Hj Fahira Idris Ungkap Semakin Bagus Terobosan Pemprov DKI, Serangan Ke Anies Makin Gencar

Senin, 21 Juli 2019

Faktakini.net, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuai sejumlah kritikan dari buzzer dan pembencinya dalam beberapa waktu terakhir. Salah satunya terkait dengan pembongkaran seni bambu yang dianggap pemborosan.

Ketua Umum Organisasj Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar) Fahira Idris mengatakan hinaan ke Anies seperti sebuah ‘operasi’. Gelombang cacian dan fitnah terhadap Anies bercorak dan beritme sama yaitu mendegradasi berbagai capaian Jakarta dan berbagai program pembangunan yang mulai dirasakan warga ibu kota.

Bang Japar, kata Fahira, menilai fenomena serangan terhadap Anies meningkat di saat-saat Gubernur membuat terobosan baru atau saat Pemprov mendapat prestasi atau capaian.

“Amatan saya, semakin sering Pemprov DKI membuat terobosan atau mendapat apresiasi, serangan akan semakin intensif," kata Fahira kepada wartawan, Senin (22/7).

Hajjah Fahira yang juga Anggota DPD RI asal Jakarta menganggap jika isu yang jadi tema kritikan atau ajang cacian kepada Anies substanstif, maka tidak masalah. Namun, sering sekali yang jadi ‘peluru’ hal-hal tidak penting.

"Sudah tidak penting dilebarkan kemana-mana yang mengarah kepada serangan personal dan pembunuhan karakter serta dikait-kaitkan dengan isu SARA,” tegas Fahira.

Pekerja beraktivitas di dekat karya seni instalasi dari bambu yang dibuat oleh seniman Joko Afianto, di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (15/8). Pemprov DKI Jakarta memasang karya seni tersebut untuk memperindah Jakarta dalam rangka menyambut Asian Games 2018.

Ia memberi contoh soal instalasi bambu Getah Getih di Bundaran HI yang dipajang guna kepentingan Asian Games 2018 dan memang diperuntukkan untuk enam bulan saja. Seni bambu ini menjadi ‘peluru’ untuk menyerang Anies saat memang waktunya harus dibongkar.

Anies pun menjawab dengan membandingkan dengan impor baja asal China bila membuat kesenian dari besi.   “Kita kebanjiran baja impor asal Tiongkok itu fakta. Kenapa tidak terima dan malah membelokkan fakta ini menjadi sentimen ras. Kalau terminologi Tiongkok saja mereka tidak paham bagaimana mau menjadi pengkritik yang cerdas,” papar Fahira.

Di negara demokrasi, lanjut Fahira, konsekuensi menjadi seorang pemimpin adalah harus siap dikritik, dihujat, dicaci, bahkan difitnah.

Rentetan prestasi tidak akan menjamin seorang pemimpin mendapat pujian apalagi pengakuan, malah mungkin semakin berprestasi, serangan akan semakin menjadi. Ini karena, di era kemajuan teknologi informasi saat ini sangat mudah membalikkan fakta.

Sumber: republika.co.id