dengan telegramnya tentang 14 instruksi agar Polri Netral dalam Pemilu yg dikeluarkan pada tanggal 18 maret bulan yg lalu.
Ini menandakan, tekanan kuat dari msyarakat serta kritik keras dari para senior dan tokoh sepuh Polri akhirnya membuat Tito bergeming. Polri yg sebelumnya vulgar menjadi alat kekuasaan jokowi dalam penggalangan massa, sekarang mulai main ke tengah dan mengurangi aktifitas propagandanya di tengah masyarakat. Adapun gerakan galmas (penggalangan massa) di bawah yg masih berjalan sekarang itu tak lebih gerakan mandiri dari satuan wilayah masing masing. Tidak terintegrasi seperti biasanya. Polri secara institusional secara berlahan sudah mulai menarik dirinya ketitik aman dan netral.
Dan hal ini tentu juga menjadi pukulan keras bagi kubu jokowi. Karena secara perlahan ditinggalkan mesin utama pendukungnya.
9. Seluruh media massa selain Metro TV, juga mulai proporsional menayangkan iklan kampanye dan berita masing kandidat. Kalau biasanya sangat dominan jokowi, satu bulan terakhir ini mulai berimbang dan malah mulai berat ke Prabowo. Ini menandakan bahwa media massa pun tidak bisa melawan takdir alam. Bahwa sekarang ini jokowi bukan melawan prabowo lagi, tapi melawan gelombang perlawanan rakyat atau ‘People Power’.
Rakyat sudah tak bisa lagi dibendung untuk mengganti Presiden. Gelora militansi masyarakat sangat luar biasa di lapangan. Media massa yang selama ini tertekan dibawah kontrol kekuasaan, akhirnya secara halus juga melakukan perlawanan dgn mulai memberitakan secara proporsional setiap giat kampanye masing pasangan kandidat. Kecuali Metro TV yang masih setia jadi ‘corong’ utama pencitraan jokowi.
10. Blunder statemen emosional para jendral di kubu jokowi dalam mengungkit-ungkit isu lama tentang khilafah, penculikan, isu HAM, yang awalnya mau menyudutkan kubu Prabowo-Sandi, membuktikan kubu jokowi sudah berada dalam kepanikan tingkat tinggi. Apalagi ketika Wiranto berwacana mau mengkaitkan antara pelaku hoax dengan UU anti terorisme.
Semua ini semakin menambah antipati masyarakat kepada rezim jokowi. Masyarakat menganggap jokowi mau kembalikan Indonesia kezaman totalitanizem atau pemerintahan otoriter. Isu lama tentang khilafah, mengganti ideologi Pancasila, adalah isu basi yang sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan amunisi provokasi pemerintah kepada masyarakat.
Masyarakat sudah semakin cerdas dan melek politik. Blunder statemen dari para jendral seperti Luhut Binsar, Moeldoko ttg seruan perang total dan wiranto tentang UU anti terorisme, membuktikan sekelas jendral saja bisa menjadi tidak logis dan realistis karena kepanikan dan stres gara kondisi politik nasional yang mengepung petahana sekarang ini. Ini adalah tanda-tanda nyata kekalahan jokowi sudah diambang mata.
11. Mahalnya ketenangan, keharmonisan, dan kenyamanan di tengah masyarakat. Kondisi ekonomi yg semakin sulit, membuat emosional masyarakat rentan marah.
4,5 tahun rezim ini berkuasa, telah mencabik-cabik persaudaraan dan kekeluargaan di tengah masyarakat. Pembiaran terhadap pelaku penista agama Islam khususnya memantik semangat perlawanan umat Islam di Indonesia. Belum lagi berbagai kebijakan dan statemen kubu jokowi yg vulgar memusuhi umat Islam, adalah kesalahan fatal kubu jokowi mencari musuh di tengah negara yang mayoritas berpenduduk muslim terbesar didunia ini.
Jokowi telah melanggar 3 hal apa yg pernah disampaikan seorang pakar misionaris Belanda Snouck Hurgonje. Yaitu, “ Kalau ingin menguasai orang Islam jangan pernah ganggu 3 hal yaitu ; jangan ganggu urusan ibadahnya, jangan ganggu tempat ibadahnya, dan jangan ganggu tokoh dan ulamanya “.
Pesan ini ternyata terbukti. Yang menjadi pemicu kemarahan dan pemicu perlawanan umat Islam di Indonesia awalnya adalah ketika Jokowi seakan tutup mata dan membiarkan segala bentuk penistaan dan ujaran kebencian yg dilakukan kubunya (termasuk Ahok) kepada umat Islam. Belum lagi kriminalisasi kepada para ulama seperti Habieb Riziq, Ustad Alvian Tanjung, Ustad Khattah, dan banyak lagi lainnya.
Hanya pada rezim jokowi ini terjadi penghadangan dan persekusi kepada para da’i dan Ustad dalam berdakwah. Arogansi premanisme yg di back up oleh aparat kepada Ustad Abdul Somad, Felix Shiaw, Tengku Zulkarnain, bahkan Fahri Hamzah, telah menjadi puncak kegeraman ummat Islam Indonesia pada Jokowi. Dan sangat salah serta fatal, kalau jokowi menjadikan ummat Islam menjadi musuh utama pemerintahannya. Apalagi dgn fitnah provokasi isu basi khilafah dan anti Pancasila.
12. Debat keempat kandidat capres kemaren semakin memperjelas bahwa tanda kekalahan jokowi itu semakin dekat dan jelas. Jokowi kelihatan sangat grogi dan gagap. Berbeda dgn Prabowo yang lugas dan superior.
Klimaksnya adalah closing statemen Jokowi tentang sebuah arti tali persahabatan. Dimana secara ilmu komunikasi politik, statemen Jokowi itu adalah bahagian ‘code of conduct’ sinyal kekalahan atau semacam kibaran bendera putih Jokowi kepada Prabowo.
Statemen Jokowi ini pun seakan selaras dengan ekspresi wajah tokoh di kubu jokowi yg sengaja ditangkap kamera seperti eric tohir, megawati, dan moeldoko yang kelihatan begitu tegang dan sendu dingin tak bercahaya seperti biasa. Tentu sebagai penguasa sekarang ini, mereka lebih tahu bagaimana kondisi real didalam sebenarnya.
Namun apapun itu, sebagai manusia kita hanya diberikan Allah untuk membaca tanda-tanda dari sebuah fenomena. Apapun itu nanti hasilnya, hanya Allah yang Maha Tahu.
Semoga saja tanda tanda yang kita paparkan diatas memang menjadi kenyataan bahwa insyaAllah ditahun 2019 ini Indonesia akan mempunyai Presiden baru yang akan kembali menyatukan rakyat Indonesia yang tercabik cabik oleh provokasi jahat rezim dibawah panji merah putih. InsyaAllah. **
(Penulis adalah Alumni PPRA Lemhannas RI LVIII Tahun 2018).