Peran Wanita Dalam Kemerdekaan Indonesia
Jum'at, 16 Agustus 2019
Faktakini.net
*PERAN WANITA DALAM KEMERDEKAAN*
Oleh : Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil
Kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah anugerah dan karunia dari Allah SWT. Kemerdekaan ini merupakan rahmat yang diturunkan Allah kepada Bangsa Indonesia. Kita wajib mensyukurinya dengan cara mengisinya dengan perjuangan yang bisa kita lakukan di berbagai lini kehidupan.
Di setiap perjuangan ada pengorbanan. Perjuangan untuk meraih kemerdekaan tidak diraih dengan berleha-leha. Ada air mata yang menetes, darah yang mengalir dan nyawa yang melayang. Semangat berkorban yang tak kenal lelah adalah jalan mencapai tujuan dengan sungguh-sungguh.
Selama ini kita mengenal banyak pahlawan yang turut andil dalam kemerdekaan. Yang paling kentara tentu Bung Karno dan Bung Hatta. Keduanya adalah Bapak Proklamator Kemerdekaan dan pendiri Negara. Namun di sisi lain kaum perempuan juga punya peran yang tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka turut berjuang mengusir penjajah dari Tanah Air.
Dikutip historia.id, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak hanya dihadiri oleh kaum Adam. Para perempuan juga ikut menghadiri peristiswa Hari Lahir Republik Indonesia itu. Mereka memiliki peran cukup signifikan. Tercatat ada enam perempuan yang menjadi pelaku sejarah di detik-detik kemerdekaan RI. Mereka terdiri dari SK Murti, Menteri Perburuhan pertama pasca kemerdekaan. Perempuan yang Lahir di Solo 11 Mei 1912 ini pada mulanya diminta untuk mengibarkan Bendera Merah Putih. Tapi ia menolak dan meminta salah seorang tentara PETA (Pembela Tanah Air) bernama Latief Hendraningrat untuk melakukannya.
Berikutnya Fatmawati. Hampir semua kita tahu sosok beliau. Beliau adalah istri Bung Karno. Beliaulah yang menjahit Pusaka Bendera Merah Putih dan ikut mendampingi SK Murti. Ada juga Zuleika Rachman Mansjhur Jasin. Perannya juga menonjol ketika ia memimpin mahasiswa perempuan Ika Daigaku (Sekolah Tinggi Kedokteran) dalam upacara kemerdekaan. Kelak ia menjadi anggota PMI Mobile Colonne.
Masih ada sosok perempuan di balik kemerdekaan kita. Namanya Gonowati Djaka Sutadiwiria. Perempuan kelahiran 27 april 1919 ini punya tugas sebagai salah satu pengaman jalannya upacara proklamasi. Pada masa perjuangan setelah kemerdekaan, Gonowati yang merupakan mahasiswa Ika Daigaku ini bertugas mengumpulkan obat-obatan untuk mengobati pejuang dalam Perang Kemerdekaan I dan II. Statusnya ketika itu sebagai anggota PMI.
Selanjutnya ada Oetari Soetarti. Beliau turut menyaksikan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan dan pernah bertugas sebagai anggota PMI. Nama lain yang tidak boleh dilupakan adalah Yuliari Markoen. Dikutip historia.id, “Pada Proklamasi Kemerdekaan, mahasiswa Ika Daigaku ini bertugas sebagai anggota kelompok mahasiswa penaikan Bendera Pusaka. Pada perang kemerdekaan I, dia bertugas sebagai penghubung dalam pengiriman kebutuhan medis ke daerah gerilya.”
Selain semua itu, sosok yang tidak boleh kita lewatkan adalah Retnosedjati. Perempuan kelahiran Deen Hag 29 Maret 1924 ini adalah anggota PMI. Pada masa Perang Kemerdekaan I dan II, mahasiswa Ika Daigaku ini berjuang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang masih seumur jagung dengan mengurus pengobatan untuk para pejuang di daerah Solo, Klaten dan Yogyakarta. Ia dan kawan-kawannya merupakan saksi sejarah Proklamasi Kemerdekaan.
Keinginan kaum wanita untuk berjuang mempertahankan Republik Indonesia dilakukan dengan beragam cara. Ada yang berjuang secara perorangan dan ada yang berjuang secara berkelompok dengan bergabung ke dalam laskar atau badan perjuangan. Mereka berjuang demi bangsa dan negara. Ada yang berjuang di dapur umum guna menyiapkan logistik makanan untuk para pejuang yang berperang. Ada yang menjadi tenaga medis yang merawat dan mengobati pejuang yang terluka. Ada yang menjadi kurir yang memberi pasokan informasi berharga untuk membuat musuh menderita kekalahan. Bahkan ada yang bertempur di garis depan.
Sejarah mencatat sejumlah laskar lahir dibidani oleh kaum perempuan. Sebut saja Barisan Puteri, Laskar Wanita Indonesia, Laskar Puteri Indonesia, Wanita Pembantu Perjuangan, dan lain sebagainya. Masih ada Laskar Persatuan Wanita Majene dan Laskar Wanita Melati di Sulawesi Selatan. Di banyak daerah, hal serupa juga terjadi. Mereka punya semangat menyala untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia.
Jauh sebelum masa kemerdekaan, kaum perempuan menunjukkan semangat perjuangan yang patut diapresiasi. Hal ini ditunjukkan melalui pendirian Organisasi Perjuangan oleh kaum perempuan. Beberapa organisasi yang bisa kita sebutkan di sini adalah Sjarikat Siti Fatimah di Garut, Jawa Barat dan di Yogyakarta dengan nama Wanoedijo Oetomo. Kedua organisasi ini melebur menjadi satu dengan nama Sjarikat Perempoen Islam (SPI) pada tahun 1924.
Pada tanggal 22-25 Desember 1928, dalam Kongres Perempoen Indonesia di Yogyakarta, kaum perempuan yang hadir sepakat bersatu dalam satu naungan organisasi perjuangan bernama Perikatan Perempoean Indonesia (PPI). Organisasi ini adalah gabungan dari Aisyiah, Sjarikat Perempoean Islam, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling, Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik, dan Wanito Moeljo. Keberadaan organisasi Islam dan non-Islam menunjukkan bahwa para muslimah bukan sosok yang eksklusif dan menolak keragaman. Mereka telah memberi pelajaran kepada kita tentang makna dan pengamalan Bhineka Tunggal Ika.
Para muslimah juga turut andil dalam menggelorakan kesadaran nasional di bidang pendidikan. Salah satunya Rahmah El-Joenoesijah yang mendirikan _Madrasah Dinijah Lil Banat_, pada 1 November 1923 di usia yang masih muda, 23 tahun. Sosok yang dijuluki sebagai Kartini Gerakan Islam ini juga memelopori lahirnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) hingga menjadi Tentara Batalyon Merapi.
Tentu masih banyak perempuan Indonesia lainnya yang ikut andil dalam kemerdekaan. Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa kaum perempuan juga berkorban dengan pengorbanan yang tidak ringan. Mereka menyumbangkan waktu, tenaga, dan nyawanya demi kemerdekaan dari penjajahan. Tak dapat dipungkiri bahwa posisi kaum perempuan sangatlah penting dalam setiap perjuangan.
_(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Cahaya Nabawiy, Edisi No. 184 Dzulhijjah 1440 H / Agustus 2019 M, Rubrik Nisaa'una)_
Faktakini.net
*PERAN WANITA DALAM KEMERDEKAAN*
Oleh : Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil
Kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah anugerah dan karunia dari Allah SWT. Kemerdekaan ini merupakan rahmat yang diturunkan Allah kepada Bangsa Indonesia. Kita wajib mensyukurinya dengan cara mengisinya dengan perjuangan yang bisa kita lakukan di berbagai lini kehidupan.
Di setiap perjuangan ada pengorbanan. Perjuangan untuk meraih kemerdekaan tidak diraih dengan berleha-leha. Ada air mata yang menetes, darah yang mengalir dan nyawa yang melayang. Semangat berkorban yang tak kenal lelah adalah jalan mencapai tujuan dengan sungguh-sungguh.
Selama ini kita mengenal banyak pahlawan yang turut andil dalam kemerdekaan. Yang paling kentara tentu Bung Karno dan Bung Hatta. Keduanya adalah Bapak Proklamator Kemerdekaan dan pendiri Negara. Namun di sisi lain kaum perempuan juga punya peran yang tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka turut berjuang mengusir penjajah dari Tanah Air.
Dikutip historia.id, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak hanya dihadiri oleh kaum Adam. Para perempuan juga ikut menghadiri peristiswa Hari Lahir Republik Indonesia itu. Mereka memiliki peran cukup signifikan. Tercatat ada enam perempuan yang menjadi pelaku sejarah di detik-detik kemerdekaan RI. Mereka terdiri dari SK Murti, Menteri Perburuhan pertama pasca kemerdekaan. Perempuan yang Lahir di Solo 11 Mei 1912 ini pada mulanya diminta untuk mengibarkan Bendera Merah Putih. Tapi ia menolak dan meminta salah seorang tentara PETA (Pembela Tanah Air) bernama Latief Hendraningrat untuk melakukannya.
Berikutnya Fatmawati. Hampir semua kita tahu sosok beliau. Beliau adalah istri Bung Karno. Beliaulah yang menjahit Pusaka Bendera Merah Putih dan ikut mendampingi SK Murti. Ada juga Zuleika Rachman Mansjhur Jasin. Perannya juga menonjol ketika ia memimpin mahasiswa perempuan Ika Daigaku (Sekolah Tinggi Kedokteran) dalam upacara kemerdekaan. Kelak ia menjadi anggota PMI Mobile Colonne.
Masih ada sosok perempuan di balik kemerdekaan kita. Namanya Gonowati Djaka Sutadiwiria. Perempuan kelahiran 27 april 1919 ini punya tugas sebagai salah satu pengaman jalannya upacara proklamasi. Pada masa perjuangan setelah kemerdekaan, Gonowati yang merupakan mahasiswa Ika Daigaku ini bertugas mengumpulkan obat-obatan untuk mengobati pejuang dalam Perang Kemerdekaan I dan II. Statusnya ketika itu sebagai anggota PMI.
Selanjutnya ada Oetari Soetarti. Beliau turut menyaksikan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan dan pernah bertugas sebagai anggota PMI. Nama lain yang tidak boleh dilupakan adalah Yuliari Markoen. Dikutip historia.id, “Pada Proklamasi Kemerdekaan, mahasiswa Ika Daigaku ini bertugas sebagai anggota kelompok mahasiswa penaikan Bendera Pusaka. Pada perang kemerdekaan I, dia bertugas sebagai penghubung dalam pengiriman kebutuhan medis ke daerah gerilya.”
Selain semua itu, sosok yang tidak boleh kita lewatkan adalah Retnosedjati. Perempuan kelahiran Deen Hag 29 Maret 1924 ini adalah anggota PMI. Pada masa Perang Kemerdekaan I dan II, mahasiswa Ika Daigaku ini berjuang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang masih seumur jagung dengan mengurus pengobatan untuk para pejuang di daerah Solo, Klaten dan Yogyakarta. Ia dan kawan-kawannya merupakan saksi sejarah Proklamasi Kemerdekaan.
Keinginan kaum wanita untuk berjuang mempertahankan Republik Indonesia dilakukan dengan beragam cara. Ada yang berjuang secara perorangan dan ada yang berjuang secara berkelompok dengan bergabung ke dalam laskar atau badan perjuangan. Mereka berjuang demi bangsa dan negara. Ada yang berjuang di dapur umum guna menyiapkan logistik makanan untuk para pejuang yang berperang. Ada yang menjadi tenaga medis yang merawat dan mengobati pejuang yang terluka. Ada yang menjadi kurir yang memberi pasokan informasi berharga untuk membuat musuh menderita kekalahan. Bahkan ada yang bertempur di garis depan.
Sejarah mencatat sejumlah laskar lahir dibidani oleh kaum perempuan. Sebut saja Barisan Puteri, Laskar Wanita Indonesia, Laskar Puteri Indonesia, Wanita Pembantu Perjuangan, dan lain sebagainya. Masih ada Laskar Persatuan Wanita Majene dan Laskar Wanita Melati di Sulawesi Selatan. Di banyak daerah, hal serupa juga terjadi. Mereka punya semangat menyala untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia.
Jauh sebelum masa kemerdekaan, kaum perempuan menunjukkan semangat perjuangan yang patut diapresiasi. Hal ini ditunjukkan melalui pendirian Organisasi Perjuangan oleh kaum perempuan. Beberapa organisasi yang bisa kita sebutkan di sini adalah Sjarikat Siti Fatimah di Garut, Jawa Barat dan di Yogyakarta dengan nama Wanoedijo Oetomo. Kedua organisasi ini melebur menjadi satu dengan nama Sjarikat Perempoen Islam (SPI) pada tahun 1924.
Pada tanggal 22-25 Desember 1928, dalam Kongres Perempoen Indonesia di Yogyakarta, kaum perempuan yang hadir sepakat bersatu dalam satu naungan organisasi perjuangan bernama Perikatan Perempoean Indonesia (PPI). Organisasi ini adalah gabungan dari Aisyiah, Sjarikat Perempoean Islam, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling, Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik, dan Wanito Moeljo. Keberadaan organisasi Islam dan non-Islam menunjukkan bahwa para muslimah bukan sosok yang eksklusif dan menolak keragaman. Mereka telah memberi pelajaran kepada kita tentang makna dan pengamalan Bhineka Tunggal Ika.
Para muslimah juga turut andil dalam menggelorakan kesadaran nasional di bidang pendidikan. Salah satunya Rahmah El-Joenoesijah yang mendirikan _Madrasah Dinijah Lil Banat_, pada 1 November 1923 di usia yang masih muda, 23 tahun. Sosok yang dijuluki sebagai Kartini Gerakan Islam ini juga memelopori lahirnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) hingga menjadi Tentara Batalyon Merapi.
Tentu masih banyak perempuan Indonesia lainnya yang ikut andil dalam kemerdekaan. Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa kaum perempuan juga berkorban dengan pengorbanan yang tidak ringan. Mereka menyumbangkan waktu, tenaga, dan nyawanya demi kemerdekaan dari penjajahan. Tak dapat dipungkiri bahwa posisi kaum perempuan sangatlah penting dalam setiap perjuangan.
_(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Cahaya Nabawiy, Edisi No. 184 Dzulhijjah 1440 H / Agustus 2019 M, Rubrik Nisaa'una)_