KontraS: Polri Harus Setop Cara Kekerasan Hadapi Pengunjuk Rasa
Rabu, 25 September 2019
Faktakini.net, Jakarta - Tindakan kepolisian dalam menangani demonstrasi mahasiswa di kawasan gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa, 24 September 2019, mendapat sorotan dari kalangan pegiat hak asasi manusia.
Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) misalnya, meminta kepolisian untuk menghentikan pendekatan dengan cara kekerasan terhadap pengunjuk rasa.
"Hentikan cara-cara lama yang arogan dan kekerasan terhadap mahasiswa. Itu hanya mengundang kemarahan mahasiswa dan masyarakat. Bebaskan segera yang ditangkap, jangan halangi akses bantuan hukum kepada mereka. Polisi yang terbukti melakukan kekerasan harus dihukum," ujar Koordinator KontraS, Yati Andriyani, dalam keterangan tertulisnya kepada BBC Indonesia, Rabu, 25 September 2019.
KontraS, lanjutnya, akan membuka Posko Pengaduan bersama dengan jaringan masyarakat sipil lainnya guna memfasilitasi korban kekerasan.
Dalam unjuk rasa menentang pengesahan sejumlah rancangan undang-undang, termasuk revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seorang mahasiswa dilaporkan mengalami luka parah.
Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) mengonfirmasi salah satu mahasiswanya menjadi korban saat berdemo di kawasan gedung DPR/MPR.
"Bahwa saat ini Faisal Amir sedang dalam kondisi stabil setelah mendapatkan penanganan medis secara maksimal di RS Pelni," kata Rektor UAI dalam keterangan pers, Rabu, 25 September 2019.
Mahasiswa angkatan 2016 itu diketahui ditemukan terkapar di kawasan DPR dengan luka kepala yang cukup serius. Bukan hanya Faisal, sejumlah media merilis ratusan pengunjuk rasa di wilayah lain juga menjadi korban.
`Berlangsung sampai malam hari`
Menanggapi rangkaian kejadian dalam demonstrasi tersebut, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, memaparkan ada pola aksi unjuk rasa yang terjadi di Indonesia.
"Demo damai itu dari jam 10 sampai dengan 18 WIB. Bila betul-betul disampaikan dengan baik dapat dipastikan tidak ada ekses baik korban dan kerugian-kerugian materil yang diakibatkan," kata Dedi dalam keterangan tertulis.
Lebih lanjut, Dedi menulis, jika aksi unjuk rasa berlangsung sampai lebih dari pukul 18.00 WIB, "dapat dipastikan bukan demonstrasi tapi sudah menjelma/menjadi rusuh".
"Dan dapat dipastikan akan timbul korban baik dari masyarakat dan aparat serta terjadi tindakan-tindakan anarkis secara sistematis," katanya.
Setelah peristiwa ini terjadi, kata Dedi, akan tersebar luas konten-konten berita bohong. "Ini saya amati berbasis data-data yang saya miliki selama di Humas," jelas Dedi.
Sejauh ini kepolisian telah menangkap 94 orang dalam demonstrasi di sekitar Gedung DPR/MPR pada Selasa 24 September 2019.
"Kita sudah amankan beberapa orang, itu lebih kurang jumlahnya sebanyak 94 orang," kata Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono.
Dari 94 orang itu, diungkapkan Gatot, salah satunya kedapatan membawa bom molotov yang diamankan oleh Polres Metro Jakarta Barat.
"Salah satu yang sudah kita tangkap bawa molotov adalah seorang pelajar yang sudah kita amankan di Polres Jakbar," tuturnya.
Bagaimana aturan waktu dan penanganan aksi demonstrasi?
Penanganan aksi diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 7/2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) telah diatur pelaksanaan waktu dan tempat mengenai unjuk rasa. Di tempat terbuka aksi unjuk rasa yang dibolehkan antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00. Sementara di tempat tertutup antara pukul 06.00 sampai dengan 22.00.
Namun, ketika aksi tak mengikuti waktu tersebut, berdasarkan aturan ini, aparat kepolisian dapat menghentikannya dengan sejumlah tahapan dengan cara persuasif, dan `upaya paksa` sebagai jalan terakhir.
Upaya paksa ini kemudian diatur dalam Pasal 28 di mana polisi harus menghindari aksi kekerasan.
Pasal 28
Dalam melakukan tindakan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif.
Sumber: viva.co.id