Buya Hamka: Islam Masuk Ke Indonesia Oleh Pedagang Arab Dari Mekkah Pada Abad Ke-7 Masehi
Faktakini.net, Jakarta - Untuk menjauhkan umat Islam Indonesia dari akarnya yaitu Arab, dan untuk memutus hubungan erat umat Islam di Indonesia dengan Arab, maka kalangan orientalis dan anti Islam berupaya keras menebar cerita bahwa Islam di Indonesia bukan disebarkan oleh orang-orang Arab tetapi justru oleh orang India, Cina dan sebagainya.
Pada tahun 1961, Ulama Besar Indonesia Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang akrab dipanggil dengan Buya Hamka, menggugat pendapat yang menyatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India.
Menurut Buya Hamka, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang dari Makkah (Arab Saudi) pada abad ke-7 Masehi atau permulaan Hijriah, yang kemudian diikuti oleh pedagang Gujarat (India) abad ke-13 M, maupun Cina pada abad ke-10 M. Mereka (Arab, Gujarat, Persia, maupun pedagang Cina) bukanlah anggota misi penyebaran Islam, namun mempunyai kewajiban untuk mengenalkan Islam pada wilayah yang mereka datangi, termasuk Indonesia.
Bukti kuat pengaruh Islam telah masuk ke Nusantara pada sekitar abad ke-7 dibawa langsung oleh para pedagang Arab adalah adanya permukiman Islam pada 674 di Baros, Banten.
Ahmad Mansur Suryanegara, dalam bukunya Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, menyatakan, pendapat Hamka tersebut lebih menekankan pada peranan utama dari para penyebar Islam di Indonesia.
Pendapat Hamka ini, sejalan dengan pernyataan TW Arnold dalam The Preaching of Islam: A History of the Propagantion of the Muslim Faith, dan JC van Leur dalam Indonesian: Trade and Society, serta Bernard HM Vlekke dalam Nusantara : A History of Indonesia, serta sejarawan dan tokoh Muslim lainnya seperti Crawfurd, Niemann, de Holander, Fazlur Rahman, dan Alwi Shihab.
"Sedangkan abad ke-13 itu, masuknya Islam lebih bercorak pada persoalan politik," tulis Mansur Suryanegara, mengutip pernyataan Buya Hamka.
Adapun sebagian sejarawan malah mengutip pendapat Pijnapel yang kemudian diikuti oleh Snouck Hurgronje, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).
Hurgronje, seorang misionaris Belanda yang dinilai berpura-pura masuk Islam demi untuk mencari kelemahan Islam serta mengadu dombanya serta melanggengkan penjajahan Belanda di Indonesia, mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India, yaitu tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar. Menurut teori ini, pedagang dari Gujarat yang berperan besar menyebarkan Islam ke Nusantara.
Untuk memperkuat klaimnya, Teori Gujarat ini mengklaim masuk ke Indonesia dapat dilihat dari kesamaan ajaran dengan mistik yang ada di India.
Ucapan Hurgronje ini dinilai oleh banyak pihak sebagai upaya untuk menjauhkan umat Islam di Indonesia dari akar agama Islam (Arab) itu sendiri.
Ahmad Mansur Suryanegara, dalam bukunya Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, menyatakan, pendapat Hamka tersebut lebih menekankan pada peranan utama dari para penyebar Islam di Indonesia.
Pendapat Hamka ini, sejalan dengan pernyataan TW Arnold dalam The Preaching of Islam: A History of the Propagantion of the Muslim Faith, dan JC van Leur dalam Indonesian: Trade and Society, serta Bernard HM Vlekke dalam Nusantara : A History of Indonesia, serta sejarawan dan tokoh Muslim lainnya seperti Crawfurd, Niemann, de Holander, Fazlur Rahman, dan Alwi Shihab.
"Sedangkan abad ke-13 itu, masuknya Islam lebih bercorak pada persoalan politik," tulis Mansur Suryanegara, mengutip pernyataan Buya Hamka.
Adapun sebagian sejarawan malah mengutip pendapat Pijnapel yang kemudian diikuti oleh Snouck Hurgronje, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).
Hurgronje, seorang misionaris Belanda yang dinilai berpura-pura masuk Islam demi untuk mencari kelemahan Islam serta mengadu dombanya serta melanggengkan penjajahan Belanda di Indonesia, mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India, yaitu tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar. Menurut teori ini, pedagang dari Gujarat yang berperan besar menyebarkan Islam ke Nusantara.
Untuk memperkuat klaimnya, Teori Gujarat ini mengklaim masuk ke Indonesia dapat dilihat dari kesamaan ajaran dengan mistik yang ada di India.
Ucapan Hurgronje ini dinilai oleh banyak pihak sebagai upaya untuk menjauhkan umat Islam di Indonesia dari akar agama Islam (Arab) itu sendiri.
Terkait Walisongo yang juga berjasa dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia memang saat ini masih diperdebatkan apakah mereka orang Tionghoa atau Arab, tetapi yang pasti Islam sudah disebarkan ke Indonesia (Nusantara) oleh orang-orang Arab jauh sebelum era Walisongo.
Pedagang Gujarat, India sendiri sebetulnya juga diduga kuat orang-orang Arab, bukan orang India, hanya saja mereka orang-orang Arab itu sempat menetap di Gujarat sebelum kemudian turut menyebarkan agama Islam di Indonesia atau Nusantara pada saat itu.
Menurut Hamka, masuknya Islam ke Pulau Jawa bersamaan dengan masuknya Islam ke Sumatra, pada abad ke-7 M. Pandangan ini didasarkan pada berita Cina yang mengisahkan kedatangan utusan Raja Ta Cheh kepada Ratu Sima. Adapun Raja Ta Cheh ini, menurut Hamka, adalah Raja Arab dan khalifah saat itu adalah Muawiyah bin Abu Sufyan.
Peristiwa ini terjadi saat Muawiyah bin Abu Sufyan melaksanakan pembangunan kembali armada Islam. Ruban Levy dalam Social Structure of Islam memberikan jumlah angka kapal yang dimiliki Muawiyah pada tahun 34 Hijriah atau 654/655 M sebanyak 5.000 kapal.
Sedangkan bukti terbaru yang bisa dilacak dari masuknya Islam ke Indonesia adalah ditemukannya sejumlah harta karun di perairan Cirebon oleh PT Paradigma Putera Sejahetara (PPS) sebanyak 200 ribu benda bersejarah dari badan muatan kapal tenggelam (BKMT). Dari beberapa artefak yang ditemukan tersebut, terdapat sejumlah simbol keislaman berupa cetakan teks Arab bertuliskan khat Naskhi (model Mushaf Usmani) dan lainnya.
"Bukti dari Cirebon ini akan mengoreksi waktu kedatangan Islam hingga 300 tahun ke belakang," jelas Kurt Tauchman, profesor emeritus dari Departemen Antropologi Universitas Cologne, Jerman. Disebutkan, kapal yang tenggelam di perairan Cirebon ini diperkirakan terjadi pada 920-960 M. Karena itu, bukti sejarah ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang jelas tentang sejarah Islam di Indonesia.
Foto: Buya Hamka
Sumber: Republika.co.id
Menurut Hamka, masuknya Islam ke Pulau Jawa bersamaan dengan masuknya Islam ke Sumatra, pada abad ke-7 M. Pandangan ini didasarkan pada berita Cina yang mengisahkan kedatangan utusan Raja Ta Cheh kepada Ratu Sima. Adapun Raja Ta Cheh ini, menurut Hamka, adalah Raja Arab dan khalifah saat itu adalah Muawiyah bin Abu Sufyan.
Peristiwa ini terjadi saat Muawiyah bin Abu Sufyan melaksanakan pembangunan kembali armada Islam. Ruban Levy dalam Social Structure of Islam memberikan jumlah angka kapal yang dimiliki Muawiyah pada tahun 34 Hijriah atau 654/655 M sebanyak 5.000 kapal.
Sedangkan bukti terbaru yang bisa dilacak dari masuknya Islam ke Indonesia adalah ditemukannya sejumlah harta karun di perairan Cirebon oleh PT Paradigma Putera Sejahetara (PPS) sebanyak 200 ribu benda bersejarah dari badan muatan kapal tenggelam (BKMT). Dari beberapa artefak yang ditemukan tersebut, terdapat sejumlah simbol keislaman berupa cetakan teks Arab bertuliskan khat Naskhi (model Mushaf Usmani) dan lainnya.
"Bukti dari Cirebon ini akan mengoreksi waktu kedatangan Islam hingga 300 tahun ke belakang," jelas Kurt Tauchman, profesor emeritus dari Departemen Antropologi Universitas Cologne, Jerman. Disebutkan, kapal yang tenggelam di perairan Cirebon ini diperkirakan terjadi pada 920-960 M. Karena itu, bukti sejarah ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang jelas tentang sejarah Islam di Indonesia.
Foto: Buya Hamka
Sumber: Republika.co.id