Pengurus NU Coba Pelintir Arti "Tidak Ada Paksaan Dalam Beragama", Ini Penjelasannya
Jum'at, 19 Juli 2019
Faktakini.net
Lagi-Lagi... Penyimpangan pemahaman Syariah oleh pengurus NU profesor syariah versi liberal Nadirsyah Hosen
ISLAM MEMBEBASKAN MURTAD?
Seseorang, sebut saja Prof. X yang juga Rais Syuriah Ormas Y di negeri Z, diakun twitternya pada 16 Juli 2019 menulis: “Seorang sahabat Nabi yg bernama al-Hushain, kedua anaknya memilih masuk Kristen. Dia bertanya pada Nabi: “bolehkan aku memaksa anakku kembali masuk Islam?” Maka turunlah ayat “La Ikraha fid din” (tak ada paksaan dlm beragama)”
Benarkah Islam membebaskan seorang muslim untuk murtad?
✍ Tidak Benar
Para ahli tafsir tidaklah menjadikan ayat “’lâ ikrâha fid dîn’ (tidak ada paksaan dalam beragama)” untuk membolehkan seorang muslim keluar dari Islam. Ayat tersebut bermakna bahwa seorang yang asalnya non muslim tidak boleh dipaksa masuk ke dalam agama Islam.[1] Dulu pernah saya tulis di sini https://wp.me/pcdvJ-nM.
Lalu bagaimana riwayat yang dibawakan prof. tersebut? “bolehkan aku memaksa anakku kembali masuk Islam?” Maka turunlah ayat “La Ikraha fid din”.
Jawabannya justru disitulah letak kesalahannya. Bisa jadi memang salah menerjemahkan – itupun kalau dia memang merujuk ke sumber awal –atau memang sengaja mengaburkan makna riwayat tersebut, karena kutipan-kutipan di likn yang dia berikan juga tidak ada ungkapan yang mengarah ke cuitannya tersebut.
Sayyid Thanthawi dalam Tafsir Al-Wasith (sesuai dengan sumber yang dia kutip dalam link yang dia berikan), tidaklah bisa difahami seperti yang dia cuitkan. Dalam tafsir tersebut dinyatakan:
ومن هذه الروايات ما جاء عن ابن عباس أنه قال: نزلت في رجل من الأنجر من بنى سالم بن عوف يقال له الحصين كان له ابنان نصرانيان وكان هو مسلما، فقال للنبي صلّى الله عليه وسلّم ألا استكرههما فإنهما قد أبيا إلا النصرانية فأنزل الله هذه الآية.[2]
Dalam riwayat tersebut nyata-nyata diutarakan:
كان له ابنان نصرانيان وكان هو مسلما
“adalah dia (al Hushain) memiliki dua anak yang beragama Nashrani, sementara dia (al Hushain) adalah Muslim.” [3]
Jadi kedua anaknya al Hushain ini memang Nashrani, bukan orang Islam yang murtad.
Riwayat lain, dalam tafsirnya Az Zuhaili (dia juga menukil kitab ini) dinyatakan:
قال مسروق: كان لرجل من الأنصار من بني سالم بن عوف ابنان فتنصرا قبل أن يبعث النبي صلّى الله عليه وسلم، ثم قدما المدينة في نفر من النصارى يحملون الطعام، فأتاهما أبوهما فلزمهما، وقال: والله لا أدعكما حتى تسلما، فأبيا أن يسلما، فاختصموا إلى النبي صلّى الله عليه وسلم، فقال: يا رسول الله، أيدخل بعضي النار، وأنا أنظر؟ فأنزل الله عز وجل:[سورة البقرة (2) : آية 256]
Jelas dinyatakan di situ:
فتنصرا قبل أن يبعث النبي صلّى الله عليه وسلم
“kedua anak tersebut masuk Nashrani sebelum diutusnya Nabi shallaallaahu ‘alaihi wasallam.”[4]
Jadi, ayat tersebut bukan bicara mengenai orang murtad, kedua anak al-Hushain tadi bukanlah orang murtad, namun orang kafir ashli, yang memang dilarang memaksa mereka masuk Islam.
✍ Hukum Islam Terhadap Murtad
Di akhirat, seorang yang murtad jika tidak sempat bertaubat dan kembali kepada Islam, maka sia-sia semua amalannya, dan kelak dimasukkan kedalam Neraka, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)
Tidak ada perbedaan pendapat ulama terkait hal ini.
Adapun terkait hukuman di dunia, secara umum para ‘ulama sepakat bahwa murtad dikenai hukuman mati berdasarkan hadits Rasulullah yang diriwayatkan Imam al-Bukhari:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Barangsiapa mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia.”[5]
Juga sabda Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa saya (Muhammad) adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu dari tiga sebab: Duda/janda (orang yang telah pernah menikah) yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya.” [6]
Para Ulama hanya berbeda pendapat tentang teknis pelaksanaannya; apakah diberi tempo untuk bertaubat atau tidak, berapa lama tempo tersebut, apakah hartanya diwarisi oleh anaknya yang muslim atau tidak, dll. [7]
Imam Abu Hanifah, satu qoul Imam Al-Syafi’i, satu riwayat Imam Ahmad, juga Imam al-Hasan Al-Bashri berpandangan bahwa istitâbah (meminta orang murtad untuk taubat) itu tidaklah wajib, namun hukumnya sunnah/mustahab. Dan jika diberi tempo maka tempo untuk taubatnya adalah tiga hari.[8]
Menurut Imam Malik, dan ini juga pendapat Madzhab Hanbali, orang murtad wajib diberi tempo tiga hari untuk bertaubat. Sementara pendapat yang adzhar[9] Imam Syafi’i menyatakan bahwa orang murtad wajib diminta taubat dulu, hanya saja temponya hanya saat itu saja.
Jika sudah diminta taubat namun tidak bersedia, dan memenuhi syarat-syaratnya (bukan anak kecil, gila, atau sekedar beda pendapat dalam masalah ikhtilaf, baca: https://wp.me/pcdvJ-wN), maka dia dihukum mati. Yang menghukumnya adalah kepala negara atau yang mewakilinya.[10]
Jadi sudah terang benderang aturan Islam terkait murtad, ayat tersebut (’lâ ikrâha fid dîn’) bukan bicara terkait orang murtad, namun terkait orang kafir asli yang tidak boleh dipaksa masuk Islam.
✍ Kejam?
Ketika ada seseorang yang mau bunuh diri, akan menusuk jantungnya sendiri dengan pedang, lalu kita paksa dia untuk tidak bunuh diri, kita rebut pedangnya dan kita ringkus dia, apakah ini kejam?
Begitu juga dengan Islam, dia peduli dengan keselamatan umatnya, meninggalkan Islam dan iman menuju kekafiran itu lebih berbahaya daripada bunuh diri, karena akibatnya sangat parah, hingga akhirat nanti. Allâhu A’lam. [MTaufikNT]
[1] Andai Prof tsb mau betul2 menyampaikan apa adanya tafsir2 yg dikutipnya, tentu kesimpulannya juga akan sama. Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsir Al-Wasith, Cet. I. (Kairo: Dar Nahdhah, 1997), Juz 1, hlm. 588: الإكراه معناه: حمل الغير على قول أو فعل لا يريده عن طريق التخويف أو التعذيب أو ما يشبه ذلك. والمراد بالدين دين الإسلام والألف واللام فيه للعهد.
[2] Ibid., Juz 1, hlm. 590.
[3] Ibid.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Wasîth, Cet. I. (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1422), Juz 1, hlm. 148.
[5] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Dâr Tuq al-Najah, 1422), Juz 9, hlm. 15.
[6] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, n.d.), Juz 3, hlm. 1302; Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 9, hlm. 5.
[7] Al Qurthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 3, hlm. 48.
[8] Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait: Wuzarât al-Awqâf wa al-Syu-ûn al-Islâmiyyah, 1427), Juz 22, hlm. 191 rujukan: التحفة 3 / 530، والبدائع 7 / 134، والمبسوط 10 / 98، وابن عابدين 4 / 225.
[9] pendapat yang adzhar adalah pendapat paling kuat berdasar metode ushul fiqh yang di ambil dari perbedaan satu atau dua qoul Imam Syafi’i, dan perbandingannya adalah dzohir (ظاهر). Imam Ibnu hajar mengistilahkan al-adzhar dengan sebutan ‘ala al-mu’tamad (على المعتمد).
[10] Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 22, hlm. 194, Rujukan: المبسوط 10 / 106، والأم 6 / 154، والشامل لابن الصباغ 1 / 101، والإنصاف 9 / 462، والشامل لبهرام 2 / 158.
Oleh Ust M Taufik Nusa T
Faktakini.net
Lagi-Lagi... Penyimpangan pemahaman Syariah oleh pengurus NU profesor syariah versi liberal Nadirsyah Hosen
ISLAM MEMBEBASKAN MURTAD?
Seseorang, sebut saja Prof. X yang juga Rais Syuriah Ormas Y di negeri Z, diakun twitternya pada 16 Juli 2019 menulis: “Seorang sahabat Nabi yg bernama al-Hushain, kedua anaknya memilih masuk Kristen. Dia bertanya pada Nabi: “bolehkan aku memaksa anakku kembali masuk Islam?” Maka turunlah ayat “La Ikraha fid din” (tak ada paksaan dlm beragama)”
Benarkah Islam membebaskan seorang muslim untuk murtad?
✍ Tidak Benar
Para ahli tafsir tidaklah menjadikan ayat “’lâ ikrâha fid dîn’ (tidak ada paksaan dalam beragama)” untuk membolehkan seorang muslim keluar dari Islam. Ayat tersebut bermakna bahwa seorang yang asalnya non muslim tidak boleh dipaksa masuk ke dalam agama Islam.[1] Dulu pernah saya tulis di sini https://wp.me/pcdvJ-nM.
Lalu bagaimana riwayat yang dibawakan prof. tersebut? “bolehkan aku memaksa anakku kembali masuk Islam?” Maka turunlah ayat “La Ikraha fid din”.
Jawabannya justru disitulah letak kesalahannya. Bisa jadi memang salah menerjemahkan – itupun kalau dia memang merujuk ke sumber awal –atau memang sengaja mengaburkan makna riwayat tersebut, karena kutipan-kutipan di likn yang dia berikan juga tidak ada ungkapan yang mengarah ke cuitannya tersebut.
Sayyid Thanthawi dalam Tafsir Al-Wasith (sesuai dengan sumber yang dia kutip dalam link yang dia berikan), tidaklah bisa difahami seperti yang dia cuitkan. Dalam tafsir tersebut dinyatakan:
ومن هذه الروايات ما جاء عن ابن عباس أنه قال: نزلت في رجل من الأنجر من بنى سالم بن عوف يقال له الحصين كان له ابنان نصرانيان وكان هو مسلما، فقال للنبي صلّى الله عليه وسلّم ألا استكرههما فإنهما قد أبيا إلا النصرانية فأنزل الله هذه الآية.[2]
Dalam riwayat tersebut nyata-nyata diutarakan:
كان له ابنان نصرانيان وكان هو مسلما
“adalah dia (al Hushain) memiliki dua anak yang beragama Nashrani, sementara dia (al Hushain) adalah Muslim.” [3]
Jadi kedua anaknya al Hushain ini memang Nashrani, bukan orang Islam yang murtad.
Riwayat lain, dalam tafsirnya Az Zuhaili (dia juga menukil kitab ini) dinyatakan:
قال مسروق: كان لرجل من الأنصار من بني سالم بن عوف ابنان فتنصرا قبل أن يبعث النبي صلّى الله عليه وسلم، ثم قدما المدينة في نفر من النصارى يحملون الطعام، فأتاهما أبوهما فلزمهما، وقال: والله لا أدعكما حتى تسلما، فأبيا أن يسلما، فاختصموا إلى النبي صلّى الله عليه وسلم، فقال: يا رسول الله، أيدخل بعضي النار، وأنا أنظر؟ فأنزل الله عز وجل:[سورة البقرة (2) : آية 256]
Jelas dinyatakan di situ:
فتنصرا قبل أن يبعث النبي صلّى الله عليه وسلم
“kedua anak tersebut masuk Nashrani sebelum diutusnya Nabi shallaallaahu ‘alaihi wasallam.”[4]
Jadi, ayat tersebut bukan bicara mengenai orang murtad, kedua anak al-Hushain tadi bukanlah orang murtad, namun orang kafir ashli, yang memang dilarang memaksa mereka masuk Islam.
✍ Hukum Islam Terhadap Murtad
Di akhirat, seorang yang murtad jika tidak sempat bertaubat dan kembali kepada Islam, maka sia-sia semua amalannya, dan kelak dimasukkan kedalam Neraka, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)
Tidak ada perbedaan pendapat ulama terkait hal ini.
Adapun terkait hukuman di dunia, secara umum para ‘ulama sepakat bahwa murtad dikenai hukuman mati berdasarkan hadits Rasulullah yang diriwayatkan Imam al-Bukhari:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Barangsiapa mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia.”[5]
Juga sabda Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa saya (Muhammad) adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu dari tiga sebab: Duda/janda (orang yang telah pernah menikah) yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya.” [6]
Para Ulama hanya berbeda pendapat tentang teknis pelaksanaannya; apakah diberi tempo untuk bertaubat atau tidak, berapa lama tempo tersebut, apakah hartanya diwarisi oleh anaknya yang muslim atau tidak, dll. [7]
Imam Abu Hanifah, satu qoul Imam Al-Syafi’i, satu riwayat Imam Ahmad, juga Imam al-Hasan Al-Bashri berpandangan bahwa istitâbah (meminta orang murtad untuk taubat) itu tidaklah wajib, namun hukumnya sunnah/mustahab. Dan jika diberi tempo maka tempo untuk taubatnya adalah tiga hari.[8]
Menurut Imam Malik, dan ini juga pendapat Madzhab Hanbali, orang murtad wajib diberi tempo tiga hari untuk bertaubat. Sementara pendapat yang adzhar[9] Imam Syafi’i menyatakan bahwa orang murtad wajib diminta taubat dulu, hanya saja temponya hanya saat itu saja.
Jika sudah diminta taubat namun tidak bersedia, dan memenuhi syarat-syaratnya (bukan anak kecil, gila, atau sekedar beda pendapat dalam masalah ikhtilaf, baca: https://wp.me/pcdvJ-wN), maka dia dihukum mati. Yang menghukumnya adalah kepala negara atau yang mewakilinya.[10]
Jadi sudah terang benderang aturan Islam terkait murtad, ayat tersebut (’lâ ikrâha fid dîn’) bukan bicara terkait orang murtad, namun terkait orang kafir asli yang tidak boleh dipaksa masuk Islam.
✍ Kejam?
Ketika ada seseorang yang mau bunuh diri, akan menusuk jantungnya sendiri dengan pedang, lalu kita paksa dia untuk tidak bunuh diri, kita rebut pedangnya dan kita ringkus dia, apakah ini kejam?
Begitu juga dengan Islam, dia peduli dengan keselamatan umatnya, meninggalkan Islam dan iman menuju kekafiran itu lebih berbahaya daripada bunuh diri, karena akibatnya sangat parah, hingga akhirat nanti. Allâhu A’lam. [MTaufikNT]
[1] Andai Prof tsb mau betul2 menyampaikan apa adanya tafsir2 yg dikutipnya, tentu kesimpulannya juga akan sama. Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsir Al-Wasith, Cet. I. (Kairo: Dar Nahdhah, 1997), Juz 1, hlm. 588: الإكراه معناه: حمل الغير على قول أو فعل لا يريده عن طريق التخويف أو التعذيب أو ما يشبه ذلك. والمراد بالدين دين الإسلام والألف واللام فيه للعهد.
[2] Ibid., Juz 1, hlm. 590.
[3] Ibid.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Al-Wasîth, Cet. I. (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1422), Juz 1, hlm. 148.
[5] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Dâr Tuq al-Najah, 1422), Juz 9, hlm. 15.
[6] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, n.d.), Juz 3, hlm. 1302; Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 9, hlm. 5.
[7] Al Qurthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 3, hlm. 48.
[8] Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait: Wuzarât al-Awqâf wa al-Syu-ûn al-Islâmiyyah, 1427), Juz 22, hlm. 191 rujukan: التحفة 3 / 530، والبدائع 7 / 134، والمبسوط 10 / 98، وابن عابدين 4 / 225.
[9] pendapat yang adzhar adalah pendapat paling kuat berdasar metode ushul fiqh yang di ambil dari perbedaan satu atau dua qoul Imam Syafi’i, dan perbandingannya adalah dzohir (ظاهر). Imam Ibnu hajar mengistilahkan al-adzhar dengan sebutan ‘ala al-mu’tamad (على المعتمد).
[10] Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 22, hlm. 194, Rujukan: المبسوط 10 / 106، والأم 6 / 154، والشامل لابن الصباغ 1 / 101، والإنصاف 9 / 462، والشامل لبهرام 2 / 158.
Oleh Ust M Taufik Nusa T