KontraS: Oknum Polisi Diduga Lakukan Kekerasan Pada Anak Di Kasus 22 Mei


Sabtu, 27 Juli 2019

Faktakini.net, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menduga tim Polsek Gambir dan penyidik Polda Metro Jaya telah melakukan pelanggaran hukum terhadap anak berhadapan dengan hukum terkait kerusuhan 22 Mei 2019. Pelanggaran hukum tersebut berupa penyiksaan, penangkapan, hingga penahanan sewenang-wenang.

Dugaan tersebut didasari informasi yang diterima Kontras bahwa anak berinisial GL (17) dan FY (17) ditangkap di sekitar Polsek Gambir pada 22 Mei dini hari. Kontras menyebut dua anak itu dituduh melakukan kerusuhan dan melawan petugas.

"Setelah ditangkap, GL dan FY digiring dan dipaksa berendam di kolam yang sudah kotor dan berwarna hijau. Sesudah direndam, GL dan FY dibawa ke dalam kantor dan dimasukkan ke dalam sel tahanan. Tak selang begitu lama, mereka dikeluarkan dan mengalami sejumlah pemukulan, FY dipukul di bagian dada sebanyak 3 (tiga) kali, GL dipukul 2 (dua) kali, pertama di bagian dada, kedua di bagian punggung, lalu setelah itu mereka kembali dimasukkan ke dalam sel tahanan bersama tahanan lainnya yang sudah usia dewasa," kata staf pembela HAM Kontras, Andi Muhammad Rezaldy, di kantor Kontras, Jl Kramat II, Kwitang, Senen, Jakpus, Jumat (26/7/2019).

Pada siang harinya, menurut Andi, FY dan GL dikeluarkan dari sel tahanan dan dipaksa berendam kembali. Bila kepalanya muncul ke atas air, kata Andi, kedua orang itu akan dipukul dengan balok.

"Sesudah itu, FY dan GL bersama tahanan lainnya yang kurang-lebih berjumlah 25 (dua puluh lima) orang dimasukkan ke dalam mobil boks dengan kondisi tangan terikat dan dibawa menuju ke Polda Metro Jaya. Di dalam mobil itu, mereka diberikan ruang udara yang begitu sempit, sehingga mereka harus secara bergantian mendapatkan udara segar dari luar," ujar dia.

Setiba di Polda Metro Jaya, FY dan GL diperiksa penyidik terkait keterlibatannya dalam kerusuhan 22 Mei. Namun, menurut Andi, pemeriksaan tersebut tidak didampingi pihak keluarga dan kuasa hukum.

"Pemeriksaan itu tidak didampingi oleh pihak keluarga ABH (anak berhadapan dengan hukum). Saat pertama kali di-BAP, FY tidak didampingi penasihat hukum, lalu ketika dilakukan BAP ulang, FY mendapatkan penasihat hukum tetapi diragukan keabsahan penunjukannya, sebab pihak orang tua/wali merasa tidak menandatangani surat kuasa atas penunjukan tersebut," paparnya.

Setelah diperiksa, GL kemudian dipindahkan ke Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani Jakarta. Sedangkan FY ditahan bersama orang dewasa selama sekitar dua minggu.

"Baru beberapa hari sebelum Lebaran Idul fitri, FY dipindahkan ke PSMP Handayani Jakarta, oleh karena pihak keluarga menunjukkan akta kelahirannya FY, yang diketahui bahwa sesungguhnya ia masih usia anak," sebut Andi.

Andi menjelaskan pihak keluarga sudah mengajukan diversi sebanyak 2 kali, tapi Polda Metro Jaya tidak pernah hadir dalam upaya diversi itu.

"Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PSMP Handayani Jakarta tertanggal 16 Juli 2019, terdapat 10 (sepuluh) ABH yang gagal mencapai kesepakatan diversi dan mereka masih berada di PSMP Handayani Jakarta," ujarnya.

Atas informasi tersebut, Kontras dan LBH Jakarta menduga telah terjadi sejumlah pelanggaran hukum dan hak asasi manusia terhadap anak yang berhadapan dengan hukum terkait peristiwa 22 Mei. Berikut ini kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan mengenai kasus itu:

1. Kapolri, Kasat Reskrim Mabes Polri Republik Indonesia segera melakukan penyidikan terhadap Polisi dari kesatuan Polsek Metro Gambir yang diduga melakukan penyiksaan dan/atau kekerasan terhadap anak berhadapan dengan hukum dengan mengenakan Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan.

2. Kapolri, Kasat Reskrim Mabes Polri Republik Indonesia harus segera melakukan penyidikan terhadap penyidik Polda Metro Jaya yang menangani anak berhadapan dengan hukum peristiwa 22 Mei, atas dugaan tindak kejahatan penahanan sewenang-wenang oleh penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 98 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan ancaman penjara selama 2 (dua) tahun

3. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dalam melakukan penyelesaian kasus terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum harus dapat menjamin hak-haknya selama proses penyidikan berlangsung dan harus mengedepankan upaya diversi dengan penyelesaian di luar peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

4. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta melakukan peninjauan atau penelitian kembali atas berkas perkara yang diberikan oleh Polda Metro Jaya, sebab penyidikan yang telah dilakukan diduga melanggar hukum acara dan hak asasi manusia

5. Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia harus melakukan pengawasan dan ikut serta membantu 10 (sepuluh) anak berhadapan dengan hukum terkait peristiwa 22 Mei dalam mencapai kesepakatan diversi dengan pihak kepolisian.

Foto: Staf pembela HAM Kontras, Andi Muhammad Rezaldy

Sumber: detik.com