Dokter Ani Hasibuan Dijerat 5 Pasal Sekaligus

Kamis, 16 Mei 2019

Faktakini.net, Jakarta - Polisi memanggil Ani Hasibuan setelah mendapat laporan dari Carolus Andre Yulika pada 12 Mei 2019 bernomor LP/2929/V/2019/Dit.Reskrimsus.
Dirkrimsus Polda Metro Jaya kemudian mengeluarkan surat penyidikan Nomor SP.DIK/391/V/RES.2.5/2019/Dit Reskrimsus tanggal 15 Mei 2019.
Artinya, surat penyidikan hanya berselang 2 hari setelah ada laporan langsung dikeluarkan oleh pejabat Polda Metro Jaya.
Dalam surat itu disebutkan nama lengkap Ani Hasibuan sebagai Robiah Khairani Hasibuan.

Ani Hasibuan diminta menghadap polisi di Polda Metro Jaya pada Jumat (17/5/2019) sekitar pukul 10:00 WIB untuk menemui Kasubdit III Sumdaling AKBP Ganis Setyaningrum.
Ani Hasibuan tersangkut perkara tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA.

Tuduhan lain adalah menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemmberitahuan itu adalah bohong.

Tuduhan lainnya adalah menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patur dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.

Informasi yang disampaikan Ani Hasibuan tersebut dimuat di portal berita thanshnews.com pada 12 Mei 2019.

Pasal-pasal Disangkakan Kepada Ani Hasibuan setidaknya ada lima.
Perbuatannya dinilai bertentangan dengan pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 35 Jo Pasal 45 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No 11 tahun 2008 tentang ITE.

Pasal lainnya yang diduga dilanggar adalah Pasal 14 dan/atau Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 55 ayat (1) Jo Pasal 56 KUHP yang terjadi pada 12 Mei 2019 di Jakarta.
Ancaman Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 adalah 10 tahun.
Bunyi Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 :

(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.

(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Komentar IDI Terkait Dr Ani Hasibuan
Ketua Dewan Penasehat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia ( IDI) Prijo Sidipratomo mengatakan, publik dapat melaporkan Dokter Ani Hasibuan ke pihaknya apabila pernyataan dia dinilai membuat publik menjadi ragu terhadap sebuah proses medis.

“Kalau ada sesuatu yang tidak pas menurut masyarakat, masyarakat boleh melaporkan kepada MKEK. Apakah yang menjadi ucapan, tindakan, melanggar atau tidak,” ujar Prijo saat dijumpai di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (15/5/2019).

 “Itu nanti MKEK akan melakukan klarifikasi untuk hal itu dengan memanggil yang bersangkutan, bertanya kepada yang bersangkutan. Kami punya SOP-nya untuk itu,” lanjut dia seperti ditulis di Kompas.com.

Prijo menjelaskan, dalam kode etik kedokteran, terdapat empat kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang dokter, yakni kewajiban terhadap umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap rekan sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri.

MKEK hanya berwenang soal tiga kewajiban terakhir.
Sementara, untuk kewajiban pertama, publik lah yang dinilai memiliki wewenang melaporkan.

“Kalau urusan tiga tadi, enggak usah dilapori, kita bisa ambil. Tapi kalau yang terhadap umum tadi, misalnya dia beriklan, misalnya dia mengeluarkan statement, misalnya dia ngomong sesuatu ke publik tentang sesuatu yang mestinya enggak disampaikan ke publik, itu ranahnya publik. Publik bisa melaporkan itu,” ujar Prijo.
Saat ditanya, perilaku apa yang dapat dijadikan bahan laporan publik ke MKEK IDI, Prijo merujuk pada kode etik kedokteran Indonesia bagian pertama.

Terdapat 13 pasal kode etik yang mengatur mengenai hubungan seorang dokter dengan khalayak.

Jika masyarakat merasa ada seorang dokter yang diduga melanggar salah satu pasal tersebut, maka layak untuk dilaporkan ke MKEK IDI.

“Masyarakat buka saja http://www.mkekpbidi.org/ buka tentang kode etik kedokteran, bisa dibaca di situ. Publik tinggal urut saja, ada pasal-pasal kode etik kedokteran dan yang awal adalah ranah umum. Ada enggak dia melanggar itu,” ujar Prijo.

“Kalau itu memang diindikasikan dia melanggar, laporkan saja. Kami bisa melakukan klarifikasi kepada yang bersangkutan. Tapi enggak mungkin kita sendiri ambil alih. Karena itu ranah publik,” lanjut dia.

Saat ditanya pendapat mengenai pernyataan Ani Hasibuan, Prijo menolak berkomentar.
Prijo memilih mengurusi itu sesuai mekanisme di IDI apabila ada laporan yang masuk.

Kontroversi Ani Hasibuan
Diketahui, Ani adalah dokter ahli syaraf.
Pernyataannya mengenai banyak petugas Kelompok Panitia Pemunggutan Suara (KPPS) pada Pemilu 2019 di salah satu televisi swasta, beberapa waktu lalu, memicu kontroversi publik, khususnya di media sosial.

Dikutip www.tribunnews.com, Ani awalnya mempertanyakan mengapa banyak petugas KPPS yang meninggal dunia di sela kerja.

“Saya sebagai dokter dari awal sudah merasa lucu, gitu. Ini bencana pembantaian atau pemilu? Kok banyak amat yang meninggal. Pemilu kan happy-happy mau dapat pemimpin baru kah atau bagaimana? Nyatanya (banyak yang) meninggal,” ujar Ani.

Kemudian, Ani menyanggah pernyataan pihak KPU yang menyebutkan bahwa kasus meninggalnya petugas KPPS disebabkan kelelahan bekerja.

“Kalau kita bicara fisiologi, kelelahan itu kan kaitannya dengan fisik. Kalau orang beraktivitas, dia pakai gula metabolisme. Kalau habis capek. Dia hipoglekimia dia lapar. Kalau enggak oksigennya dipakai dia ngantuk. Jadi orang capek itu, dia ngantuk, dia lapar. Kalau dipaksa, dia pingsan, enggak mati dong,” ujar Ani.
Ani juga berpendapat, beban kerja petugas KPPS pada Pemilu 2019 ini tidak terlalu berat.

Ia membandingkannya dengan dokter yang sedang mengambil spesialis.

“Saya melihat beban kerjanya. Ada di laporan kerja saya. Itu beban kerjanya saya tidak melihat ada fisik yang capek. Yang saya tahu, dokter yang ambil spesialis itu capek kerja tiga hari tiga malam tidak ada yang mati. Yang ada itu malah tambah gendut,” kata Ani.

Ani menambahkan, kemungkinan penyebab kematian adalah penyakit yang sudah diderita petugas KPPS. Ia mencontohkan seseorang yang terkena tumor otak.

Apabila penderita tidak dibebani kerja otak yang besar, maka ia akan baik-baik saja. Namun, apabila beban kerjanya besar, tumor itu disebutnya akan “bertingkah” sehingga dapat menyebabkan penderita meninggal dunia.
“Jadi, bukan karena capeknya,” ujar Ani.

Sumber: wartakota.tribunnews.com