Namran U.M: Pembangkangan Hukum Oleh Instansi Penegak Hukum
Jum'at, 5 Juli 2019
Faktakini.net
*PEMBANGKANGAN HUKUM OLEH INSTANSI PENEGAK HUKUM*
Oleh : Namran U.M
Lima tahun terakhir sejak 2014 makin banyak terjadi keganjilan dan pembangkangan terhadap Undang Undang bahkan terhadap peraturan yang dibuat sendiri oleh instansi penegak hukum.
Contoh kecil adalah, pelanggaran terhadap UU No. 9 Tahun 1998 tentang unjuk rasa atau penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi atau rapat umum sekaligus juga pelanggaran terhadap Peraturan Kapolri No.7 Tahun 2012.
Pada satu sisi, peraturan Kapolri No.7 Tahun 2012 ini bertentangan dengan UU No. 9 Tahun 1998. Dan pada sisi yang lain, implementasi UU 9/1998 dan Perkapolri 7/2012 ini menyimpang dari ketentuan yang ada.
Pembangkangan atau pengebirian terhadap UU No. 9 Tahun 1998 adalah, Perkapolri No. 7 Tahun 2012, membatasi waktu kegiatan di tempat terbuka hanya sampai pukul 18.00, padahal di dalam UU No. 9 Tahun 1998, tidak ada pengaturan tentang batas waktu tersebut.
Lalu pertanyaannya adalah, apa legitimasi Perkapolri dibolehkan mengatur hal tersebut..?
Jawaban dari kaum yang menganut aliran hukum positiv legalis tentu saja merujuk pada UU tentang tata urutan perundang-undangan. Dengan pikirian positiv legalisnya mereka akan me jawab bahwa Kapolri memiliki wewenang membuat aturan untuk melaksanakan UU. Hanya itu jawaban mereka.
Tanpa menguji lebih lanjut jawaban tersebut, kaum dungu tentu bersorak gembira dengan jawaban ini.
Namun kedunguan mereka memang sudah sulit diobati, biarkan saja, tak usah bersebat dengan orang dungu, karena debat dengan orang dungu hanya membuang buang waktu dan orang berilmu pasti kalah debat dengan orang dungu, karena debatnya hanya menjadi debat kusir, bukan debat ilmiah mencari kebenaran.
Pertanyaan utama adalah masalah legitimasi, bukan legalitas sebuah peraturan yang dibuat oleh pejabat yang non ellection officer.
Sedikit penjelasan, ada 2 macam jenis pejabat negara,
1. Ellection Officer
2. Non Ellection Officer
Perbedaan keduanya adalah, yang pertama dipilih langsung oleh rakyat, dan oleh karenanya secara legitimasi memiliki kewenangan membuat peraturan yang mengikat publik, baik dalam bentuk UU atau Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi atau Perda Kabupaten/Kota.
Khusus untuk PP dan Perpres adalah kewenangan yang dimiliki Presiden dalam rangka untuk menjalankan perintah UUD atau UU. Sehingga kewenangan Presidenpun dibatasi secara mandataris oleh UUD ataupun UU.
Lalu bagaimana instansi setingkat menteri atau Badan/Lembaga negara lainnya seperti Kepolisian..?
Apakah boleh institusi tersebut membuat peraturan yang mengikat publik..?
Dari sisi legitimasi, karena mereka bukan pejabat negara yang masuk dalam kategori Ellection Officer, maka mereka hanya pelaksana dari peraturan perundangan yang dibuat oleh pejabat lembaga negara yang dihasilkan melalui ellctoral mechanism.
Lalu mengapa ada peraturan menteri atau peraturan kapolri atau peraturan pejabat setingkat menteri..?
Jawabnya adalah
1. Mereka, golongan pejabat non ellection officer tersebut dibolehkan membuat aturan, SEPANJANG aturan tersebut ditujukan UNTUK MENGATUR ADMINISTRASI, DAN STANDARD OPERATING PROCEDURE bagi pegawai/bawahan/aparat teknis birokrasi di internal lembaga mereka masing masing. Sehingga yang terikat dengan peraturan buatan pejabat negara Non Ellection Officer tersebut adalah ANS/ aparatur negara sipil dan militer yang berada di dalam lingkungan internal instansi negara itu sendiri. Peraturan tersebut SAMA SEKALI TIDAK MENGIKAT PUBLIK.
2. Pejabat dari kalangan Non Ellection Officer tersebut, diperintahkan secara tegas di dalam salah satu pasal UU itu sendiri UNTUK MEMBUAT ATURAN PELAKSANAAN Undang Undang tersebut.
Itulah prinsip utama negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Baik sekarang kita periksa, dalam konteks UU No. 9/1998, apakah memberi MANDAT/PERINTAH/KEWENANGAN kepada Instansi Kepolisian UNTUK MENGATUR batas waktu unjuk rasa/demonstrasi/penyampaian pendapat dimuka umum..?
Sama sekali TIDAK ADA satu pasalpun yang memberikan kewenangan atau mandat atau perintah kepada instansi kepolisian mengatur hal tersebut.
Lalu mengapa Perkapolri No. 7/2012 berani mengatur batas waktu unjuk rasa/demontrasi/penyampaian pendapat dimuka umum.
Hal ini tentu saja bisa dijawab bahwa sumber legalitas *- Bukan Legitimasi -* adalah semata mata karena mereka adalah merasa sebagai penguasa negara dan merasa bahwa *L'État, c'est moi*, negara adalah saya. Kita bisa perhatikan perilaku aparat kepolisian dalam keseharian, mereka saat ini merasa, bahkan sangat merasa bahwa satu satunya representasi negara adalah aparat kepolisian. Mereka merasa bahwa merekalah satu satunya garda NKRI. Elemen lain bangsa ini hanya dianggap numpang dan imigran. Namun lucunya, rasa nasionalisme yang tinggi ini, tiba tiba lenyap dan seperti ayam sayur atau kerupuk disiram air ketika berhadapan dengan Tenaga Kerja asal RRC (Republik Rakyat China), modal asal RRC, pengusaha/konglomerat asal RRC. Hanya dengan handphone asal RRC saja mereka masih bisa membanting bila kesal dengan rakyat pribumi.
Baiklah kita kembali ke persoalan pokok tadi, tentang kebebasan menyatakan pendapat di muka umum, kalau terlalu banya membahas hal sampingan seperti diatas, nanti malah kita kena UU ITE dan UU Anti Diskriminasi dan malah dibanting seperti HP asal RRC.
Jadi kesimpulan untuk poin pertama adalah, UU No. 9 Tahun 1998 SAMA SEKALI TIDAK MEMBERIKAN KEWENANGAN/MANDAT KEPADA KAPOLRI untuk MEMBATASI WAKTU UNJUK RASA.
Jadi jelas bahwa PERKAPOLRI No. 7/2012 tersebut, telah mengebiri dan membangkang terhadap UUD dan UU No 9/1998.
Persoalan kedua adalah, belakangan ini, instansi Kepolisian sering kali membuat jawaban terhadap surat pemberitahuan aksi yaitu TIDAK MENERBITKAN SPPT.
ini tentu saja dagelan paling lucu dalam dunia hukum.
Sudah jelas bahwa yang diwajibkan oleh Undang Undang kepada panitia aksi adalah SURAT PEMBERITAHUAN.
Sebagaimana sebuah pemberitahuan, maka kewajiban panitia aksi adalah memberitahukan rencana aksi agar diketahui oleh instansi negara penyelenggara ketentraman dan ketertiban.
Lalu UU No. 9 Tahun 1998 pasal 13 ayat (1) huruf a, dan mewajibkan pihak Kepolisian untuk SEGERA MENERBITKAN SURAT TANDA TERIMA PEMBERITAHUAN. Dan juga di dalam pasal 14 ayat (2) huruf a Perkapolri No. 7 Tahun 2012, jelas tertulis bahwa aparat teknis pelayanan administrasi di tubuh kepolisian setelah meneliti surat pemberitahuan, tetaplah harus mengeluarkan STTP.
Jadi apabila kepolisian justru menjawab surat pemberitahuan dengan jawaban, TIDAK MENERBITKAN SURAT PEMBERITAHUAN (STTP) adalah JELAS MERUPAKAN PEMBANGKANGAN terhadap UU bahkan terhadap PERKAPOLRI sendiri.
Namun pembangkangan ini adalah pembangkangan yang bersifat Terencana, Sistematis dan Massif. Sebab pembangkangan ini bukan dilakukan oleh aparat teknis semata, namun pembangkangan ini dilakukan secara institusional, yaitu Kapolri membangkang terhadap Peraturan yang dibuat oleh Kapolri sendiri.
Ini lagi lagi menunjukkan bagaimana negara yang mengaku negara hukum ini, telah dikelola sebagaimana sebuah kerajaan, dimana KEKUASAAN adalah diatas segalanya. Bukan sebuah negara yang dikelola berdasarkan prinsip KONSTITUSINALISME RECHTS STAAT, yaitu PENYELENGGARA NEGARA DIBATASI KEKUASAANNYA OLEH UUD dan UU.
Jadi jangan dibalik balik bahwa rakyat yang dibatasi hak haknya oleh penguasa, justru negara dan penyelenggara negaralah yang harusnya dibatasi kekuasaannya berdasar prinsip KONSTITUSIONALISME RECHTS STAAT.
Dalam sistem pemerintahan Islam prinsip konstitusionalisme rechts staat ini jelas sekali menjadi azas utama dalam penyelenggaraan negara. Penguasa dalam hal ini khalifah beserta seluruh aparatur negaranya WAJIB tunduk dan patuh kepada syariat Islam yang menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Pengelolaan negara yang hanya berdasarkan pada kekuasaan semata, jelas merupakan bentuk nyata dari kezhaliman yang merajalela pada era mulkan jabarriyan.
Wassalam
Foto: Tertibnya massa aksi Ifthar Akbar dan memprotes kecurangan Pemilu 2019 Sholat Tarawih berjamaah di depan Bawaslu, 21 Mei 2019
Faktakini.net
*PEMBANGKANGAN HUKUM OLEH INSTANSI PENEGAK HUKUM*
Oleh : Namran U.M
Lima tahun terakhir sejak 2014 makin banyak terjadi keganjilan dan pembangkangan terhadap Undang Undang bahkan terhadap peraturan yang dibuat sendiri oleh instansi penegak hukum.
Contoh kecil adalah, pelanggaran terhadap UU No. 9 Tahun 1998 tentang unjuk rasa atau penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi atau rapat umum sekaligus juga pelanggaran terhadap Peraturan Kapolri No.7 Tahun 2012.
Pada satu sisi, peraturan Kapolri No.7 Tahun 2012 ini bertentangan dengan UU No. 9 Tahun 1998. Dan pada sisi yang lain, implementasi UU 9/1998 dan Perkapolri 7/2012 ini menyimpang dari ketentuan yang ada.
Pembangkangan atau pengebirian terhadap UU No. 9 Tahun 1998 adalah, Perkapolri No. 7 Tahun 2012, membatasi waktu kegiatan di tempat terbuka hanya sampai pukul 18.00, padahal di dalam UU No. 9 Tahun 1998, tidak ada pengaturan tentang batas waktu tersebut.
Lalu pertanyaannya adalah, apa legitimasi Perkapolri dibolehkan mengatur hal tersebut..?
Jawaban dari kaum yang menganut aliran hukum positiv legalis tentu saja merujuk pada UU tentang tata urutan perundang-undangan. Dengan pikirian positiv legalisnya mereka akan me jawab bahwa Kapolri memiliki wewenang membuat aturan untuk melaksanakan UU. Hanya itu jawaban mereka.
Tanpa menguji lebih lanjut jawaban tersebut, kaum dungu tentu bersorak gembira dengan jawaban ini.
Namun kedunguan mereka memang sudah sulit diobati, biarkan saja, tak usah bersebat dengan orang dungu, karena debat dengan orang dungu hanya membuang buang waktu dan orang berilmu pasti kalah debat dengan orang dungu, karena debatnya hanya menjadi debat kusir, bukan debat ilmiah mencari kebenaran.
Pertanyaan utama adalah masalah legitimasi, bukan legalitas sebuah peraturan yang dibuat oleh pejabat yang non ellection officer.
Sedikit penjelasan, ada 2 macam jenis pejabat negara,
1. Ellection Officer
2. Non Ellection Officer
Perbedaan keduanya adalah, yang pertama dipilih langsung oleh rakyat, dan oleh karenanya secara legitimasi memiliki kewenangan membuat peraturan yang mengikat publik, baik dalam bentuk UU atau Perppu, PP, Perpres, Perda Provinsi atau Perda Kabupaten/Kota.
Khusus untuk PP dan Perpres adalah kewenangan yang dimiliki Presiden dalam rangka untuk menjalankan perintah UUD atau UU. Sehingga kewenangan Presidenpun dibatasi secara mandataris oleh UUD ataupun UU.
Lalu bagaimana instansi setingkat menteri atau Badan/Lembaga negara lainnya seperti Kepolisian..?
Apakah boleh institusi tersebut membuat peraturan yang mengikat publik..?
Dari sisi legitimasi, karena mereka bukan pejabat negara yang masuk dalam kategori Ellection Officer, maka mereka hanya pelaksana dari peraturan perundangan yang dibuat oleh pejabat lembaga negara yang dihasilkan melalui ellctoral mechanism.
Lalu mengapa ada peraturan menteri atau peraturan kapolri atau peraturan pejabat setingkat menteri..?
Jawabnya adalah
1. Mereka, golongan pejabat non ellection officer tersebut dibolehkan membuat aturan, SEPANJANG aturan tersebut ditujukan UNTUK MENGATUR ADMINISTRASI, DAN STANDARD OPERATING PROCEDURE bagi pegawai/bawahan/aparat teknis birokrasi di internal lembaga mereka masing masing. Sehingga yang terikat dengan peraturan buatan pejabat negara Non Ellection Officer tersebut adalah ANS/ aparatur negara sipil dan militer yang berada di dalam lingkungan internal instansi negara itu sendiri. Peraturan tersebut SAMA SEKALI TIDAK MENGIKAT PUBLIK.
2. Pejabat dari kalangan Non Ellection Officer tersebut, diperintahkan secara tegas di dalam salah satu pasal UU itu sendiri UNTUK MEMBUAT ATURAN PELAKSANAAN Undang Undang tersebut.
Itulah prinsip utama negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Baik sekarang kita periksa, dalam konteks UU No. 9/1998, apakah memberi MANDAT/PERINTAH/KEWENANGAN kepada Instansi Kepolisian UNTUK MENGATUR batas waktu unjuk rasa/demonstrasi/penyampaian pendapat dimuka umum..?
Sama sekali TIDAK ADA satu pasalpun yang memberikan kewenangan atau mandat atau perintah kepada instansi kepolisian mengatur hal tersebut.
Lalu mengapa Perkapolri No. 7/2012 berani mengatur batas waktu unjuk rasa/demontrasi/penyampaian pendapat dimuka umum.
Hal ini tentu saja bisa dijawab bahwa sumber legalitas *- Bukan Legitimasi -* adalah semata mata karena mereka adalah merasa sebagai penguasa negara dan merasa bahwa *L'État, c'est moi*, negara adalah saya. Kita bisa perhatikan perilaku aparat kepolisian dalam keseharian, mereka saat ini merasa, bahkan sangat merasa bahwa satu satunya representasi negara adalah aparat kepolisian. Mereka merasa bahwa merekalah satu satunya garda NKRI. Elemen lain bangsa ini hanya dianggap numpang dan imigran. Namun lucunya, rasa nasionalisme yang tinggi ini, tiba tiba lenyap dan seperti ayam sayur atau kerupuk disiram air ketika berhadapan dengan Tenaga Kerja asal RRC (Republik Rakyat China), modal asal RRC, pengusaha/konglomerat asal RRC. Hanya dengan handphone asal RRC saja mereka masih bisa membanting bila kesal dengan rakyat pribumi.
Baiklah kita kembali ke persoalan pokok tadi, tentang kebebasan menyatakan pendapat di muka umum, kalau terlalu banya membahas hal sampingan seperti diatas, nanti malah kita kena UU ITE dan UU Anti Diskriminasi dan malah dibanting seperti HP asal RRC.
Jadi kesimpulan untuk poin pertama adalah, UU No. 9 Tahun 1998 SAMA SEKALI TIDAK MEMBERIKAN KEWENANGAN/MANDAT KEPADA KAPOLRI untuk MEMBATASI WAKTU UNJUK RASA.
Jadi jelas bahwa PERKAPOLRI No. 7/2012 tersebut, telah mengebiri dan membangkang terhadap UUD dan UU No 9/1998.
Persoalan kedua adalah, belakangan ini, instansi Kepolisian sering kali membuat jawaban terhadap surat pemberitahuan aksi yaitu TIDAK MENERBITKAN SPPT.
ini tentu saja dagelan paling lucu dalam dunia hukum.
Sudah jelas bahwa yang diwajibkan oleh Undang Undang kepada panitia aksi adalah SURAT PEMBERITAHUAN.
Sebagaimana sebuah pemberitahuan, maka kewajiban panitia aksi adalah memberitahukan rencana aksi agar diketahui oleh instansi negara penyelenggara ketentraman dan ketertiban.
Lalu UU No. 9 Tahun 1998 pasal 13 ayat (1) huruf a, dan mewajibkan pihak Kepolisian untuk SEGERA MENERBITKAN SURAT TANDA TERIMA PEMBERITAHUAN. Dan juga di dalam pasal 14 ayat (2) huruf a Perkapolri No. 7 Tahun 2012, jelas tertulis bahwa aparat teknis pelayanan administrasi di tubuh kepolisian setelah meneliti surat pemberitahuan, tetaplah harus mengeluarkan STTP.
Jadi apabila kepolisian justru menjawab surat pemberitahuan dengan jawaban, TIDAK MENERBITKAN SURAT PEMBERITAHUAN (STTP) adalah JELAS MERUPAKAN PEMBANGKANGAN terhadap UU bahkan terhadap PERKAPOLRI sendiri.
Namun pembangkangan ini adalah pembangkangan yang bersifat Terencana, Sistematis dan Massif. Sebab pembangkangan ini bukan dilakukan oleh aparat teknis semata, namun pembangkangan ini dilakukan secara institusional, yaitu Kapolri membangkang terhadap Peraturan yang dibuat oleh Kapolri sendiri.
Ini lagi lagi menunjukkan bagaimana negara yang mengaku negara hukum ini, telah dikelola sebagaimana sebuah kerajaan, dimana KEKUASAAN adalah diatas segalanya. Bukan sebuah negara yang dikelola berdasarkan prinsip KONSTITUSINALISME RECHTS STAAT, yaitu PENYELENGGARA NEGARA DIBATASI KEKUASAANNYA OLEH UUD dan UU.
Jadi jangan dibalik balik bahwa rakyat yang dibatasi hak haknya oleh penguasa, justru negara dan penyelenggara negaralah yang harusnya dibatasi kekuasaannya berdasar prinsip KONSTITUSIONALISME RECHTS STAAT.
Dalam sistem pemerintahan Islam prinsip konstitusionalisme rechts staat ini jelas sekali menjadi azas utama dalam penyelenggaraan negara. Penguasa dalam hal ini khalifah beserta seluruh aparatur negaranya WAJIB tunduk dan patuh kepada syariat Islam yang menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Pengelolaan negara yang hanya berdasarkan pada kekuasaan semata, jelas merupakan bentuk nyata dari kezhaliman yang merajalela pada era mulkan jabarriyan.
Wassalam
Foto: Tertibnya massa aksi Ifthar Akbar dan memprotes kecurangan Pemilu 2019 Sholat Tarawih berjamaah di depan Bawaslu, 21 Mei 2019