Bungkukkan Badan Lalu Ciumi Tangan Habib Umar Bin Hafidz, Ketum PBNU Tunjukkan Adab Pada Habaib


Selasa, 24 September 2019

Faktakini.net, Jakarta - Pada hari Ahad (22/9/2019), berlangsung silaturahmi akbar Keluarga Besar Alawiyyin bersama Guru Mulia Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abubakar bin Salim di Gedung Smesco, Pancoran Jakarta.

Pertemuan terbatas untuk kalangan Habaib itu berlangsung dengan sukses dan penuh berkah, mulai pukul 14.30 WIB sampai waktu Sholat Maghrib.

Lalu ba'da Isya kembali dilakukan acara silaturahmi akbar Habib Umar bin Hafidz dengan kalangan Arab Habaib maupun bukan Habaib.

Pertemuan sesama keturunan Hadramaut atau Arab ini pun berlangsung sukses dan hangat dalam persaudaran Islam.

Namun ternyata tak hanya kalangan Habaib dan Arab saja yang ingin bertemu dan bersilaturahmi dengan Guru Mulia Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abubakar bin Salim dalam kunjungan beliau ke Indonesia di tahun 2019 ini.

Namun banyak kelompok lain yang mengantri ingin bertemu, untuk bersilaturahmi dan mengambil berkah dari pengasuh Pondok Pesantren Darul Mustofa Tarim, Hadramaut itu

Dan diantara kelompok yang ingin untuk bertemu dengan Guru Mulia Habib Umar bin Hafidz, ada nama PBNU di dalam daftar, dan Alhamdulillah Habib Umar berkenan menghadiri permintaan tersebut.

Maka datanglah Habib Umar bersama rombongan ke kantor PBNU di jalan Kramat Raya Jakarta Pusat, hari Senin (23/9/2019).

Tak ingin melepaskan kesempatan untuk bertemu Habib Umar, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, MA dan Wakil Rais Aam PBNU KH Miftakhul Akhyar menyambut langsung kedatangan sang Guru Mulia dengan penuh rasa hormat.

Saat bertemu, KH Said Agil Siradj langsung membungkukkan badannya dihadapan Habib Umar bin Hafidz, lalu kedua tangan Ketua Umum PBNU itu  memegang erat tangan kanan Habib Umar, kemudian ia menciumi tangan yang penuh keberkahan itu dengan penuh rasa takdzim.

Apa yang dilakukan oleh Kyai Said ini adalah benar karena ia tau betapa mulianya para Habaib. Para Dzurriyah Rasulullah SAW termasuk Habib Umar bin Hafidz adalah orang Arab yang datang dari jazirah Arab dan membawa Islam ke Indonesia.

Adab yang ditunjukkan oleh Ketua Umum PBNU ini harusnya menjadi pelajaran dan contoh bagi segelintir kalangan yang mengaku-ngaku NU namun ternyata kurang ajar bahkan benci pada para Habaib, padahal Kyai Said selalu Ketua Umumnya saja sudah memberi contoh untuk memuliakan para Habaib.

Sebagai organisasi yang berdiri atas restu Habaib,
Amar Ma'ruf Nahi Munkar yang dijalankan oleh NU tentu harus sejalan dan tidak melenceng dari Thariqah Baalwi yang dibawa oleh para Habaib.

Kedatangan Habib Umar ke PBNU ini juga untuk membahas Kitab Adabul 'Alim wal Muta'allim karya Pendiri Nahdlatul Ulama Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy'ari, hari ini adalah pertemuan kedua Teleconference Ngaji Bareng Kitab tersebut di Gedung PBNU, Jakarta, setelah pertemuan pertama Desember 2017 yang lalu.

Majelis Muwasholah sebagai perwakilan Habib Umar bin Hafidz dihadiri oleh Habib Muchsin bin Idrus Al Hamid dan Habib Soleh Al Jufri.

Pertemuan ini juga menunjukkan bahwa Ketua Umum PBNU saja sangat menghormati dan memuliakan Guru Mulia Habib Umar bin Hafidz, karena itu sangat salah kalau ada kalangan yang mengaku sebagai warga NU tapi membenci Habaib.

Beliau tau jasa Habaib sangat besar dalam sejarah berdirinya NU. Tanpa Habaib maka NU tidak pernah berdiri. Karena itu NU dan Habaib sampai kapanpun tidak akan bisa dipisahkan.

Hadrotus Syekh KH Hasyim Asyari sangat memuliakan dan mengutamakan peran Dzuriyyah Rasulullah atau Habaib dalam hal pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama, sehingga sampai kapanpun NU tak bisa dilepaskan dari para Habaib.

Berdirinya NU atas Restu para Habaib, diantaranya:

1. Habib Abdullah bin Ali bin Hasan al Haddad (sangeng Bangil)
2. Habib Abu bakar bin Husain Assegaf (Bangil)
3. Habib Husain al Haddad (Jombang)
4. Habib Abu bakar bin Muhammad Seggaf-Quthub (Gresik)
5. Habib Ahmad bin Abdullah Asseggaf.

Bermula dari cerita Kyai Ahmad Khulaimi Ahyat mengatakan bahwa KH. Hasyim Asy'ari mempunyai kedekatan sesama Ulama' Habaib seperti dengan Habib Husain al Haddad (Jombang).

Mereka berdua selalu musyawarah dalam menghadapi persoalan Agama dan Bangsa, kemudian pada tahun 1920 Habib Husain Jombang mengajak KH hasyim Asy'ari ke rumah Habib Abdullah bin Ali al Haddad sangeng Bangil.

Selain silaturrahmi juga tabarukan belajar agama kepada Habib Abdullah bin Ali al Hadad Sangeng sebagaimana mbah Kyai Kholil bangkalan Madura guru KH. Hasyim Asy'ari juga belajar kepada Habib Abdullah bin Ali al Hadad Sangeng, kemudian Kyai Hasyim Asy'ari minta restu kepada beliau untuk mendirikan jam'iyah NU.

Demikian pula kyai Wahab Hasbullah Jombang yang beristrikan orang Bangil juga minta restu mendirikan jam'iyah NU kepada Habib Abu Bakar bin Husain Seggaf Bangil, kemudian pada tanggal 31 Januari 1926 berdirilah jam'iyah NU di surabaya atas restu para habaib, diantaranya: Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik.

Beliau memerintahkan salah satu muridnya yang bernama Habib Ahmad bin Abdullah Segaf atas wakil ulama' sadah alawiyin untuk hadir dalam deklarasi berdirinya jam'iyah NU di Surabaya, dua tahun kemudian Pada tahun 1928 berdirilah NU cabang Bangil atas restu Habib Abu Bakar bin Husein Assegaf kepada kyai Hasan Muhdhor selaku rois suriyah NU cabang bangil.

Oleh sebab itu Habib Salim bin Abdullah Maulakhela juga menjadi rois suriyah NU pandaan dan para habaib lainnya seperti Habib Ja'far bin Jadid Alhabsyi Bangil sebagai wakil ketua Anshor cabang Bangil.

Demikian hakekat kedekatan ulama' NU dengan ulama' Habaib yg memiliki kesamaan guru agama dan kultur sehingga NU menjadi besar, sebagaimana kedekatan KH Hamid Pasuruan dengan Habaib yang menjadikan mashur.

Akan tetapi bila Ulama' NU masa kini meninggalkan atau berselisihan dengan ulama' Habaib niscaya kaum Nahdliyin akan lebih mengikuti ulama' Habaib Ahlu Sunnah wal Jamaah, karena Habaib merupakan guru para kyai, sebagaimana KH Hasyim dengan Habib Abdullah bin Ali Al Hadad sangeng Bangil, hal itu sesuai dengan hadist Nabi yang artinya: aku tinggalkan dua perkara yang penting apabila kalian berpegang keduanya niscaya tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Itroti Ahli Baity, di hadist yang lain al Qur'an dan Sunnat.

Kisah pun terulang, yaitu pada masa Gusdur memegang tampuk amanah sebagai ketua NU.

Kisah persahabatan antara Almarhum Gusdur dan Habib Abu Bakar bin Hasan Alatas Azzabidi, ada tebak-tebakan masyhur antara kedua tokoh ini, menurut Habib Abu Bakar Gusdur nanti jadi Presiden, dan menurut Almarhum Gudur, antum ya Habib Abu Bakar nanti akan tinggal di dekat saya dan jadi tetangga saya. Akhirnya hal itu benar-benar terjadi.

Juga persahabatan erat antara KH Hasyim Muzadi dengan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab. Bahkan saat Kyai Hasyim meninggal Habib Rizieq lah yang memimpin doa di pemakamannya.

Jadi para kyai terdahulu memberikan contoh mencintai dan menghormati kepada para santrinya dan kaum Muslimin masa kini dan yang akan datang.

Hormat kepada Habaib merupakan ajaran dalam tradisi NU. Sebagaimana termaktub dalam turats-turats banyak riwayat yang menganjurkan untuk memperhatikan kepada anak cucu Nabi Saw.

Karena itu dalam setiap ada majelis, para kiai enggan memimpin doa kalau ada ulama habaib di situ.

Tradisi NU sejak awal berdiri dan berbasis di pesantren itu memang dikenal kental dengan ajaran adabnya.

Para santri pun hormat pada anak kiai. Apalagi terhadap anak cucu Nabi Muhammad SAW.

Jika tidak hormat Ulama Habaib, maka itu bukan ciri NU. Dipastikan orang yang membenci Habaib dan Arab walaupun ia mengaku NU, sejatinya ia bukan NU sejati bahkan ia bukan NU.

Karena itu, banyak putra-putra Kiai NU yang belajar ke Yaman, Mesir, Maroko, Makkah dan Madinah.

Pendiri NU juga alumni Makkah. Hadratus Syaikh meninggalkan Indonesia bertahun-tahun untuk belajar di Masyayikh dan Habaib di Makkah.

Mencintai habaib dalam tradisi NU juga berdasarkan tuntunan syara'. Tidak atas dasar fanatik. Habaib di NU bagaikan benteng NU dalam menjaga akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.

Namun sejak PBNU mulai memviralkan konsep "Nusantara", mulai ditemukan sebagian anak-anak muda NU yang kurang suka hal-hal yang berbau Arab. Entah apa yang didoktrinkan, tetapi yang jelas mereka jadi sombong dan merendahkan negara-negara Arab hanya karena sedang dilanda perang.

Seakan Indonesia hebat, aman sentosa, bahagia, dan lain-lain sementara Arab porak poranda, hancur karena perang.

Padahal, yang perang di Arab itu 4 negara dari 20-an negara. Dari empat itu yang cukup serius hanya dua negara. Itu pun setelah ada campur tangan negara-negara Barat. Sementara, negara Arab lain aman sentosa

Persoalannya adalah, seperti ada gerakan massal mencurigai dan tidak menyukai Arab dan dicurigai ada peran aktivis JIL yang sudah berhasil menyusup disitu.

Oknum-oknum liberal kemungkinan memiliki peran di sini. Dulu, orientalis dan kolonialis juga berusaha memisahkan pribumi dengan Arab, baik dari sisi ideologis, historis dan budaya. Apakah sekarang berlaku lagi gerakan pemisahan itu?

Foto: Ketua PBNU KH Said Agil Siradj mencium tangan Guru Mulia Habib Umar bin Hafidz bin Syech Abubakar bin Salim