Jelang Putusan MK, Ustadz DHL: MK Dan MA Tidak Berposisi Atau Memiliki Derajat Dibawah Bawaslu


Selasa, 25 Juni 2019

Faktakini.net

Jakarta, 25 Juni 2019

Damai Hari Lubis
Ketua Divisi Hukum PA. 212

Legal opinion

*MK dan MA Tidak Berposisi atau Memiliki Derajat Dibawah Bawaslu*

*( MK. Lembaga yang punya fungsi mengkerdilkan pada pasal  hukum yang mengikat, MK adalah sosok destroyer terhadap  pasal sebuah undang - undang, bukan sebaliknya MK merujuk atau mengekor, tapi justru putusannya mnjdi  temuan hukum, produknya berkwalitas tinggi / higt kwality, produk kepastian hukum yang dapat digunakan seluruh lapisan  masyarakat dan para penegak hukum, karena putusannya  berakibat dan berkekuatan hukum menjadi pasal yang berlaku positif atau ius konstitutum )*

MK tidak tunduk pada putusan bawaslu perihal pembatalan TMS ( Tidak Memenuhi Sarat )  oleh KPU kepada caleg Gerindra Mirah Sumirat karena merupakan karyawan anak perusahaan BUMN

Kecil sekali dan bahkan menghinakan MK yang putusannya satu kali serta berkekuatan sama dengan undang - undang RI.
Logika hukumnya  bawaslu sekedar perangkat KPU yang bekerja cukup merujuk pada  Undang-Undang tentang KPU UU. Nomor  7 Tahun 2017.

Secara hukum pun belum ada yang menggugat pembatalannya ( JR ) khususnya pada pasal 227 hurup p. Tentang larangan pegawai atau pejabat BUMN untuk mendaftarkan diri sebagai caleg

Andaipun  ada  penetapan/ putusan  MA justru mengecilkan arti dari pada putusan bawaslu yang disampaikannya kepada Majelis Persidangan Terbuka Untuk Umum, oleh sebab hukum melalui fakta yuridis MA. ( Mahkamah Agung ) membuktikan dalam amar putusan JR No.21 P./ HUM/ Tahun 2017 menyatakan : "  bahwa  anak perusahaan BUMN merupakan perusahaan BUMN, maka penetapan MA tersebut bukan merupakan dalil MK yang dapat menjadi dasar  rujukan atau yurisprudensi membatalkan isi undang undang/ pasal pada undang undang atau menjadi pertimbangan pada amar.  Apalagi mutu yuridis secara  hirarkis perundang -  undangan khusus objek yuridis Permohonan Pembatalan atau uji materi/ JR ke MA adalah lebih rendah daripada objek yang menjadi permohonan/ JR ke  MK .
Kembali kepada pokok permasalahan ulasan , derajat putusan Bawaslu kwalitasnya sangat rendah bila ingin dibandingkan kepada derajat kewenangan , objek dan nilai  putusan Mahkamah Agung, terlebih jauh  lagi bila disanding dengan  Mahkamah Konstitusi/ MK. Baik mutu objek sengketa in casu / domein maupun eksisteni dan kelembagaan 

*Sehingga bila sampai MK membuat putusan sengketa pemilu pilpres 2019 yang pertimbangan hukum amar putusannya menggunakan dalil putusan bawaslu, MK mempermalukan diri lembaga mereka serta merupakan cacat yuridis serta cacat keburukan sejarah yang dibuat MK pada tahun 2019 pada era presiden Jokowi*

Sehingga alasan putusan bawaslu pada sidang MK justru contoh in casu Mirah Sumantri menjadikan fakta notoire yang menjadi notoire feiten, yang didalam undang - undang hukum acara perdata/ HIR atau RBG  berlaku sah sebagai salah satu  alat bukti yg dapat mnjd pertimbangan para hakim untuk mengabulkan atau memenangkan atau sebaliknya mengalahkan salah satu fihak dalam berperkara.

Sehingga perihal dan terkait  salah satu sinyalemen kejahatan atau kecurangan- kecurangan yang dilakukan pasangan 01 melalui cara atau pola  TSM (terstruktur , sistematis dan masiv ) telah terbukti dan  memang fakta  terjadi dan telah menjadi pengetahuan umum ditengah masyarakat, karena disampaikan secara resmi dimuka umum pada persidangan MK, sehingga secara hukum dapat mnjadi acuan amar putusan MK  yang berkeadilan, yakni amar yang  mendiskualifikasi terhadap pasangan nomor 01 Capres Jkw - Maruf Amin.


Foto: Ustadz DHL