Moeldoko Tutup Pintu Dialog, FPI: Ini Bukan Era Otoriter, Kami Siap Dialog Soal Khilafah


Rabu, 7 Agustus 2019

Faktakini.net, Jakarta - Front Pembela Islam (FPI) dengan penuh percaya diri sejak lama telah menyatakan siap berdialog dengan siapapun terkait perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT) ormas.

Termasuk untuk membahas soal Khilafah versi FPI, FPI menyatakan siap untuk menjelaskannya kepada pihak-pihak yang selama ini tidak menerima informasi yang utuh tentang FPI, serta belum memahami dengan konsep khilafah versi FPI.

Karena itu FPI sangat menyayangkan Moeldoko menyatakan menutup pintu dialog dengan FPI terkait SKT ormas. FPI pun mempertanyakan sikap pemerintah.

"Semoga kebuka hatinya dan dapat hidayah dia, hari gini di zaman keterbukaan kok tutup pintu dialog, mau kembali ke orde otoriter?" kata juru bicara FPI KH Slamet Maarif kepada wartawan, Selasa (6/8/2019).

Kyai Slamet juga menanggapi soal pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang meminta FPI mengganti kata-kata 'khilafah' yang ditemukan di AD/ART. Kyai Slamet mengajak pemerintah berdialog agar ada pemahaman bersama.

"Makanya dialog biar paham itu bertentangan dengan Pancasila atau tidak, jangan baca judulnya aja, tapi baca isi bukunya baru ambil kesimpulan itu namanya cerdas," tegas Kyai Slamet.

Sebelumnya, Moeldoko menyebut pemerintah menutup pintu dialog dengan FPI. Moeldoko meminta FPI mengikuti persyaratan yang sudah diatur terkait perpanjangan SKT ormas di Kemendagri.

"Dialog? Sudah jelas, kan gitu. Nggak perlu ada dialog sepanjang, oke ikuti aturan mainnya, selesai semuanya. Apa lagi yang perlu dialog?" kata Moeldoko di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (6/8).

Sebagaimana diketahui, SKT ormas FPI ditandai dengan nomor SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014. Masa berlaku SKT FPI tertanggal dari 20 Juni 2014 sampai 20 Juni 2019.

Walaupun pendaftaran SKT itu bersifat sukarela dan Ormas tetap bebas melakukan kegiatan walau tidak memiliki SKT, namun FPI tetap mengurus perpanjangan SKT sebagai bukti Ormas Islam ini sangat tertib administrasi dan organisasi.

Ketua Bidang Penegakan Khilafah DPP FPI KH Awit Mashuri telah menyatakan,
"Yang dimaksud adalah Khilafah Islamiyah versi FPI yaitu menurut Manhaj Nubuwah. Manhaj Nubuwah terbagi dua di dalam versi FPI, yang pertama tentang Khilafah individu, jadi sosok yang menjadi khalifah, itu di dalam qoul yang muktabar ala manhaj Aswaja, bahwa itu nanti hanya sekali lagi yang akan dipimpin oleh Imam Mahdi yang bernama Muhammad, abahnya Abdullah lalu nanti akan dibaiat di Ka'bah, itu ilmu fiqih", jelasnya.

Lalu Kyai Awit menjelaskan, "Nah disini yang dimaksud Manhaj Nubuwah yang kedua adalah, kita mendorong kepada negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI, yang pertama untuk mendorong pembentukan Parlemen bersama dunia Islam, lalu kemudian mendorong pembentukan pasar bersama dunia Islam, mendorong pembentukan pakta pertahanan, mata uang, penghapusan paspor dan visa antar dunia Islam, kemudian asimilasi perkawinan antar dunia Islam, penyeragaman kurikulum pendidikan agama dalam dunia Islam. Ada sepuluh (seluruhnya), jadi kami simpulkan Khilafah versi FPI ini hanya sebuah istilah. Kita ini ingin sifatnya kolektif di Organisasi Konferensi Islam (OKI)", jelas beliau.

Sebelumnya Sekretaris Umum DPP FPI Ustadz Munarman telah menegaskan, "Yang ketiga, bagi FPI yang dimaksud dengan khilafah islamiyah itu adalah mendorong kerjasama antar negara OKI (Organisasi Konferensi Islam), Indonesia ini adalah salah satu negara OKI, dalam sektor pasar bersama, mata uang bersama, bebas visa dan bebas paspor kunjungan antar negara Islam, penguatan peran Parlemen antar negara Islam, pembentukan pengadilan Mahkamah di antara negara - negara OKI. Dan itu justru sudah dipraktekkan oleh Eropa dengan adanya Uni Eropa, di Uni Eropa ada mata uang Euro, ada pengadilan Parlemen Eropa, ada pengadilan HAM di sektor Eropa, jadi itu sudah dipraktekkan sebetulnya di negara yang tidak berbasiskan Islam, nah kenapa tidak dilakukan oleh negara-negara anggota OKI. Itu perspektif FPI dalam konteks penegakan syariat Islam secara kaffah", jelas Ustadz Munarman.

Ustadz Munarman mengakui masih banyak pihak yang tidak memahami tentang khilafah yaitu karena keterbelakangan intelektual alias perlu menambah khazanah dan membaca, dan satu lagi karena keterbelakangan mental yaitu Islamophobia.

Satu hal yang perlu diketahui, FPI adalah Ormas Islam, dan Islam itu tidak bertentangan dengan Pancasila. Sila pertama Pancasila saja Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi Allah SWT dan nilai keagamaan ditempatkan di tempat yang paling mulia.

Maka itu dalam berbagai kesempatan Habib Rizieq sering meminta agar umat Islam jangan mau dibenturkan dengan Pancasila. FPI sendiri tidak pernah menyatakan menolak Pancasila sebagai ideologi negara.

Tetapi Moeldoko malah mengatakan, "Ya saya pikir itulah, jangan mengembangkan ideologi lain, sudah itu prinsipnya. Dengan tegas FPI, 'oke, ideologi saya Pancasila', selesai. 'Perilaku-perilaku Pancasila', selesai, kan gitu. Apa lagi yang perlu didialogkan? Nggak ada yang didialogkan," paparnya.

Moeldoko juga meminta FPI tidak mengembangkan ideologi seperti soal khilafah yang ada di AD/ART FPI. Moeldoko mengatakan pemerintah akan membuka pintu dialog bila FPI mau mengubah 'khilafah' dalam AD/ART tersebut.

"Iyalah, nggak ada khilafah-khilafah itu. Ya harus ubah, kalau nggak ubah.... Nah, baru berdialog kalau mau mengubah. Kalau nggak mau mengubah, apa yang perlu didialogkan. Jadi intinya tidak perlu dialog, tapi FPI mengubah, dengan sendirinya sudah selesai persoalannya," imbuh Moeldoko.

Foto: KH Slamet Maarif

Sumber: detik.com