Dr Abdul Chair: Permasalahan Hukum Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual


Kamis, 12 September 2019

Faktakini.net

PERMASALAHAN HUKUM DALAM RANCANGAN RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL

DR. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.

I. Prolog
Tujuan sistem hukum mensyaratkan terpenuhinya 3 (tiga) unsur yang selalu menjadi tumpuan hukum, yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian (rechtsicherheit)
dan kemanfaatan (zwechtmassigket). Dalam memfungsikan penegakan hukum, maka ketiga tumpuan hukum tersebut harus mendasari baik dalam tahap pembentukan
hukum maupun dalam tahap aplikasi penegakan hukumnya.

Kita ketahui, bahwa
kepentingan hukum (rechtebelangen) berfungsi sebagai perlindungan bagi
kepentingan individu (individuale belangen), kepentingan hukum masyarakat (sosiale
belangen), dan kepentingan hukum negara (staats belangen).

Dalam hukum pidana terkandung dalam asas legalitas. Menurut Jan Remmelink makna dalam asas legalitas adalah bahwa undang-undang yang dirumuskan harus
terperinci dan cermat. Hal ini didasarkan pada prinsip “nullum crimen, nulla poena
sine lege certa”. Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa rumusan perbuatan pidana
harus jelas, sehingga tidak bersifat multi tafsir yang dapat membahayakan bagi
kepastian hukum.

Selain itu, asas legalitas juga mengandung makna larangan untuk
menerapkan analogi, yang dikenal dengan adagium “nullum crimen noela poena sine lege stricta.”

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya
disebut RUU P-KS) telah menimbulkan kegelisahan, sebab RUU tersebut tidak
dirumuskan secara terperinci dan tentunya tidak jelas, baik rumusan pengertian
maupun unsur-unsur perbuatannya.

Pada kesempatan ini, disampaikan rumusan yang
bersifat multi tafsir dan berdampak negatif yakni tentang “kekerasan seksual” dalam bentuk “perkosaan” dan “pemaksaan perkawinan.”

II. Pembahasan
Negara menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan hak memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.

Penegakan hukum yang diselenggarakan harus
didasarkan kesamaan dihadapan hukum dan atas kepastian hukum yang adil,
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27, dan 28D ayat (1) UUD 1945.11 Norma hukum dalam RUU P-KS sebagaimana telah disinggung sebelumya telah
menimbulkan persoalan yang siqnifikan.

Permasalahan ketidakjelasan norma yang diatur tersebut dapat berdampak terhadap kedudukan suami sebagai pihak pelaku pemerkosaan terhadap isterinya sendiri.

Selain itu, sangat dikhawatirkan jika RUU P-
KS ini disahkan justru membuka peluang “legalisasi seks bebas”, khususnya di
kalangan remaja. Lebih lanjut adanya ‘kriminalisasi’ terhadap orang tua (wali), karena dianggap telah melakukan tindak pidana pemaksaan perkawinan.

Dapat dikatakan bahwa substansi penegakan hukum dalam RUU P-KS tidak
akan berjalan efektif, selain banyaknya penolakan juga disebabkan tidak memenuhi
kriteria yakni;
(1) adanya undang-undang yang baik (good legislation); (2) pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement); dan
(3) pemidanaan yang layak atau sekedarnya dan seragam (moderate and uniform sentencing).

Menurut Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum, yaitu: substansi (substance), struktur (structure) dan kultur (culture).13 Tegasnya, RUU P-KS secara subtansi mengandung permasalahan ketidakjelasan norma.

1. Tindak Pidana Perkosaan
Nomenklatur “perkosaan” diambil dari rumusan Pasal 11 ayat (2) huruf e RUU
P-KS sebagai salah satu perbuatan (tindak pidana) “kekerasan seksual”.

Di sisi lain, rumusan kekerasan seksual tidak secara jelas dan mengandung multi tafsir.

Ketidakjelasan ini dapat dilihat dari definisi kekerasan seksual sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1, sebagai berikut:

“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina,
menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual
seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan
kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu
memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi
kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan
atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau politik.” (huruf tebal dari penulis).

Rumusan “hasrat seseorang” dan “secara paksa” menjadi bias, dan oleh
karenanya dapat berlaku terhadap seorang suami.

Ditambah lagi dengan rumusan
“bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas.”

Pasal 1 angka 5 menyebutkan, “Korban adalah setiap orang yang mengalami peristiwa Kekerasan Seksual”, jadi berlaku umum dapat berlaku bagi seorang isteri
dalam perkawinan yang sah.

Pasal 11 ayat (3) mempertegas kekerasan seksual dapat terjadi dan berlaku bagi seorang suami, sebagaimana disebutkan:

“Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa
Kekerasan Seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja,
publik, dan situasi khusus lainnya.” (huruf tebal dari penulis).

Pada Pasal 16, disebutkan:
“Perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e adalah
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman
kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.” (huruf
tebal dari penulis).

Pada Penjelasan Pasal 16 disebutkan,
“Yang dimaksud dengan “pemaksaan hubungan seksual” adalah upaya
memaksakan hubungan seksual tanpa persetujuan Korban atau bertentangan
dengan kehendak Korban.”

“Yang dimaksud dengan “kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan
persetujuan sesungguhnya” adalah orang yang sedang atau dalam keadaan
pingsan, sakit, pengaruh hipnotis, obat atau alkohol, atau kondisi mental atau
tubuh yang terbatas.“ (huruf tebal dari penulis).

Unsur “kekerasan”, “ancaman kekerasan” dan “kondisi mental atau tubuh yang
terbatas” ini sangat berpotensi diterapkan kepada suami, sepanjang isteri yang bersangkutan merasakan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan dan dengannya
tidak mampu memberikan persetujuan sebab kondisi mental atau tubuh yang terbatas.

Apa dan bagaimana “kondisi mental atau tubuh yang terbatas”, menjadi bias dan multi tafsir, serta berlaku subjektif.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (untuk selanjutnya disebut UU PKDRT), kekerasan seksual15
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Perihal pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut relatif hampir sama dengan yang diatur dalam RUU P-KS.

Rumusan “yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas” dapat berlaku bagi seorang isteri yang merasa ada paksaan dan oleh karenanya tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas sebab kondisi mental atau tubuh yang terbatas. Rumusan yang demikian sejalan dengan Penjelasan Pasal 8 UU PKDRT, yang menyebutkan:

“…dimaksud dengan kekerasan seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan
cara tidak wajar dan/atau tidak disukai…..”

Dalam syariat Islam, seorang isteri wajib melayani kebutuhan biologis suami,
kecuali ada hal-hal tertentu yang menyebabkannya tidak dapat memenuhi kebutuhan
tersebut.

2. Membuka Peluang Legalisasi Seks Bebas
Rumusan “hasrat seseorang”, “secara paksa”, dan “tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas” juga harus dikritisi dengan serius.

Dikhawatirkan
rumusan tersebut, menjadi dalil pembenar terjadinya hubungan “seks bebas” di luar pernikahan. Secara ‘interpretasi/penafsiran sebaliknya’ (argumentum a contrario), maka jika tidak ada perbuatan yang dilakukan dengan secara paksa, serta tidak
bertentangan dengan kehendak seseorang, dan seseorang tersebut memberikan
persetujuaanya secara bebas, maka bukanlah termasuk kekerasan seksual dalam hal ini perkosaan.

Kalimat sebaliknya dari “tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas” pada Pasal 1 angka 1 adalah “memberikan persetujuan secara sadar dan tanpa paksaan”. Jadi, sepanjang dilakukan dengan persetujuan atau tidak bertentangan dengan kehendaknya, maka berdasarkan interpretasi ‘argumentum a contrario’
tidaklah termasuk perbuatan perkosaan, sebab dilakukan atas dasar “suka sama suka,”
khususnya oleh pasangan yang tidak terikat perkawinan yang sah.

Dalam KUHP memang tidak dikenal adanya delik perzinahan (overspel) antara laki-laki dan perempuan yang keduanya tidak terikat perkawinan yang sah.

Dalam RUU KUHP, ketentuan Pasal 284 KUHP tetap dipertahankan. Hanya saja, terdapat pengaturan yang lebih baik, yakni terhadap laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan perbuatan persetubuhan
adalah termasuk pebuatan zina.

3. Tindak Pidana Pemaksaan Perkawinan
Pemaksaan perkawinan sebagai salah satu tindak pidana diatur dalam Bab V
Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yakni pada Pasal 11 ayat (2) huruf f. Pada Pasal 17 disebutkan, sebagai berikut:
“Pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan
kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat merasa ada paksaan dan oleh karenanya tidak mampu memberikan persetujuan dalam
keadaan bebas sebab kondisi mental atau tubuh yang terbatas.

Rumusan yang
demikian sejalan dengan Penjelasan Pasal 8 UU PKDRT, yang menyebutkan:
“…dimaksud dengan kekerasan seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan
cara tidak wajar dan/atau tidak disukai…..”

Dalam syariat Islam, seorang isteri wajib melayani kebutuhan biologis suami,
kecuali ada hal-hal tertentu yang menyebabkannya tidak dapat memenuhi kebutuhan
tersebut.

2. Membuka Peluang Legalisasi Seks Bebas
Rumusan “hasrat seseorang”, “secara paksa”, dan “tidak mampu memberikan
persetujuan dalam keadaan bebas” juga harus dikritisi dengan serius. Dikhawatirkan
rumusan tersebut, menjadi dalil pembenar terjadinya hubungan “seks bebas” di luar pernikahan. Secara ‘interpretasi/penafsiran sebaliknya’ (argumentum a contrario),
maka jika tidak ada perbuatan yang dilakukan dengan secara paksa, serta tidak
bertentangan dengan kehendak seseorang, dan seseorang tersebut memberikan
persetujuaanya secara bebas, maka bukanlah termasuk kekerasan seksual dalam hal
ini perkosaan.
Kalimat sebaliknya dari “tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas” pada Pasal 1 angka 1 adalah “memberikan persetujuan secara sadar dan tanpa
paksaan”. Jadi, sepanjang dilakukan dengan persetujuan atau tidak bertentangan
dengan kehendaknya, maka berdasarkan interpretasi ‘argumentum a contrario’
tidaklah termasuk perbuatan perkosaan, sebab dilakukan atas dasar “suka sama suka,”
khususnya oleh pasangan yang tidak terikat perkawinan yang sah.

Dalam KUHP memang tidak dikenal adanya delik perzinahan (overspel) antara
laki-laki dan perempuan yang keduanya tidak terikat perkawinan yang sah.

Dalam RUU KUHP, ketentuan Pasal 284 KUHP tetap dipertahankan. Hanya saja, terdapat
pengaturan yang lebih baik, yakni terhadap laki-laki dan perempuan yang masing-
masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan perbuatan persetubuhan
adalah termasuk pebuatan zina.

3. Tindak Pidana Pemaksaan Perkawinan
Pemaksaan perkawinan sebagai salah satu tindak pidana diatur dalam Bab V
Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yakni pada Pasal 11 ayat (2) huruf f. Pada Pasal 17
disebutkan, sebagai berikut:
“Pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf
f adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan
kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian
kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan
perkawinan.” (huruf tebal dari penulis).
Frasa “menyalahgunakan kekuasaan” dapat terjadi dan berlaku terhadap wali
(orang tua) yang akan menikahkan puterinya. Penjelasan Pasal 17 menyatakan bahwa
dianggap juga sebagai pemaksaan perkawinan jika:20
a. Perkawinan terjadi dengan anak yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun;
b. Perkawinan perempuan Korban dengan laki-laki pelaku Kekerasan Seksual;
c. Perkawinan perempuan Korban dengan laki-laki bukan pelaku Kekerasan
Seksual sekalipun dengan persetujuannya.
d. Perkawinan belum dilangsungkan namun sudah ada proses persiapan untuk
melangsungkan perkawinan tersebut antara lain pertunangan, penyebaran
undangan perkawinan, penjadual pernikahan di instansi pencatatan
perkawinan, atau pengumuman perkawinan di rumah ibadah.
Pemaksaan perkawinan yang dimaksud termasuk perkawinan yang tercatat dan tidak.

Pemaksaan perkawinan terhadap anak yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun adalah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Menurut Pasal 1 ayat (1) UU
Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.21 Pada Pasal 7 disebutkan:22
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

III. Epilog
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa RUU P-KS, telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Rumusan tentang perbuatan kekerasan seksual tidak terperinci dan tidak cermat. Dengan demikian tidak sejalan
dengan prinsip “nullum crimen, nulla poena sine lege certa”. Oleh karena itu,
diperlukan koreksi terhadap rumusan-rumusan yang dapat menimbulkan multi tafsir dan cenderung bias. Terlebih lagi pengaturan yang bertentangan dengan syariat Islam
maupun dengan UU Perkawinan.

Sepatutnya, pembentuk RUU P-KS melibatkan Ormas-Ormas Islam guna
pemberian masukan dalam rangka keserasian antara nilai-nilai syariat Islam yang
menyangkut pernikahan dengan RUU P-KS. Hal ini penting sebagai perwujudan
paham Negara simbiotik. Indonesia bukanlah Negara sekuler yang memisahkan antara agama (baca: Islam) dengan Negara, namun justru saling bersinergi. Paham Negara
simbiotik secara jelas tercantum dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.